Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Tanah Air sudah bergulir sangat lama, diiringi kontroversi dan perdebatan yang seru.
Kontroversi dan perdebatan itu tidak terhindarkan karena menyangkut teknologi yang mempunyai risiko yang besar dalam skala dan magnitudo. Semua jenis teknologi dan aktivitas manusia tak bisa dimungkiri punya dampak lingkungan dan juga sosial. Akan tetapi, pembangunan dan pengoperasian PLTN dan teknologi PLTN punya tingkat risiko berbeda karena itu menuntut tingkat kehati-hatian tinggi.
Oleh karena itu, ketika kita memang benar-benar akan membangun PLTN, itu membutuhkan keputusan politik dengan skala sangat tinggi di tangan presiden dengan melibatkan partisipasi publik yang tinggi pula. Terlepas dari berbagai argumen pro dan kontra yang telah mengemuka di publik, kita perlu berpedoman kepada kesepakatan legal formal yang telah dicapai sejauh ini agar bangsa ini tidak terpecah dan terkuras energinya hanya memperbincangkan soal PLTN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KEN 2050
Kesepakatan legal formal terakhir yang kita miliki adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN), yang di dalamnya mengamanatkan tentang PLTN. KEN mengamanatkan energi nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir (Pasal 11 Ayat 3), bahkan disertai kewajiban agar pengusahaan instalasi nuklir “memperhatikan keselamatan dan risiko kecelakaan serta menanggung seluruh ganti rugi ke pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat kecelakaan nuklir” (Pasal 19 Ayat 4).
Ada beberapa catatan penting terkait amanat ini. Pertama, keputusan bahwa PLTN pilihan terakhir merupakan hasil kesepakatan DPR dan pemerintah melalui pembahasan panjang rancangan peraturan pemerintah yang melibatkan DPR dan kemudian disetujui Rapat Paripurna DPR Januari 2014. Sekadar catatan, hanya PP KEN yang pembahasannya melibatkan DPR.
Dengan keputusan legal formal itu, segala perbedaan pendapat dan perdebatan tentang rencana pembangunan PLTN harus dikembalikan dan didasarkan kepada PP No 79/2014 ini. Karena itu pula, secara konstitusional presiden dan semua pihak lain menghormati dan tunduk kepada kesepakatan ini. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo belum pernah secara resmi memutuskan segera membangun PLTN.
Itu berarti, selama aturan formal ini belum diubah, keputusan oleh siapa pun, apalagi oleh menteri, harus dipandang inkonstitusional dan melanggar UU. Pemerintah harus menjadi teladan konstitusional bahwa apa pun aspirasinya sebagai pribadi, dia harus tunduk kepada perintah UU.
Kedua, tak ada amanat apa pun di dalam PP KEN bahwa nuklir menyumbang 4 persen dari 23 persen sumbangan sumber energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen dalam target bauran energi nasional 2025. PP KEN memang mengamanatkan bahwa sumbangan sumber energi baru dan terbarukan dalam target bauran energi 2025 adalah 23 persen, tetapi sama sekali tak menyebut sumbangan energi nuklir. Karena itu, merupakan kebohongan besar ketika Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia Arnold Soetrisnanto mengatakan nuklir menyumbang 4 persen dari target 23 persen (Kompas, 4/6).
Membanggakan kemampuan kita dalam hal penguasaan teknologi nuklir tentu sudah seharusnya. Tetapi, kita perlu hati-hati kepada pendukung PLTN yang sejak awal sudah memanipulasi amanat perundang-undangan. Bagaimana kita bisa percaya kepada mereka yang mendukung PLTN bahwa teknologi PLTN yang hendak dibangun di Indonesia adalah generasi IV yang sangat aman, kalau saja soal amanat UU pun sudah dimanipulasi penuh kebohongan?
Ketiga, selain karena alasan keselamatan dan risiko lain, kesepakatan energi nuklir sebagai pilihan terakhir tentu didasari masih banyaknya sumber energi bersih terbarukan yang kita miliki di seluruh Nusantara yang hingga kini belum kita kembangkan dan manfaatkan maksimal.
Energi bersih terbarukan
Dibandingkan sebagian besar negara yang membangun PLTN, kita mempunyai sumber energi bersih terbarukan yang sangat banyak. Kita mempunyai panas bumi, sinar matahari melimpah, arus dan gelombang laut serta suhu laut, angin, bioenergi, dan air. Semuanya masih belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara maksimal.
Kendati sebagian di antaranya masih mahal pengembangannya, termasuk inovasi teknologinya, dunia sedang mengarah ke energi bersih terbarukan yang kian efisien. Energi matahari diprediksi akan menjadi energi masa depan dunia dan beberapa negara, seperti Jepang, Malaysia, Tiongkok, dan yang lainnya telah mengambil ancang-ancang ke arah itu (Rinaldy Dalimi, Kompas, 29/5).
Dibandingkan PLTN yang hanya akan melibatkan segelintir pihak (investor, tenaga ahli, pihak keamanan) energi bersih terbarukan akan bisa melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat tergantung skala dan kebutuhannya. Petani bisa dilibatkan di dalamnya. Koperasi bisa dilibatkan, BUMD bisa dilibatkan. Pengusaha kecil dan menengah bisa dilibatkan. Bahkan perorangan pengusaha muda kreatif- inovatif bisa terlibat di dalamnya. Lebih dari itu, listrik PLTN hanya akan menerangi sebagian masyarakat di pusat-pusat pembangunan di Sumatera dan Jawa. Sebaliknya, energi bersih terbarukan akan terdesentralisasi menggerakkan roda perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air.
Semua pembangkit punya risiko. Tetapi, risiko energi bersih terbarukan yang disebutkan di atas hanya terbatas lingkupnya di sekitar pembangkit. Sebaliknya risiko PLTN akan menghantui seluruh penduduk Indonesia.
Jadi, mari kita pegang saja kesepakatan bersama yang telah dituangkan dalam PP KEN. Pada saatnya nanti, ketika memang kebutuhan kita akan energi masih juga belum tercukupi, kita-melalui presiden-bisa memutuskan untuk membangun PLTN. Itu pun harus dengan kehatian-hatian dalam hal analisis mengenai dampak lingkungan, zonasi yang ketat dan pengamanan dari segala kemungkinan sabotase dan terorisme yang bisa mengganggu PLTN serta dengan terlebih dulu mendapat dukungan terbuka dari DPR dan rakyat Indonesia.
Tentu saja, penelitian dan penguasaan teknologi nuklir tidak harus dihambat. Tetap saja dikembangkan, tetapi jangan melanggar peraturan perundang- undangan.
Sonny Keraf,Anggota Dewan Energi Nasional, unsur pemangku Kepentingan Lingkungan Hidup
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul “PLTN Pilihan Terakhir”.