Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan produk biosimilar dan natural sebagai terapi masa depan dengan biaya terjangkau. Untuk itu, perlu ada sinergi berbagai pihak dan komitmen pengembangan riset yang kuat.
Di masa depan produk biosimilar dan natural dianggap paling berpotensi untuk dikembangkan dalam industri farmasi di dalam negeri. Akan tetapi, pengembangannya memerlukan komitmen yang kuat terkait riset dan pengembangan teknologi.
Peneliti dari PT Biofarma (Persero), Neni Nurainy, pada temu media di Cirebon,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jawa Barat, Rabu (7/2), mengatakan, dengan penguasaan teknologi dan keanekaragaman hayati melimpah, Indonesia memiliki potensi bersaing di produk biosimilar dan natural. ”Harapannya produk biosimilar harganya bisa lebih murah. Dari produk biosimilar yang ada, harganya bisa sampai 50 persen lebih murah dari originatornya,” ujar Neni.
Biosimilar adalah obat biologis yang memiliki karakteristik yang mirip dengan obat patennya (originator). Setelah masa paten suatu obat habis, maka bisa dikembangkan obat yang memiliki karakteristik sama yang berasal dari sel makhluk hidup (biosimilar).
Di Tanah Air, pengembangan produk biosimilar telah dimulai oleh PT Biofarma (Persero). Sejak 2016, PT Biofarma mengembangkan dua produk biosimilar, yakni obat untuk kanker payudara dan eritropoietin (hormon yang berfungsi meningkatkan produksi sel darah merah) generasi kedua yang memiliki waktu paruh lebih lama.
Obat kanker yang dikembangkan itu merupakan biosimilar dari trastuzumab yang patennya habis tahun 2016 di Eropa dan tahun 2019 di Amerika Serikat. Sementara paten eritropoietin berakhir tahun 2019 di Eropa dan tahun 2024 di AS.
Menurut Neni, hal terpenting dari pengembangan biosimilar adalah penguasaan platform teknologinya karena proses pengembangan biosimilar amat rumit. Itu dikuasai PT Biofarma. ”Sekarang kami membangun fasilitas produksinya,” ujarnya.
Meski Indonesia mulai mengembangkan biosimilar, langkah ini termasuk lambat dibandingkan negara lain. Contohnya, India dan Korea sudah memasuki uji klinis tahap II dalam pengembangan biosimilar.
Sekretaris Korporat PT Biofarma Bambang Heriyanto mengatakan, pengembangan biosimilar jadi bagian dari strategi pengembangan produk. Selain biosimilar, prioritas utama diberikan pada produksi vaksin, antiserum, dan produk darah.
Keanekaragaman hayati
Selain itu, sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati nomor dua di dunia, Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan produk natural. Kekayaan alam yang ada bisa dikembangkan jadi fitofarmaka, misalnya. Itu memerlukan komitmen pengembangan riset yang kuat.
Sayangnya, dari sekitar 30.000 jenis tanaman, baru 1.200 tanaman dimanfaatkan. Selain itu, analisis big data dan bioinformatik terkait potensi kekayaan alam Indonesia masih kurang. Selama ini, riset tentang kekayaan alam Indonesia yang berpotensi dimanfaatkan lebih banyak dilakukan ilmuwan asing.
Pengembangan vaksin
Jika ingin mengembangkan produk obat kimia, menurut Neni, Indonesia ketinggalan jauh dibandingkan negara lain. Industri kimia dasar dalam negeri amat tertinggal dan akan sulit mengejar. Karena itu, selama ini industri farmasi dalam negeri sangat bergantung pada bahan baku obat impor.
Sementara untuk pengembangan vaksin, Indonesia dinilai baik. Sejumlah produk vaksin PT Biofarma lolos prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diterima di lebih dari 130 negara di dunia, termasuk negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
Saat ini Biofarma mengembangkan sejumlah vaksin baru yang dikerjakan sendiri maupun dalam lingkup konsorsium. Vaksin itu adalah pneumokokus, tifoid, dengue, hepatitis B (untuk terapeutik), dan tuberkulosis atau TB.
Dokter spesialis anak yang juga penulis buku Pro Kontra Imunisasi, Arifianto, mengatakan, proses pembuatan vaksin kompleks. Produk vaksin harus aman dan efektif mencegah penyakit. Agar bisa membentuk kekebalan komunitas, cakupannya harus setinggi mungkin. (ADH/IKI)
Sumber: Kompas, 8 Februari 2018