Potensi kerugian ekonomi negara hingga ratusan triliun rupiah akibat perubahan iklim dapat dipangkas jika Indonesia gencar menerapkan pembangunan rendah karbon di semua sektor. Itu dari limbah hingga energi.
Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga mencapai Rp 544 triliun akibat bencana iklim selama periode 2020-2024 apabila tidak melakukan intervensi. Potensi kerugian tersebut dapat dihindari jika Pemerintah Indonesia gencar menerapkan pembangunan rendah karbon di semua sektor.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar dan diskusi daring bertajuk ”Pembangunan Rendah Karbon sebagai Pilar Utama Mencapai Ekonomi Hijau dan Net Zero Emission Indonesia”, di Jakarta, Kamis (26/8/2021). Webinar ini diselenggarakan dalam rangkaian acara Low Carbon Development Indonesia (LCDI) menuju Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP26 UNFCCC) di Glasgow, Skotlandia, November mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam mengemukakan, dari hasil studi Bappenas, potensi kerugian Indonesia akibat perubahan iklim meliputi sektor kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan.
Sektor kelautan dan pesisir tercatat berpotensi mengalami kerugian ekonomi terbesar hingga mencapai Rp 408 triliun, disusul pertanian Rp 78 triliun, kesehatan Rp 31 triliun, dan air Rp 28 triliun. Potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim ini termasuk kerusakan kapal, kenaikan muka air laut, menurunnya ketersediaan air dan produktivitas padi, serta peningkatan potensi penyakit seperti demam berdarah dengue.
”Hasil proyeksi menunjukkan ke depan akan semakin terjadi perubahan curah hujan dan suhu di Indonesia. Ini akan berimplikasi terhadap meningkatnya frekuensi berbagai bencana hidrometeorologi dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi ekonomi,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjut Medrilzam, harus disikapi dengan cepat dan serius melalui berbagai kebijakan ataupun aksi nyata untuk menanggulangi perubahan iklim. Berdasarkan studi Bappenas, kebijakan ketahanan iklim dan pembangunan rendah karbon pada empat sektor prioritas, yakni air, kesehatan, perikanan laut, dan pertanian berpotensi menurunkan risiko kehilangan produk domestik bruto (PDB) hingga 50 persen pada 2024.
Upaya integrasi
Saat ini, Bappenas telah melakukan upaya integrasi pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Lima strategi utama pembangunan rendah karbon tersebut meliputi penanganan limbah dan ekonomi sirkular, pengembangan industri hijau, pembangunan energi berkelanjutan, rendah karbon laut dan pesisir, serta pemulihan lahan berkelanjutan.
Lima strategi pembangunan rendah karbon tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengatasi perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi seiring dengan ditetapkannya target penurunan emisi sebesar 27,3 persen pada 2024. Untuk mendukung transformasi ekonomi hijau, Bappenas akan fokus mengkaji permasalahan di bidang pangan dan gizi (food loss and waste/FLW) serta ekonomi sirkular.
Masalah FLW perlu menjadi fokus karena, menurut studi Bappenas, timbulan FLW Indonesia pada 2000-2019 mencapai 115-184 kilogram per kapita per tahun. Potensi total emisi timbulan FLW ini diestimasikan sebesar 1,7 giga ton setara karbondioksida dan kerugian mencapai Rp 213 triliun-Rp 551 triliun atau 4-5 persen dari PDB.
Sementara hasil kajian Bappenas lainnya, menerapkan ekonomi sirkular dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) cukup signifkan, yakni Rp 600 triliun, pada 2030. Bahkan, ekonomi sirkular juga dapat mendorong terciptanya 4,4 juta lapangan kerja hijau yang baru.
”Di sisi lain, dengan menerapkan ekonomi sirkular, kita bisa mengurangi timbulan limbah sebesar 18-52 persen dibandingkan business as usual pada 2030. Ekonomi sirkular juga berkontribusi menurunkan emisi 126 juta ton setara karbon dioksida,” kata Medrizal.
Energi baru terbarukan
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, salah satu kontribusi terbesar dalam penurunan emisi yakni melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Di samping itu, perlu ada aksi mitigasi, seperti efisiensi energi dan menggunakan bahan bakar rendah karbon.
”Saat ini kami bertransformasi di sektor energi untuk mengurangi energi dari bahan bakar fosil. Dari sisi permintaan, kami mendorong kendaraan listrik dan penggunaan baterai menjadi keharusan. Agar akses energi baru terbarukan mencapai pelosok, perlu juga dukungan kerangka regulasi,” tuturnya.
Head of Innovative Financing Lab Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Didi Hardiana menambahkan, pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk menggerakkan ekonomi ke arah lebih hijau. Kebijakan stimulus fiskal tahun ini atau ke depan dapat diarahkan untuk mendorong energi baru terbarukan.
”Indonesia sudah menjadi pelopor dalam pengembangan pembiayaan inovatif dan berkelanjutan. Beberapa skema sudah diimplementasikan, seperti obligasi hijau. Berbagai konferensi internasional, seperti tahun depan kita menjadi tuan rumah pertemuan G-20, dapat menjadi peluang untuk mendorong lebih banyak investasi berkelanjutan,” katanya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2021