Rencana relaksasi bekerja mengundang banyak kritik karena dianggap tak memperhitungkan tren kasus Covid-19 yang belum mereda hingga bahaya laten penyebaran wabah dari seorang ”silent carrier”.
Guna memulihkan perekonomian dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah berencana melakukan pelonggaran bagi pekerja usia 45 tahun ke bawah. Namun, rencana relaksasi tersebut mengundang banyak kritik karena dianggap tak memperhitungkan tren kasus Covid-19 yang belum mereda hingga bahaya laten penyebaran wabah dari seorang silent carrier.
Ketiadaan data akurat dan minimnya kajian yang dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan membuat rencana kebijakan pelonggaran untuk para pekerja di bawah 45 tahun dinilai terlalu terburu-buru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejauh ini, pijakan pemerintah dalam membuat rencana tersebut tidak komprehensif karena hanya mengedepankan pertimbangan perekonomian dan mencegah terjadinya PHK.
Kembali beraktivitasnya pekerja kurang dari 45 tahun ini merupakan salah satu bentuk skenario dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hingga kini, pemerintah mengakui belum tahu kapan rencana relaksasi diberlakukan dan masih menunggu kajian.
Menurut rencana, pelonggaran beraktivitas bagi pekerja usia di bawah 45 tahun tersebut disyaratkan oleh pemerintah dengan tetap disiplin pada protokol pencegahan Covid-19, seperti melakukan physical distancing, menggunakan masker, dan mencuci tangan.
Relaksasi pekerja pun hanya dilakukan pada beberapa sektor usaha sesuai dengan amanat Permenkes No 9/2020 tentang Pedoman PSBB, di antaranya sektor kesehatan, bahan pangan, energi, logistik, hingga pelayanan dan kebutuhan pokok.
Awal Mei 2020, ruang perbincangan publik di dunia maya ramai dengan beredarnya tahapan skenario pelonggaran dari Kementerian Perekonomian yang tertulis akan dimulai pada Juni 2020.
Pihak pemerintah mengonfirmasi bahwa draf skenario pelonggaran PSBB tersebut merupakan hasil kajian awal yang disusun oleh Kementerian Perokonomian dan belum bersifat final.
Rencana relaksasi PSBB dan kembali beraktivitasnya pekerja usia muda begitu menarik perhatian publik seiring dengan kondisi peningkatan kasus Covid-19 yang demikian signifikan. Pada 21 Mei 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan kenaikan jumlah kasus positif mencapai 973 orang.
Angka ini menjadi rekor jumlah tertinggi selama masa lebih dari 2,5 bulan Indonesia berada dalam belenggu pandemi. Melihat hal tersebut, seharusnya rencana relaksasi untuk para pekerja semestinya perlu dikaji ulang.
Dalam hal ini, kebijakan pelonggaran untuk kembali beraktivitasnya pekerja tidak lagi bisa hanya diukur dari hitungan ekonomi, tetapi juga pada aspek epidemiologi tren perkembangan wabah di kemudian hari.
Padahal, sebagian besar para ahli bidang ekonomi ataupun peneliti epidemiologi sepakat, seharusnya kebijakan relaksasi dapat dilakukan jika kurva jumlah penyebaran Covid-19 benar-benar telah menurun.
Sejauh ini, para ahli dan peneliti menilai pemerintah belum optimal dalam melakukan analisis tren perkembangan kasus Covid-19. Selain itu, penyusunan dan publikasi data belum sepenuhnya transparan dan tanpa kurva epidemi yang ideal.
Usia
Dalam penanganan wabah penyakit, data sangatlah penting sebagai landasan untuk membuat langkah strategis yang kalkulatif. Upaya pemulihan pun selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek secara komprehensif antara aspek kesehatan dan penyebaran wabah serta aspek sosial ekonomi.
Pandemi Covid-19 memang telah memicu krisis sosial ekonomi yang menekan banyak sektor. Rencana relaksasi untuk pekerja 45 tahun ke bawah memang akan mengamankan perputaran roda ekonomi.
Upaya relaksasi diharapkan memulihkan produktivitas sehingga dapat menyelamatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Wabah Covid-19 memang telah memukul banyak sektor usaha yang mau tak mau harus merumahkan pekerjanya.
Kementerian Tenaga Kerja mencatat, per April 2020, tidak kurang dari 1,2 juta orang kehilangan pekerjaan. Di Jakarta, lebih dari 30.000 orang terdampak harus kehilangan pekerjaan dan sekitar 172.000 pekerja lainnya dirumahkan tanpa mendapatkan gaji.
Melihat hal tersebut, pertimbangan penyelamatan ekonomi para pekerja di masa krisis akibat pandemi menjadi faktor pendorong kuat pemerintah untuk melakukan relaksasi bagi para pekerja usia tertentu.
Selain itu, pemerintah juga menekankan bahwa berdasarkan hasil analisis data Covid-19, usia muda tersebut tergolong tidak rentan terhadap virus dan memiliki risiko kematian yang rendah.
Data yang dicatat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 20 Mei 2020 menunjukkan, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 paling tinggi justru berada pada rentang usia 31-45 tahun dengan persentase 29,1 persen.
Kondisi ini justru lebih tinggi dari rentang usia di atasnya, yaitu 46-59 tahun dengan persentase positif Covid-19 sebesar 28,2 persen. Sementara pasien positif Covid-19 yang berusia lebih dari 60 tahun 15,7 persen.
Meskipun demikian, dari besaran persentase tersebut, angka kematian untuk pasien positif yang berusia 45 tahun ke bawah memang lebih rendah dibandingkan dengan usia di atasnya. Kematian akibat Covid-19 pada rentang usia 31-45 tahun hanya berkisar di angka 11,7 persen.
Kondisi tersebut dapat dikatakan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan angka kematian Covid pada rentang usia 46-59 tahun yang mencapai 39,7 persen. Kondisi lebih memprihatinkan ditunjukkan pada pasien usia di atas 60 tahun yang memiliki persentase meninggal begitu tinggi, mencapai lebih dari 43,7 persen.
Kementerian Kesehatan telah menjelaskan pasien Covid-19 lanjut usia memang memiliki kerentanan jauh lebih tinggi karena kondisi imunitas tubuh yang sudah menurun. Kematian lebih banyak pula disebabkan komplikasi penyakit bawaan, seperti diabetes, jantung, dan darah tinggi.
Silent carrier
Jika melihat data Covid-19 berdasarkan usia tersebut memang terkonfirmasi jelas bahwa usia 45 tahun ke bawah cenderung lebih memiliki imunitas yang baik dan berisiko minim kematian jika terinfeksi virus korona.
Namun, pertimbangan kajian untuk kembali mengaryakan para pekerja usia 45 tahun ke bawah seharusnya tak berhenti sampai di situ. Bahaya laten sebagai silent carrier atau penularan dari orang tanpa gejala (OTG) justru menjadi sangat potensial saat diberlakukan pelonggaran bekerja.
Walau hasil analisis awal menunjukkan para pekerja usia di bawah 45 tahun tak terlampau berisiko dalam terpapar Covid-19, pelonggaran bekerja di tengah masa parah pandemi tentulah akan membuat para pekerja begitu rentan tertular dan menularkan virus.
Hal tersebut menjadi begitu mengkhawatirkan karena seorang silent carrier sulit menyadari bahwa dirinya telah tertular Covid-19 dan begitu potensial menularkan kepada orang sekelilingnya. Orang tanpa gejala bahkan tidak akan merasakan perubahan apa pun pada dirinya meski telah terjangkit Covid-19. Hal tersebut terjadi karena memang kondisi sistem imun yang tergolong baik.
Padahal, sampel darah seorang silent carrier telah memiliki viral load atau jumlah partikel virus dan RNA HIV yang serupa dengan pasien bergejala Covid-19. Dalam dunia medis, pasien tanpa gejala ini juga dikenal dengan sebutan asimptomatik.
Sebagian dari mereka mengalami gejala ringan, tetapi sebagian lagi bahkan tidak menyadari gejala tersebut biasanya selama lima hari dengan masa inkubasi paling lama mencapai tiga minggu. Dalam masa inilah penyebaran virus Covid-19 yang dibawa oleh silent carrier begitu berpotensi terjadi.
Salah satu gejala yang sebetulnya mudah dideteksi tetapi sering kali juga tak disadari oleh seorang tanpa gejala adalah berkurangnya fungsi perasa dan penciuman. Kondisi ini dikenal dengan istilah anosmia yang menjadi penanda bahwa sedang terjadi infeksi pada tubuh.
Rencana pelonggaran aktivitas bekerja bukan hanya akan menyuburkan potensi munculnya bahaya laten penyebaran virus oleh silent carrier, melainkan juga meruntuhkan segala upaya bersama yang telah dibangun selama masa pembatasan sosial.
Skenario penyelamatan pada aspek sosial ekonomi semestinya memang harus selaras dengan strategi di sektor kesehatan untuk menekan penyebaran wabah. (LITBANG KOMPAS)
Oleh EREN MARSYUKRILLA
Editor YOHAN WAHYU
Sumber: Kompas, 23 Mei 2020