Keterlambatan dalam tes dan pelacakan kontak membuat rantai penularan sulit diputus sehingga penambahan kasus dan korban jiwa cenderung meningkat. Pemerintah agar memasifkan langkah itu supaya wabah Covid-19 terkendali.
Pemerintah diminta memprioritaskan peningkatan kapasitas tes dan pelacakan kontak dalam upaya penanganan Covid-19. Keterlambatan dalam tes dan pelacakan kontak membuat rantai penularan sulit diputus sehingga penambahan kasus harian dan korban jiwa cenderung meningkat.
”Dua hal mendasar dalam penanganan wabah, yaitu tracing (pelacakan riwayat kontak) dan tes, masih menjadi titik lemah kita. Tanpa ada pembenahan, saya khawatir kita gagal mengatasi Covid-19 ini,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan, di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengacu pada panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), minimal 80 persen orang yang memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19 harus sudah ditemukan dalam waktu kurang dari 72 jam. ”Mereka harus segera dites dan selama menunggu hasil harus diisolasi,” katanya.
Keterlambatan dalam pelacakan kontak dan tes, menurut Ede, membuat penularan virus sulit dihentikan. Selain itu, hal ini juga menyebabkan banyak orang meninggal karena terlambat ditangani, bahkan sebagian meninggal dengan sebelum dites.
Data Laporcovid19.org, jumlah orang yang meninggal dengan status terduga Covid-19, yaitu pasien dengan gejala klinis, tetapi belum sempat dites, mencapai 9.671 orang atau 58,6 persen dari total korban meninggal terkait Covid-19. ”Ini menjadi salah satu indikator keterlambatan tracing dan tes,” kata Ede.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 terjadi penambahan 2.447 kasus baru dalam sehari sehingga total menjadi 157.859 orang yang terinfeksi. Penambahan kasus harian ini merupakan yang terbanyak ketiga setelah ada penambahan 2.657 kasus baru pada 9 Juli dan 2.473 kasus baru pada 7 Agustus.
Penambahan kasus baru ini lebih banyak dari jumlah pasien yang dinyatakan sembuh dalam sehari sebanyak 1.807 dan total 112.867. Hingga saat ini, sebanyak 38.134 orang masih dalam perawatan. Sementara korban jiwa bertambah 99 orang sehingga total menjadi 6.858 orang. Jumlah korban jiwa dalam sehari ini merupakan yang tertinggi selama bulan Agustus.
Sebagian besar penambahan kasus pada Selasa disumbangkan dari Jakarta sebanyak 637 orang, disusul Jawa Timur 363 kasus, dan Jawa Barat 250 kasus, serta Jawa Tengah 198 kasus. Adapun penambahan kematian terbanyak terjadi di Surabaya dengan 27 korban jiwa, disusul Jawa Tengah 25 korban jiwa, dan Jakarta 16 korban jiwa.
Jumlah orang yang diperiksa dengan analisis PCR dalam sehari sebanyak 18.579 orang, sedangkan total orang yang diperiksa sebanyak 1.191.948 orang. Dengan data ini, rasio positif di Indonesia mencapai 13,2 persen, terus naik jika dibandingkan dengan pada 15 Agustus sebesar 13,1 persen dan pada 1 Agusus sebesar 12,6 persen, yang menjadi salah satu indikasi penularan di komunitas semakin tinggi.
Ede mengatakan, pemerintah seharusnya menyajikan data, berapa banyak dari penambahan kasus harian itu yang berasal dari pelacakan kontak dan yang ditemukan karena pasien memeriksakan diri ke rumah sakit karena sakit. ”Saya khawatir, sebagian besar kasus karena pasien ke rumah sakit, bukan dari hasil tracing, padahal mobilitas warga semakin tinggi. Ini menyebabkan jumlah kasus terus bertambah dan sulit dikendalikan,” katanya.
Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hingga 13 Agustus 2020, sebanyak 62 persen kasus ditemukan karena pasien ke fasilitas kesehatan, sedangkan penelusuran kontak hanya 34 persen, dan upaya aktif untuk menemukan kontak baru hanya 4 persen. ”Situasi di daerah lain bisa lebih parah lagi. Saya khawatir upaya tracing makin melemah sekarang,” kata Ede.
Hana Krisnawati, peneliti Litbangkes Papua, mengatakan, jumlah spesimen Covid-19 yang diterima laboratoriumnya per hari saat ini terus merosot. Jika seblumnya rata-ata 800 spesimen per hari, saat ini hanya tinggal 200 per hari, bahkan pada Selasa ini hanya 116 spesimen. Padahal, rasio positif terus meningkat hingga mencapai 16 persen.
”Upaya tracing kemungkinan memang mengendur sehingga spesimen yang dikumpulkan semakin berkurang. Kalau melihat angka positifnya makin tinggi, mestinya kasusnya makin banyak,” kata Hana.
Lemahnya penelusuran kontak ini juga dikeluhkan banyak warga, selain ketidakjelasan biaya dalam pemeriksaan. Yohanes, warga Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, misalnya, harus membayar sendiri biaya pemeriksaan Covid-19 hingga Rp 1,45 juta di salah satu rumah saki swasta. ”Saya ditolak saat ke puskesmas dan rumah sakit daerah, padahal jelas kakak saya yang tinggal serumah positif Covid-19,” katanya.
Negara Lain
Belajar dari sejumlah negara lain, penelusuran kontak dan tes massal merupakan kunci penting untuk memutus rantai penularan. Hal ini pula yang dilakukan China, seperti disampaikan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian dalam diskusi pada Senin (24/8).
Selain mengerahkan ribuan tenaga kesehatan, pelacakan kontak di China juga dilakukan melalui perangkat teknologi. Ketika seseorang dites positif terkena virus, penyelidik kesehatan masyarakat menghubungi mereka, mempelajari semua orang yang pernah mereka hubungi dalam jangka waktu tertentu, dan kemudian secara manual melacak dan memberi tahu semua kontak tersebut.
Perusahaan swasta di China bekerja sama dengan pemerintah meluncurkan aplikasi yang membantu menentukan siapa yang dapat mulai meninggalkan rumah dengan aman tanpa menginfeksi orang lain. Sementara di Korea Selatan, otoritas kesehatan akan mengirim peringatan melalui telepon genggam jika ada seseorang di dekat mereka yang positif Covid-19.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2020