Ramadhan 1438 Hijriah; Mempercepat Penyatuan Kalender Islam

- Editor

Sabtu, 27 Mei 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadhan 1438 Hijriah jatuh pada Sabtu (27/5). Ketetapan itu sama dengan keputusan sebagian besar organisasi massa Islam Indonesia. Kesamaan itu berpeluang terjadi kembali pada penetapan Idul Fitri nanti. Meski demikian, kesamaan itu hanya sementara.

Beberapa tahun terakhir, umat Islam Indonesia sedikit lega karena bisa memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama. Kebersamaan itu makin mengukuhkan keyakinan umat Islam beribadah karena penentuan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha berkaitan dengan ibadah puasa yang wajib atau haram dilakukan.

Namun, kebersamaan itu diyakini tidak akan lama. Berdasar data astronomis yang ada, kesamaan awal dan akhir Ramadhan di Indonesia itu diperkirakan akan terjadi hingga tahun 2021 saja. Setelah itu, perbedaan berpotensi terjadi lagi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemicu perbedaan penentuan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia selama ini ialah beragamnya kriteria hilal yang digunakan organisasi massa Islam ataupun pemerintah. Padahal, kriteria hilal itu jadi patokan penentuan awal bulan (month) Hijriah. Hilal ialah Bulan (moon) sabit tipis pertama setelah fase Bulan mati dan terlihat setelah Matahari terbenam.

Saat ini, setidaknya ada dua kriteria utama hilal yang dipakai di Indonesia, wujudul hilal atau terbentuknya hilal dan imkan rukyat atau terlihatnya hilal. Kriteria imkan rukyat pun memiliki dua ukuran berbeda, yaitu standar forum MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dan standar Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) 2010.

Perbedaan penentuan awal bulan Hijriah itu bukan dipicu oleh metode yang digunakan, apakah hisab (perhitungan) atau rukyat (melihat). Kedua metode itu tidak akan memberikan hasil berbeda sepanjang kriteria awal bulan yang digunakan sama.

“Sepanjang kriteria yang ada tidak bisa disatukan, maka potensi perbedaan puasa dan Lebaran akan tetap ada,” kata anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama (THR Kemenag) yang juga dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Jumat (26/5).

Masalah global
Keresahan belum adanya kriteria tunggal penentuan awal Hijriah itu sebenarnya juga dirasakan umat Islam di seluruh dunia. Meski beberapa negara Timur Tengah mengikuti ketetapan Pemerintah Arab Saudi sebagai patokan, banyak negara muslim punya standar sendiri.

Selain itu, ketetapan pemerintah, termasuk Pemerintah Arab Saudi, terkadang juga menimbulkan perdebatan, bahkan penolakan, khususnya dari astronom. Penentangan itu muncul karena ketetapan itu dianggap tidak sesuai data empiris atau fakta astronomi.

Berdasar data Proyek Pengamatan Hilal Global (ICOP), hingga 22.00 WIB, awal Ramadhan pada Sabtu ini juga terjadi di Irak, Turki, Brunei, dan Malaysia. Dalam banyak kasus, perbedaan penentuan Ramadhan ataupun Idul Fitri itu terjadi di banyak negara. Perbedaan itu tak hanya berselang satu hari, bahkan ada yang sampai dua hari.

Sejak lama, perbedaan itu jadi keprihatinan banyak ulama, astronom, ataupun umat Islam di seluruh dunia. “Masalahnya, bagaimana mewujudkan keinginan menyatukan kalender Hijriah itu belum terstruktur. Tak jarang, ego kelompok masih kuat,” tambah Moedji.

Ikhtiar global
Kebutuhan adanya satu kalender Hijriah yang berlaku global, sama seperti kalender Masehi, kini diusahakan banyak pihak. Kebutuhan itu makin mendesak mengingat jumlah umat Islam kian besar dan tersebar di seluruh benua. Bahkan pada tahun 2075, umat Islam diperkirakan akan jadi populasi umat beragama terbesar di dunia.

Karena itu, sejumlah pihak menggagas berbagai upaya penyatuan kalender Hijriah. Upaya yang dilakukan pun beragam, mulai dari penyusunan kriteria hilal, menjalin komunikasi antarkelompok agama atau negara, hingga mengadakan pengamatan hilal global.

Salah satu upaya terakhir yang dilakukan adalah pertemuan para ulama dan astronom yang digagas Pemerintah Turki dalam Kongres Penyatuan Kalender Hijriah Internasional (IHCUC), Mei 2016.

Hendro Setyanto, anggota Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang hadir dalam kongres itu, mengatakan, melalui voting, peserta kongres menginginkan adanya satu kalender Hijriah yang berlaku global. Artinya, awal bulan Hijriah dimulai pada hari yang sama di seluruh dunia.

Kriteria awal bulan yang disepakati adalah imkan rukyat dengan ketentuan awal bulan dimulai jika saat magrib di mana pun di muka Bumi, jarak sudut Bulan dan Matahari harus lebih dari 8 derajat dan tinggi Bulan lebih dari 5 derajat.

Namun, hilal yang terlihat di seluruh dunia itu harus terlihat sebelum pukul 00.00 waktu Greenwich (GMT), Inggris, yang jadi patokan zona waktu global atau pukul 07.00 WIB. Itu juga berarti hilal yang terlihat di mana pun harus terjadi sebelum fajar terbit di Selandia Baru.

Meski demikian, anggota THR Kemenag yang juga Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menilai kriteria itu memiliki kelemahan, khususnya jika diterapkan di Indonesia. Jika tinggi Bulan lebih dari 5 derajat itu terjadi di Benua Amerika, di Indonesia yang terletak di belahan Bumi timur, Bulan akan terletak di bawah ufuk.

“Ketentuan itu akan sulit diterima di Indonesia karena dari kriteria apa pun yang digunakan di Indonesia saat ini mensyaratkan hilal bisa diterima jika Bulan di atas ufuk,” katanya.

Untuk itu, lanjut Thomas, negara-negara MABIMS berencana mengusulkan kriteria MABIMS yang disempurnakan dalam konferensi penyatuan kalender Hijriah global yang akan digelar di Indonesia November nanti.

Kriteria MABIMS yang disempurnakan itu menyaratkan jarak sudut Bulan-Matahari 6,4 derajat dan tinggi Bulan 3 derajat. Kriteria itu disebut disempurnakan karena kriteria MABIMS yang dipakai hingga saat ini menyaratkan jarak sudut Bulan-Matahari 3 derajat dan tinggi Bulan 2 derajat.

Kriteria MABIMS yang disempurnakan itu disusun Tim Pakar Astronomi yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia pada 2015 dan beranggotakan para astronom dari Lapan, ITB, Badan Informasi Geospasial, Universitas Pendidikan Indonesia, dan sejumlah ormas Islam.

Kriteria MABIMS yang disempurnakan itu akan berbasis posisi hilal di Indonesia. Artinya, jika hilal di Indonesia terlihat, di belahan Bumi yang lebih barat, seperti di Amerika, hilal juga akan terlihat. Kriteria ini juga akan membuat hilal di negara di zona waktu paling timur, seperti Samoa dan Selandia Baru, sudah di atas ufuk meski sulit untuk dilihat.

“Kriteria MABIMS yang disempurnakan itu juga mengakomodasi kriteria wujudul hilal,” tambah Djamaluddin.

Otoritas tunggal
Berbagai kriteria yang muncul, baik kriteria IHCUC Turki maupun MABIMS yang disempurnakan, akan memperkaya berbagai usulan kriteria awal bulan Hijriah.

Selain dua kriteria itu, sebelumnya sudah banyak kriteria penyatuan kalender Hijriah lain seperti yang diusulkan astronom Malaysia, Moh Ilyas, tentang garis tanggal Qamariah (penanggalan Bulan) atau Moh Syaukat Audah (Mohamed Odeh) dari Jordania yang mengelola ICOP.

Berbagai kriteria yang ada itu perlu disepakati dan diuji secara luas agar tidak menimbulkan persoalan di negara-negara lain. Setelah ada kesepakatan, perlu ada otoritas tunggal yang menjaganya. Menurut Djamaluddin, keberadaan otoritas tunggal itu merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan kalender Hijriah yang mapan, selain kriteria tunggal dan kesatuan wilayah.

Dalam konteks saat ini, otoritas tunggal itu harus berupa lembaga kolektif antarnegara, bukan antarormas. Karena itu, dalam lingkup regional Asia Tenggara, forum MABIMS bisa dijadikan otoritas untuk mengegolkan kriteria MABIMS yang disempurnakan.

“Saat ini, kriteria MABIMS yang disempurnakan itu masih berupa draf yang penetapannya menunggi pertemuan tingkat menteri,” tambah Djamaluddin.

Sementara dalam lingkup global, ada Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang bisa menjaganya. OKI pula yang diharapkan bisa menjembatani berbagai kepentingan politik negara-negara Islam dalam penyatuan kalender Islam.–M ZAID WAHYUDI
———–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Mei 2017, di halaman 14 dengan judul “Mempercepat Penyatuan Kalender Islam”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB