Tim peneliti dari Universitas Diponegoro mengembangkan teknologi plasma dingin untuk menekan risiko penularan mikroorganisme dalam ruangan. Hal ini memberi harapan mengatasi penyebaran virus korona pemicu Covid-19.
Virus korona baru atau SARS-CoV-2 yang dipercaya bisa menular melalui udara memicu kekhawatiran meningkatnya risiko di ruangan tertutup seperti perkantoran, sekolah, hingga fasilitas kesehatan. Teknologi plasma dingin menjadi harapan baru membersihkan udara dari berbagai organisme, termasuk virus pemicu Covid-19.
Plasma kerap disebut sebagai materi keempat setelah bentuk padat, cair, dan gas yang pertama kali dideskripsikan oleh peraih Nobel Kimia dari Amerika Serikat, Irving Langmuir, pada tahun 1928. Untuk memahami materi ini, secara sederhana kita bisa memanaskan balok es yang dari padat kemudian berubah menjadi cairan. Pada pemanasan lebih lanjut, cairan ini akan berubah menjadi uap air atau keadaan gas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa yang terjadi ketika kita memberikan lebih banyak panas? Jika semakin panas, nukleus atom atau ion dan elektron dari gas akan terpisah sehingga menjadi materi yang disebut plasma. Sekalipun mirip gas yang tidak memiliki bentuk tetap, plasma bersifat amat reaktif dan akan membentuk struktur filamen atau pancaran cahaya jika dipengaruhi medan elektromagnet.
Pendaran neon merupakan contoh plasma, demikian juga kilat. Bahkan, hampir semua materi yang bisa terlihat di alam semesta sebenarnya dalam kondisi plasma, termasuk energi yang jadi inti matahari dan bintang-bintang. Bumi terbenam dalam plasma tipis yang disebut angin matahari dan dikelilingi oleh plasma padat yang disebut ionosfer.
Muhammad Nur, Guru Besar Fisika Universitass Diponegoro, dalam bukunya, Fisika Plasma dan Aplikasinya (2011), menyebutkan, plasma bisa dibedakan menjadi tiga berdasarkan suhunya, yaitu plasma dingin, plasma termik, dan plasma panas.
Hingga kini, teknologi yang dipakai dalam dunia industri yakni plasma termik dan plasma dingin. Plasma termik kerap digunakan untuk pengelasan, pemotongan logam, dan pembersihan polutan. Sementara plasma dingin sering digunakan dalam bidang mikro-elektronik, pembentukan materi baru, dan pembersihan polutan.
Inovasi Indonesia
Meski di luar negeri telah berkembang pesat, penggunaan teknologi plasma di Indonesia masih terbatas. Salah satu perintisnya adalah Center for Plasma Research (CPR) Undip, yang digagas Muhammad Nur sejak tahun 1998 sekembalinya sekolah master dan doktoral dari Joseph Fourier University, Grenoble, Perancis, dengan fokus studi pada teknologi plasma.
”Di Undip, yang kami kembangkan adalah plasma dingin,” kata Nur. Sejak tahun 2008, CPR Undip bekerja sama dengan PT Dipo Technology untuk hilirisasi hasil riset mereka. Sejauh ini mereka telah memproduksi dua jenis produk, yaitu D’Ozone yang digunakan untuk pengawetan produk pertanian dan Zeta Green untuk membersihkan udara dalam ruangan.
Dengan teknologi plasma itu, CPR Undip bisa mengembangkan peralatan yang mampu menghasilkan ozon hingga 150 gram per jam dan membuat produk sayur atau buah-buahan dapat disimpan lebih lama secara alami.
”Produk ini banyak dipakai petani. Cabai, misalnya, bisa disimpan dua bulan lebih masih segar. Baru-baru ini produk kami juga dipakai petani penangkar bawang di Mamuju untuk menyimpan bibit bawang sehingga aman dari fusarium,” kata Azwar, Direktur PT Dipo Technology.
Adapun untuk membersihkan udara ruangan, mereka mengembangkan peralatan portabel yang mampu menyedot udara dan mengalirkannya ke dalam reaktor plasma dingin. ”Seluruh partikel pencemar yang melalui reaktor plasma ini akan dicabik atau dihancurkan, kotorannya luruh dan mengendap di dasar alat dan yang keluar berupa udara bersih,” tuturnya.
Menurut Nur, di Indonesia saat ini banyak beredar produk pabrikan yang mengklaim membersihkan ruangan dengan teknologi plasma, tetapi kebanyakan menggunakan teknologi ultraviolet. ”Setahu kami belum ada yang menyedot udara dan mengalirkannya ke reaktor plasma dingin seperti yang kami lakukan,” ujarnya.
Produk pembersih udara ruangannya sudah banyak dipakai di rumah sakit, selain juga ruang merokok di perkantoran dan penggunaan pribadi. ”Asap rokok dan bau tidak sedap lain di ruangan yang diisap ke dalam reaktor lalu dipecah menjadi karbon yang luruh jadi debu sehingga yang keluar oksigen. Semakin lama alat kami beroperasi, udara dalam ruangan akan semakin segar,” katanya.
Menurut hasil uji di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Terpadu Undip, peralatan plasma dingin ini bisa mereduksi bakteri sebesar 53 persen dan jamur 61 persen dari ruangan dengan volume 96 meter kubik setelah dinyalakan selama sejam. Dalam tiga jam, peralaan ini bisa mereduksi bakteri hingga 83 persen dan jamur 80 persen.
Kajian dari NN Misra dan Cheorun Jo di jurnal Trends in Food Science and Technology volume 64 tahun 2017 menyebut, teknologi plasma dingin bisa mencabik mikroorganisme seperti bakteri dan jamur hingga rusak RNA-nya. Dengan demikian, teknologi ini bisa dianggap bisa menggantikan metode pengawetan makanan.
—Teknologi plasma dingin bisa mencabik mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur, hingga rusak RNA-nya. Teknologi ini bisa dianggap bisa menggantikan metode pengawetan makanan. Sumber: M Nur, Undip 2020
Kajian Danil Dobrynin dari Institut Plasma C & J Nyheim Universitas Drexel dan tim yang dipublikasikan di jurnal IEEE Transactions on Plasma Sciences tahun 2010 membuktikan, teknologi tersebut bisa membersihkan spora bakteri Bacillus anthracis pemicu antraks dari ruangan hingga 99 persen. Kini para peneliti di tempat sama memodifikasi sistem sterilisasi udara buatan mereka untuk memerangi Covid-19.
”Prinsip yang sama seharusnya terjadi jika virus melalui reaktor kami. Namun, di Indonesia belum ada laboratorium yang bisa mengujinya. Terlalu berbahaya,” kata Nur.
Sekalipun belum teruji untuk virus, secara teoretis Nur meyakini, peralatan yang diciptakannya ini bisa mengurangi risiko penularan SARS-CoV-2, virus korona baru pemicu Covid-19 di dalam ruangan, yang kini marak terjadi di perkantoran.
”Perkantoran banyak menggunakan AC (pendingin udara) terpusat. Jika teknologi pembersih udara plasma kami dipasang di sana, akan membantu membersihkan udara dalam ruangan tersebut. Kami masih terus mengembangkannya,” ujarnya.
Saat ini para ilmuwan plasma di dunia berlomba memerangi Covid-19 dan teknologi plasma dingin dianggap sebagai salah satu strategi menangkal penyebarannya di dalam ruang tertutup ataupun dekontamisasi berbagai bahan makanan. Ini dikemukakan Arijana Filipi? dari Department of Biotechnology and Systems Biology, National Institute of Biology, Slovenia, dan tim dalam artikelnya di jurnal CellPress Review edisi April 2020.
Kajian Zhitong Chen dan Richard E Wirz dari Department of Mechanical and Aerospace Engineering University of California yang dibagi di preprints.org juga menunjukkan potensi teknologi plasma dingin ini untuk membersihkan SARS-CoV-2. Meski kajian ini belum mendapat tela’ah sejawat, itu memberikan harapan untuk mengeliminasi virus mematikan ini dari dalam ruangan.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2020