Indonesia memiliki potensi rumput laut (Eucheuma cottonii ) yang sungguh kaya. Namun, hal itu tak serta-merta diikuti peningkatan kualitas produksi. Contohnya di Pulau Arguni, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Hasil rumput lautnya melimpah, tetapi distribusi dan pelatihan pengolahan minim.
Pekan lalu, Kompas yang datang ke Pulau Arguni disuguhi pemandangan kesibukan para ibu menata rumput laut yang dijemur di atas bilah-bilah kayu. Sejumlah lelaki paruh baya memasukkan rumput laut kering ke dalam karung. Aroma rumput laut tercium di sepanjang pesisir Tanjung Onin itu.
Pulau Arguni yang terdiri dari Kampung Arguni dan Taver dihuni lebih dari 100 keluarga. Sebagian membudidayakan rumput laut, sebagian lagi menjadi nelayan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap keluarga memiliki area tanam 100 bentang jaring. Setiap jaring luasnya sekitar 50 meter persegi. Masa tanam rumput laut sekitar 45 hari. Dalam setahun, rumput laut bisa dipanen delapan kali.
Rudi Turua, warga Kampung Arguni, menjelaskan, setiap keluarga biasanya memanen 500 kilogram (kg) hingga 1 ton rumput laut basah. Dalam satu kali masa panen, rumput laut yang dihasilkan 50-100 ton. Dalam setahun, hasil panen rumput laut 400-800 ton.
Mayoritas pembeli rumput laut Pulau Arguni berasal dari distrik-distrik di Kabupaten Fakfak dan sekitarnya. Para pembeli itu lalu menjual lagi rumput laut tersebut ke Jawa.
Saat ini, harga rumput laut kering Rp 9.000 per kg. ”Bagi kami, kondisi ini menguntungkan. Beberapa bulan lalu sempat merosot Rp 2.000 lebih per kg,” kata Rudi.
Kepala Kampung Taver Asgar Rimosan mengungkapkan, para pembudidaya rumput laut di kampungnya tidak mengetahui perkembangan harga rumput laut secara nasional. Petani tak memiliki daya tawar, hanya bisa menjual rumput laut sesuai keinginan pembeli.
Minim pelatihan
Hasil panen yang melimpah belum bisa terjual seluruhnya. Upaya meningkatkan nilai tambah terkendala minimnya pelatihan membuat produk olahan.
Nursaid Bau, warga Kampung Taver, mengungkapkan, pelatihan mengolah rumput laut diberikan pemerintah daerah sekitar dua bulan lalu. Masyarakat dilatih membuat kerupuk, manisan, sirup, dan tepung.
Sayangnya, program itu tidak disertai pembukaan akses distribusi. Akibatnya, resep-resep latihan sebatas dipraktikkan di dapur mereka sendiri.
Sebenarnya di Pulau Arguni telah berdiri KUD Enenem Jaya. Koperasi itu menampung dan menyalurkan ikan dan kredit bagi nelayan. Baru 19 nelayan yang bergabung dengan koperasi itu.
”Kami berupaya mengembangkan koperasi ini. Tidak hanya menampung ikan, tetapi ‘juga hasil laut lainnya, termasuk rumput laut,” ujar Jamaludin Mumuan, Kepala KUD Enenem Jaya.
Dari sekitar 769.452 hektar (ha) lahan yang potensial untuk budidaya rumput laut di Indonesia, baru sekitar 384.773 ha yang dimanfaatkan. Pulau Arguni hanya satu contoh belum maksimalnya pemanfaatan potensi itu. (MEDIANA)
Sumber: Kompas, 8 Desember 2014