Peringatan 11 Tahun Tsunami Aceh
Lelaki itu berusaha bangkit setelah diseret air deras di Jalan Sri Ratu Safiatuddin, Peunayong, Banda Aceh, Aceh. Tubuhnya basah kuyup. Pria itu diseret bersama balok kayu, kasur, dan pohon tumbang. Air hitam dan berlumpur melewati lututnya. Ia terus berusaha sampai bisa kembali berlari.
Tak jauh dari lelaki itu, dua pemuda menolong seorang warga yang terseret air. Di belakangnya, ruas Jalan Simpang Lima yang biasanya padat menjadi lautan hitam.
Di sebuah bangunan berlantai dua yang menghadap Jalan Daud Beureueh, belasan warga menatap lima perempuan, satu bocah, dan lelaki dewasa yang berjalan di antara puing bangunan. Semua berusaha menyelamatkan diri dari air yang meninggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lembar kepiluan itu ada dalam buku Peradaban Cahaya (Civilization of Light). Buku itu berisi kumpulan foto detik-detik terjadinya gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Semua foto karya Bedu Saini, wartawan foto harian Serambi Indonesia, koran lokal di Aceh. Buku itu diluncurkan Sabtu (26/12) malam, bersamaan dengan peringatan 11 tahun gempa dan tsunami. Peluncuran buku itu dihadiri Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, pengurus Pewarta Foto Indonesia Jefri Tarigan, dan Bedu Saini. Foto-foto tsunami karya Bedu dipamerkan di Museum Tsunami, 26-27 Desember 2015.
KOMPAS/ZULKARNAINI–Pengunjung mengamati foto tsunami karya fotografer harian Serambi Indonesia, Bedu Saini, yang dipamerkan di Museum Tsunami, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (26/12).
Bedu menyatakan, buku itu jadi cermin bagi generasi selanjutnya agar bisa membangun peradaban baru, yakni kehidupan yang selalu siaga bencana. Ia menyebutnya peradaban cahaya.
Selain memuat detik-detik bencana, dalam buku itu juga ada potret masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, perdamaian Aceh, serta pembangunan pasca perdamaian.
Korban bencana
Sesaat setelah gempa mengguncang Aceh pada 2004, Bedu bergegas meninggalkan rumahnya di Lambaro Skep, sekitar 2 kilometer dari Simpang Lima. Naluri sebagai pewarta foto membuatnya memacu sepeda motor ke pusat kota.
Setiba di daerah itu, Bedu terpaku. Banyak orang berlari ketakutan. Dari arah Jalan Sri Ratu Safiatuddin, air hitam menerjang apa yang ada. Mobil, gerobak, pohon, bahkan manusia diseret. Meski panik, Bedu memotret apa yang dia saksikan. Dalam musibah itu, dua anak dan ibunda Bedu raib.
Bedu jadi saksi sejarah tsunami sekaligus korban bencana itu. Pria kelahiran Simeulue, Aceh, pada 1962 itu memulai karier sebagai jurnalis pada 1990. Semula, ia jadi petugas kebersihan di Serambi Indonesia, lalu dipindahkan ke bagian cuci cetak foto. Pada 2000, dia dipercaya jadi fotografer. “Saya belajar otodidak,” ucapnya.
Bedu mengorbankan kepentingan pribadi demi mengabadikan bencana. “Dia pahlawan bagi sejarah kebencanaan tsunami Aceh,” kata Illiza. Gempa dan tsunami Aceh merenggut lebih dari 160.000 korban jiwa.
Ridwan menambahkan, foto Bedu jadi dokumen sejarah yang harus dijaga baik. Foto-foto itu berguna bagi generasi selanjutnya. “Saya pernah cari foto Kota Bandung masa lampau hingga ke Belanda. Saya yakin, 100 tahun lagi foto-foto ini akan dicari masyarakat Aceh,” ujarnya.
Menurut Jefri, jurnalis di Indonesia seharusnya memberi pendidikan kebencanaan kepada pembaca lewat tulisan dan foto. Hasil penjualan buku Peradaban Cahaya (Civilization of Light) itu dipakai untuk pendidikan jurnalisme bencana bagi wartawan di Aceh. (ZULKARNAINI)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Potret Kengerian Bencana Itu.”.