Para ilmuwan sosial humaniora, dan ahli statistik, seharusnya mampu mencari solusi, bagaimana cara menentukan kelompok paling rentan. Para ekonom bisa menghitung kerugian dari kesalahan kebijakan.
Merebaknya wabah meneguhkan panggilan bagi para ilmuwan untuk semakin berkolaborasi secara interdisiplin agar mendapatkan solusi yang paling komprehensif dan tepat.
Covid-19 memang wilayah ilmu kedokteran dan kesehatan. Namun, dampaknya yang dahsyat telah mengubah kehidupan global di segala bidang, menandakan kompartementalisasi bidang ilmu sudah usang. Kebutuhan masyarakat menjadi pendorong utama munculnya ilmu lintas disiplin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya, kelimpahan informasi terkait Covid-19 kurang memperhitungkan suara ilmu sosial-humaniora. Padahal, dampak wabah terhadap kemanusiaan dan kemasyarakatan menyiratkan soal keadilan sosial. Ketika mengalami ketidakpastian sosial karena terhentinya penghasilan sebagian atau seluruhnya, siapakah kelompok yang aksesnya paling rentan terhadap hak kesehatan dan kelangsungan hidup? Mampukah pengambil kebijakan mengidentifikasi mereka yang harus diutamakan untuk ditolong? Bagaimana kolaborasi antarilmu pengetahuan bisa membantu?
Kebudayaan baru
Serangan Covid-19 akan mengubah dunia dalam hal cara berpikir dan berpengetahuan, cara hidup, dan cara berhukum atau penentuan apa yang boleh dan tidak. Itulah esensi kebudayaan. Setiap orang (potensial) terdampak Covid-19 sehingga wabah bukan lagi masalah orang per orang, melainkan komunitas, masyarakat, bahkan bangsa. Setiap orang memproduksi dan mendistribusi kegelisahan, ketakutan, kecemasan, dan ketidakpastian, maka terbentuklah pengetahuan dan pengalaman kolektif.
Selanjutnya akan muncul banyak inisiatif, dan solidaritas kolektif dari komunitas dan jejaring dalam masyarakat, bertujuan mengupayakan perlindungan bersama dalam berbagai bentuk donasi dan kerja sama. Covid-19 telah menyatukan gagasan dan kerja sama kolektif secara bermakna, dan besar kemungkinan melahirkan kebudayaan baru terkait cara hidup sehat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk itu, terlepas dari hadir atau tidaknya negara.
Cara berpengetahuan adalah bagian dari esensi kebudayaan. Pasca-Covid-19 yang memberi pembelajaran besar diramalkan akan melahirkan percabangan ilmu baru interdisiplin, yang kian intensif. Dalam kolektiva keilmuan baik kampus maupun pusat riset industri, para ilmuwan akan berusaha mencari solusi paling tepat mengatasi wabah.
Ilmu kesehatan dan keteknikan klasik saat ini sudah memunculkan percabangan ilmu baru, seperti life sciences, bio-molecular science, biomedical science, bioinformatics dengan berbagai percabangannya; dan akan menghasilkan obat, vaksin, serta alat pendeteksi dan penyembuh.
Sementara ilmu matematik-statistik bersama ilmu aplikasinya, seperti ilmu komputer, melahirkan ilmu baru, seperti data science, dan menghasilkan berbagai produk kecerdasan buatan yang berpotensi menggantikan atau mendukung profesi banyak bidang, termasuk kedokteran.
Nantinya perkembangan ilmu-ilmu interdisiplin akan semakin luas dan menghasilkan kebudayaan material baru, termasuk digital, yang mencengangkan. Sungguhpun globalisasi mungkin akan didefinisi ulang karena ditengarai penyebaran Covid-19 disebabkan mobilitas dan konektivitas orang dan barang secara masif, globalisasi dengan karakter baru dengan basis konektivitas digital tidak akan surut ke belakang.
Aspek hukum
Manusia yang berkumpul dalam kolektiva selalu membutuhkan norma hukum tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kelangsungan hidup bersama (Ubi societas ibi ius). Hukum adalah bagian atau proses kebudayaan. Masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan norma hukum dan keadilannya sendiri (self-regulation). Substansi hukum baru itu adalah hasil hibrida, kombinasi antara hukum negara, hukum adat, agama, dan kebiasaan, bahkan hukum internasional.
Pengaruh hukum internasional ke akar rumput, terutama dalam bidang hak asasi manusia, sangat kuat di masa globalisasi hukum sekarang. Hukum dari segala arah menuju ke segala arah sehingga masyarakat dunia juga memiliki instrumen hukum yang sama. Terutama hasil dari ratifikasi atau adopsi sebagian hukum internasional, khususnya bidang HAM dan tata kelola pemerintahan.
Kelahiran hukum baru besar kemungkinan akan difasilitasi oleh badan-badan dunia, sebagaimana dunia pernah disatukan oleh program pembangunan hukum dalam beberapa gelombang. Amerika mengawali mendesain gerakan law and development tahun 1960-an, bertujuan mendemokratisasi negara-negara baru merdeka di Asia, Afrika, Amerika Latin; memodernisasi sistem hukum dan mengentaskan rakyat miskin. Setelah perang dingin berakhir, negara-negara Eropa mendesain pembangunan hukum baru diberi nama rule of law movement (1990-an). Targetnya adalah negara berkembang ditambah negara pecahan Uni Soviet.
Kedua program pembangunan hukum itu tidak berhasil sepenuhnya karena didesain oleh para elite hukum dan donor, tidak didasari pengetahuan tentang sistem dan karakter hukum negara berkembang. Mereka tidak melibatkan partisipasi publik yang luas yang memiliki hukum lokal dan konsep keadilannya sendiri. Pembelajaran dari kegagalan dua gelombang pembangunan hukum itu adalah pembangunan di segala bidang apa pun, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, haruslah disertai pembangunan hukum.
Survei Commission on Legal Empowerment (2008, 2009) mengejutkan kalangan hukum. Empat miliar orang di seluruh dunia hidup dalam kemiskinan, bukan karena persoalan ekonomi semata, tetapi karena terlempar dari akses terhadap keadilan. Tak tersedia hukum yang baik, ketiadaan akses literasi hukum, identitas hukum, bantuan hukum, dan tentu saja saat wabah adalah akses ke layanan kesehatan.
Gerakan pembangunan dekade terakhir adalah Akses Keadilan yang secara khusus ditujukan bagi kelompok rentan dan tak diuntungkan, seperti orang miskin, perempuan, minoritas (penganut kepercayaan lokal, masyarakat adat), dan difabel. Negara dengan disparitas sosial-ekonomi besar seperti kita memang belum bisa menerapkan keadilan untuk semua, tetapi keadilan afirmasi untuk kelompok tak terlayani (underserved communities).
Kebijakan harus tepat
Keberhasilan Akses Keadilan mensyaratkan kemampuan pengambil kebijakan mengidentifikasi siapakah kelompok paling rentan dan tidak terlayani. Selama ini pendekatannya terlalu administratif, eligibilitas dilekatkan pada kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, justru kelompok paling miskin, minoritas, tidak punya akses kepada identitas hukum, terutama KTP.
Mereka adalah orang miskin kota, penghuni bantaran kali, buruh migran kota atau harian lepas, dan orang tanpa domisili; yang tak terdokumentasi. Mereka tak punya suara, dan dikonstruksi sebagai identitas liyan, atau tiada. Mereka terluput dari berbagai rumusan kebijakan, buta hukum, tanpa akses bantuan hukum, dan di masa wabah akan terlempar dari prioritas layanan kesehatan.
Negara kita tak memiliki skema kebijakan yang memaksa orang kaya menyubsidi orang miskin, melalui sistem jaminan sosial. Skema sekuritas kesehatan hanya diberikan kepada pemegang identitas hukum, dan pembayar BPJS, atau yang mampu bayar sendiri. Tidak ada sistem yang memaksa orang kaya menyubsidi orang miskin, orang sehat atau normal menyubsidi yang sakit atau cacat, keluarga tanpa anak menyubsidi keluarga miskin dengan anak, atau pemilik rumah mewah menyubsidi orang tanpa rumah.
Sistem jaminan sosial seperti inilah yang dimiliki negara-negara maju sehingga mereka bisa menerapkan keadilan untuk semua, sudah melewati tahap prioritas keadilan bagi si miskin.
Di sini BPJS boleh diakses siapa saja yang punya eligibilitas administratif. Premi yang dibayar orang kaya dan orang miskin berbeda tipis. Orang kaya yang mampu berobat ke luar negeri terlihat ikut memanfaatkan layanan kesehatan mahal (untuk sakit serius), yang lebih pantas ditujukan bagi kelompok miskin.
Program bantuan sosial pemerintah masa wabah banyak yang salah alamat, lebih ditujukan kepada mereka yang ber-KTP atau dikenal otoritas kampung. Sementara yang paling rentan justru tersembunyi sebagai liyan, tiada, tidak terhitung. Mereka juga tidak terdata sebagai korban Covid-19 karena ketiadaan akses kepada tes massal.
Para ilmuwan sosial humaniora, dan ahli statistik, seharusnya mampu mencari solusi, bagaimana cara menentukan kelompok paling rentan. Para ekonom bisa menghitung kerugian dari kesalahan kebijakan akibat ketidakmampuan mengidentifikasi mereka yang paling rentan.
Kita juga menantikan badan-badan dunia dan komunitas ilmuwan membuat platform bersama untuk mengatasi wabah global. Kesiapan harus dilakukan meskipun wabah baru akan datang lagi lima atau dua puluh tahun kemudian, seperti kata mantan Presiden AS Barack Obama.
(Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Sumber: Kompas, 18 Mei 2020