Bahan bakar nabati dari minyak kelapa untuk pesawat (bioavtur) amat potensial dikembangkan di Indonesia. Selain bahan baku minyak kelapa tersedia di semua daerah, bioavtur lebih ramah lingkungan dibandingkan energi fosil yang digunakan selama ini.
Hal itu dikemukakan Duong Hoang Long, mahasiswa asal Vietnam, saat mempertahankan disertasinya, Study on Soap-Derived Biokerosene: Development on Production Process, Investigation on Fuel Composition and Properties, and Evaluation on Gas Turbine Engine, pada sidang promosi doktor di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Jumat (10/2). Ia lulus dengan predikat cum laude.
“Bioavtur strategis bagi industri penerbangan. Sumber energi ini berpotensi dikembangkan di Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara karena bahan utama banyak ditemui di sini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Duong memaparkan, transportasi udara yang berkembang pesat mendorong permintaan avtur. Bahan bakar dari energi fosil tak terjamin ketersediaannya sehingga harga bahan bakar pesawat berfluktuasi.
Iman K Reksowardojo, salah satu promotor sidang itu, menilai, bioavtur amat cocok dikembangkan di Indonesia. Energi itu tepat jika diproyeksikan menggantikan energi fosil. Jika terus dikembangkan, Indonesia bisa menjadi sumber utama bioavtur itu. Bioavtur yang rendah emisi bisa jadi pertimbangan beralih dari energi fosil.
“Kalau energi fosil, pembuangannya langsung mengumpul di udara dan jadi panas. Itu amat berbahaya bagi lingkungan. Kalau pembuangan bioavtur, itu akan dimakan lagi oleh tanamannya,” ucapnya.
Lebih mahal
Namun, harga bioavtur diperkirakan sedikit lebih mahal dibandingkan energi fosil. Itu karena proses produksi bioavtur lebih lama. “Kalau energi fosil tinggal ambil. Sementara bioavtur harus dibuat dulu, mulai dari penanaman tumbuhannya. Hal itu membuat harganya lebih mahal,” kata Iman.
Menurut Senior Manager of Occupational, Safety, Health, & Environment Garuda Indonesia David Wibisono, bioavtur berpotensi jadi masa depan energi transportasi penerbangan Indonesia. Sebab, sumber energi itu melimpah di Indonesia.
David berharap riset bioavtur dikembangkan karena sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan. Namun, faktor harga jadi pertimbangan utama pemakaian bioavtur karena biaya bahan bakar mencapai 20-40 persen dari biaya operasional.
“Kami juga memiliki kebijakan untuk mendukung itu (bahan bakar ramah lingkungan). Kalau harganya bisa sesuai dengan harga avtur biasa, kami siap beralih,” ucapnya. (TAM)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Potensi Bioavtur Perlu Dikembangkan”.