CATATAN IPTEK
Suatu siang di akhir Oktober 2017, Pantai Bangsring di kawasan Banyuwangi, Jawa Timur, mendadak penuh limbah plastik. Padahal, laut semula begitu bersih. Entah dari mana datangnya, segala jenis sampah plastik—dari bekas pembungkus detergen, minyak goreng, sedotan, gelas, hingga aneka kantong belanja—mengambang menutupi permukaan laut. Niat snorkling pun surut seketika.
Melihat muka-muka yang kecewa, awak perahu mencoba menenangkan. “Sabar, sabar sebentar. Nanti kalau arusnya berubah, sampah-sampah itu akan berpindah,” katanya.
Fenomena itu, ternyata sudah biasa mereka hadapi. Pada jam-jam tertentu, arus membawa sampah-sampah menyebar hingga ke tengah laut. Indonesia bisa dibilang salah satu raja sampah plastik dunia, nomor dua setelah China, yang merupakan negara pembuang sampah plastik terbanyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut penelitian Jenna R Jambeck dan kawan-kawan dari Universitas Georgia yang dimuat di jurnal Science (2015), Indonesia hampir tidak mengolah limbah plastiknya sama sekali. Dari 3,8 juta ton sampah plastik, 3,2 juta ton berakhir di laut setiap tahunnya.
KOMPAS/VINA OKTAVIA–Nelayan di Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, menarik jaring payang di antara sampah plastik yang berserakan di laut, Sabtu (11/6/2016).
Program Lingkungan PBB (UNEP) yang juga membuat studi tahun 2015, menyebut 280 juta ton plastik diproduksi dunia setiap tahun. Dari jumlah itu, hanya sedikit yang didaur ulang. Akibatnya, dampak limbah plastik memicu kerugian hingga 13 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Sampah plastik sangat mengganggu ekosistem laut. Menurut Clean Water Action, paling tidak 267 spesies terkena dampaknya. Termasuk di antaranya 86 persen spesies penyu laut, 44 persen spesies burung laut, dan 43 persen spesies mamalia laut. Gara-gara sampah plastik, para penghuni laut ini bisa mati karena tercekik, kelaparan, infeksi, bahkan tenggelam.
Tahun 2010, seekor paus kelabu (Eschrichtius robustus) mati terdampar di pesisir Puget Sound, Washington, Amerika Serikat. Hasil otopsi menunjukkan, perut paus itu berisi celana pendek, bola golf, lebih dari 20 tas plastik, handuk kecil, selotip, bahkan sepasang sarung tangan operasi.
Sampah plastik yang dibuang manusia ternyata berputar kembali dan akhirnya mengancam rantai makanan manusia. Tahun 2008, para ahli biologi kelautan mulai menemukan ikan-ikan yang menelan kepingan plastik. Dari 672 ikan konsumsi yang ditangkap dalam ekspedisi Pacific Gyre, pada 35 persen ikan ditemukan kepingan plastik dalam tubuhnya.
Upaya mengatasi
Sudah banyak upaya untuk mengurangi limbah plastik ini. Ocean Conservancy misalnya, sudah lebih dari 30 tahun telah berpartisipasi membersihkan pesisir dari plastik. Ocean Conservancv beranggotakan lebih dari 12 juta sukarelawan dari 153 negara, dengan tujuan akhir menurunkan jumlah plastik di lautan hingga setengahnya dalam satu dekade.
Di seluruh dunia, organisasi serupa terus berkembang. Sebutlah Blue Ventures, Project Aware, The Ocean Clean Up, dan seterusnya. Namun, meskipun organisasi-organisasi semacam ini sudah bertindak mulia, upaya membersihkan laut yang sudah tercemari limbah plastik tidak akan berhasil tanpa disertai kebijakan yang bersifat preventif dan menyeluruh.
Salah satu di antaranya adalah dengan mengubah habitus. Kebiasaan menggunakan benda-benda yang terbuat dari plastik tanpa kendali, perlu dievaluasi. Caranya bisa dengan membuat kebijakan dan lingkungan yang mendukung masyarakat agar sesedikit mungkin menggunakan benda dari plastik.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Tinggalkan Kantong Plastik – Warga membawa tas kain untuk mengganti kantong plastik saat berbelanja di Hypermart, Lippo Mall Kemang, Jakarta, beberapa waktu. Kesadaran masyarakat untuk beralih menggunakan kantong belanja yang dapat digunakan ulang bisa mengurangi pencemaran lingkungan terutama dari sampah plastik.
Kebijakan yang pernah ditempuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk tidak menggunakan tas plastik misalnya, bisa dihidupkan kembali. Tentunya dengan perbaikan dan perluasan aplikasinya, tidak hanya di toko-toko ritel tetapi menyeluruh hingga ke pasar dan tukang sayur. Sementara upaya perbaikan, misalnya, bisa dengan mengembangkan insentif dan disinsentif dalam kebijakan ini.
Di sisi lain, para produsen kemasan plastik maupun pedagang penggunanya, didorong untuk menghasilkan dan menggunakan kemasan plastik yang mudah terurai di alam.
Namun, yang paling penting adalah bagaimana mengedukasi para konsumen, sekaligus mengajak mereka berkesadaran untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik. Keberhasilan mentransformasikan peran plastik yang begitu kuat dalam ekonomi, memang menjadi kunci.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 9 Mei 2018