RA Kartini, yang hari kelahirannya kita peringati setiap 21 April, adalah pelopor pendidikan dan kemajuan bagi perempuan. Sayangnya daerah tempat RA Kartini berjuang yaitu Rembang, pendidikannya sangat tertinggal.
Daerah pantai utara Jawa itu (termasuk sekitarnya seperti Blora, Jepara, Pati, Kudus, Tuban, Grobogan), adalah daerah ‘’anak tiri’’ yang tidak memiliki Universitas Negeri atau Institut Pertanian Rembang atau Sekolah Tinggi Perikanan atau Politeknik Perikanan atau IAIN Syekh Abdurrahman Basyaiban/Mbah Sambu atau IAIN KH Bisri Mustopha. Padahal Rembang pernah melahirkan Menteri Pendidikan yaitu Prof Dr Nugroho Notosutanto dan Menteri Agama, yakni KH Maftuh Basuni MA.
Di sisi lain, ibu kota negara dan provinsi dimanja dan ditumpuki banyak PTN. Semarang punya 4 PTN (Undip, Unnes, IKIP, IAIN), Bandung disesaki 5 PTN (Unpad, IKIP, IAIN, ITB, IPDN), Surabaya 5 PTN (Unair, IKIP, IAIN, ITS), Malang 3 PTN (Unbraw, IAIN, IKIP), Medan 4 PTN. Memang tidak setiap kecamatan harus ada PTN. Tetapi kalau 4-7 kabupaten (seperti Bojonegoro, Madiun, Sulawesi bagian timur, Tapanuli, Sumba, Sumbawa, Kalimantan Timur bagian utara, Bangka), tidak punya satu pun PTN, sementara satu kota bisa ada 3-6 PTN, itu melukai perasaan keadilan. Jangan-jangan nanti di Jakarta atau Semarang, tiap gang ada universitas negeri, sehingga kalau kita menabrak tembok, itu pasti tembok universitas negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jenderal Sudirman berjuang merebut kemerdekaan, RA Kartini juga berjuang merebut kemerdekaan dan memperjuangkan pendidikan. Lalu, kenapa cuma tempatnya Sudirman yang diberi universitas negeri (Purwokerto), sedangkan di Rembang tempat berjuang RA Kartini dibiarkan tertinggal, tertindas, tak diberi
universitas negeri, hujan kebanjiran, kemarau kekeringan. Kudus menyumbang cukai rokok Rp 13 miliar per hari, ternyata tidak memiliki universitas negeri/IKIP negeri, bandara, pelabuhan, Yonif, Korem, tetapi Purwokerto yang tidak menyumbang cukai rokok sepeser pun malah punya universitas negeri, Korem, Yonif, dilewati kereta api. Apa karena Purwokerto tempat lahir Jenderal Sudirman, sedang Kudus tempat pemberontak? Keadilan macam apa ini? Negara macam apa ini?
Mungkin kita perlu belajar pada Bali, provinsi ini adil terhadap wilayahnya. Karena di selatan yang lebih maju telah ada Universitas Negeri Udayana, maka IKIP Negeri didirikan di utara, di Singaraja, yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Ganesha.
Perlakuan menumpuk hasil pembangunan di ibu kota negara dan provinsi adalah sikap yang tidak menjunjung nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menumpuk 5 PTN di ibu kota provinsi sementara ada 3 – 6 kabupaten seperti wilayah Muria/Kudus, Rembang, Pekalongan, Madiun, Cirebon, Bojonegoro, pantai barat Sumatera Utara, Sumba, Flores, Sulawesi Timur, Sumbawa, Maluku Tenggara, yang tidak memiliki satu pun PTN, adalah sikap yang tidak melaksanakan Pancasila dengan konsisten.
Seolah-olah Indonesia itu cuma Jabotabek, Semarang, Bandung, Surabaya, Solo, Makasar. Seakan-akan hanya orang Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Purwokerto saja yang bayar pajak dan cukai rokok. Seolah-olah hanya orang Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Purwokerto, Malang saja yang berjuang merebut kemerdekaan dan kehilangan tokoh pejuang. Seakan-akan hanya orang Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Purwokerto yang boleh menikmati hasil pembangunan. Seolah-olah orang Waingapu, Rembang, Patendang, Ngawen, Tual, Prigi, Warung Asem, Lolak, Juking Panjang, Isam, Kwasen, Kudus, Petung Kriyono, Purukcahu, Cibaliung, Panohan, Talun, Gunem, Tersono, Sulursari, Sale, Doplang,
Wakatobi, Bluto, Sindang Kelingi, Cihurip, Salumpaga, Bonelipu, Tengkis, Orohili, Keritang bukan warga negara Indonesia dan mengontrak rumah yang sertifikatnya dimiliki orang Jakarta, Solo, Semarang.
Semestinya kalau di Bandung telah ada ITB, Unpad, dan STPDN, maka IKIP Negeri dipindahkan ke Tasikmalaya, dan IAIN Sunan Gunung Jati digeser ke Cirebon. Demikian juga karena Semarang telah ada Undip, Purwokerto ada Unsud, dan Solo ada UNS, maka IKIP Negeri Semarang dipindahkan ke Pekalongan, dan IAIN Wali Songo digeser ke Kudus atau Lasem. Juga karena Surabaya telah ada Unair, ITS, Malang ada Unbraw, IKIP dan IAIN, ‘’mbok yao’’ IKIP Negeri Surabaya digeser ke Bojonegoro, IAIN Sunan Ampel dipindah ke Jombang, lalu IKIP Negeri Malang digeser ke Kediri.
Karena Jawa bagian barat telah ada IPB, maka di daerah timur semestinya juga ada, namun tidak dibangun di Surabaya, Solo, Malang, atau Semarang, tapi di Rembang yang tidak punya PTN. Kalau tidak IPR (Institut Pertanian Rembang) ya minimal STPR (Sekolah Tinggi Perikanan Rembang).
Dengan begitu, jika anak Pangdam atau pejabat provinsi mau kuliah kedokteran atau hukum bisa ke Undip, namun kalau ingin mengambil bimbingan dan konseling kependidikan dapat ke IKIP Negeri Pekalongan, atau ingin mendalami ilmu tafsir, hadits atau perbandingan mahzab pergilah ke IAIN Sunan Kudus di Kudus atau IAIN Syekh Abdurrahman Basyaiban (IAIN Mbah Sambu) di Lasem. Lha kalau mau jadi ahli pembibitan ikan, manajemen lahan, ahli ilmu tanah, pakar ilmu klimatologi, manajer pengolahan hasil, datanglah ke Institut Pertanian Rembang.
Demikian pula kalau anak juragan batik Pekalongan mau kuliah ilmu tafsir bisa ke IAIN Sunan Gunung Jati Cirebon, ingin mendalami kependidikan tinggal ke IKIP Pekalongan, mau jadi ahli perikanan, ya ke Rembang.
Jangan seperti sekarang, orang Semarang paling enak. Kuliah psikologi, hukum, MIPA, ekonomi ke Undip, keagamaan ke IAIN, pendidikan ke IKIP, semuanya ada di Semarang. Lha, giliran orang Rembang harus ke Semarang, orang Pekalongan ke Semarang, orang Sukolilo, Randubatung ke Semarang. Ini kan tidak adil.
Kalau sekarang banyak orang pintar dan berhasil itu dari Semarang, Klaten, Solo, Purwokerto, ya terang saja, kuliahnya dekat, bisa sambil jalan kaki. Kalau lapar tinggal pulang, tidur di rumah sendiri, tidak perlu indekost. Lha, kalau anak Gunem, ± 40 Km tenggara Rembang, bisa kuliah (di Semarang), pasti anaknya orang kaya banget. Sebab dia harus bayar SPP, makan di Warteg, indekost (karena rumahnya di Gunem), makan, minum, ongkos lain-lain. Ini tidak adil.
Jelas tidak adil jika orang Semarang kuliah ringan biayanya, tetapi kalau orang Blora, Rembang, Gunem, Sale kuliah sangat berat sekali. Wajar kalau orang Rembang jarang jadi orang hebat, sebab kuliahnya jauh.
Oleh karena itu dengan pemindahan IKIP dan IAIN, ke luar dari Bandung, Surabaya, Semarang menjadikan keadilan dan pemerataan. Orang Rembang mau kuliah ringan biaya, ya ambil IPR atau STPR atau IAIN Lasem. Kalau mau kedokteran, harus ke Semarang, mau kependidikan ke IKIP Bojonegoro. Sebaliknya juga, orang Semarang mau kuliah juga ada biaya ringan, ada berat biaya. Kalau orang Rembang kuliah di Semarang, mesti indekost, demikian juga orang Semarang kuliah di Rembang, ya indekost di Rembang. Paling tidak orang Semarang yang kuliah di Rembang, bisa mengenal sego begono, lontong tuyuhan, nasi kelo mrico, bisa mengenal adat istiadat, tradisi dan dialek Rembang. Tentu ini bagian dari penguatan rasa nasionalisme dan ketahanan nasional.
Hal serupa juga dilakukan di luar Jawa, IKIP Medan dipindah ke Pematang Siantar, IAIN ke Dairi, Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin pindah ke Bone, sedangkan Fakultas Teknik dan MIPA digeser ke Pare-Pare (disiapkan jadi Institut Teknologi BJ Habibie), dan IKIP Negeri pindah ke Majene. Sedangkan di Sibolga dibangun Institut Pertanian Sibolga, di Payakumbuh ada Institut Pertanian Payakumbuh (perluasan politeknik pertanian). Juga dibangun Politeknik Pertanian di Banjar (Jawa Barat), dan Bima (NTB), Politeknik Perikanan di Meulaboh (NAD), Koba (Bangka), Waingapu (NTT), Saumlaki (Maluku), Banggai (Sulteng), dan Banyuwangi.
Moch Basuki S Algunemy, SE, Kampung Duaratus RT 01/04 Marga Jaya Bekasi Selatan Kota Bekasi 17144
Sumber: Suara Merdeka, 18 Mei 2011