Piranti Hujan Buatan dari Garam sampai Laser

- Editor

Rabu, 19 September 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan iklim dunia yang ekstrem belakangan ini membuat cuaca di berbagai negara tidak menentu. Di Indonesia, musim kemarau 2012 diperkirakan akan memanjang sampai Januari tahun depan.

Menurut pakar atmosfer dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin, kemarau tahun ini termasasuk jenis kemarau kering, ditandai minimnya curah hujan dan menipisnya massa uap air akibat mendinginnya laut di sebagian besar wilayah Indonesia.  Data dari satelit TRMM menunjukkan bahwa sebagian wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi selama Agustus sampai awal September curah hujan berada di bawah rata-rata.

Indonesia termasuk negara yang sudah menguasai Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), teknologi hujan buatan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah berpengalaman menangani proyek hujan buatan. Dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu, Kepala Pusat TMC BPPT Samsul Bahri menjelaskan,  sejak 1978 hingga kini pihaknya sudah berpengalaman dalam mendukung program ketahanan pangan dan energi dengan mengisi waduk-waduk strategis untuk sumber air irigasi dan PLTA.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejak tahun 1998 BPPT dan PT INCO bekerja sama dengan perusahaan dari Amerika memakai metode penyemaian awan dengan teknologi flare perak iodida. Dengan teknologi ini, pesawat yang dibutuhkan untuk menyemai awan tidak perlu besar, cukup pesawat kecil yang dilengkapi dengan 24 tabung flare perak iodida yang di pasang di sayap pesawat terbang dan bak peluncur roket.

Para pakar dari BPPT  terus mengembangan hujan buatan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Harapannya, air hujan bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.

Ramah Lingkungan

Hujan buatan adalah hujan yang dibuat oleh campur tangan manusia dengan membuat hujan dari bibit-bibit awan yang memiliki kandungan air cukup, memiliki kecepatan angin rendah yaitu sekitar di bawah 20 knot, serta syarat lainnya.  Hujan buatan umumnya diciptakan untuk membantu daerah yang mengalami bencana kekeringan.

Saat ini sejumlah daerah mulai merancang hujan buatan seperti Jawa Barat, Jambi, Riau, dan Kalimantan Tengah. Di provinsi Jambi, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengalokasikan dana Rp 3,5 miliar untuk hujan buatan dengan menebar 10 ton garam selama satu bulan. Jawa Timur rencananya juga akan memanfaatkan TMC. Perum Jasa Tirta I di Malang  bekerja sama dengan BPPT akan mengadakan hujan buatan jika sampai Oktober mendatang tidak  turun hujan. Di Jawa Barat, aktivitas mendatangkan hutan buatan berhasil baik pada Juni 2012.

Sementara di Riau dan Kalimantan Tengah  operasi hujan buatan sudah dilakukan sejak Agustus 2012.

Hasilnya cukup menggembirakan. Berdasarkan data Posko Pemanfaatan TMC di Palangkaraya, hingga awal September 2012, telah terjadi hujan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Katingan, Kotawaringin Timur, Barito Selatan, Barito Timur, dan Kota Palangkaraya.

Koordinator Lapangan Posko TMC, Djazim Syaifullah  menjelaskan, pada prinsipnya, hujan merupakan kondensasi alami. TMC hanya berfungsi mengintervensi kondisi  awan-awan dengan menambah inti kondensasi dalam bahan semai (garam dapur) ke dalam awan sehingga kondensasi yang disebar akan menyerap uap air dalam awan. Semakin banyak kondensasi maka semakin banyak partikel yang jadi cair.

Secara ilmiah, teknologi modifikasi cuaca tidak sekadar menyemai garam ke awan konveksi, namun juga ada modifikasi lain. Hakikatnya tidak ada pembuatan hujan, tetapi hanya memanfaatkan awan agar lebih cepat menurunkan butiran air dengan bantuan  bahan tertentu seperti garam (NaCL) dan kalsium klorida (CaCl2) yang mampu menyerap uap air ke awan membentuk hujan. Umumnya kondisi ini  muncul pada ketinggian 4.000-5.000 kaki, atau sekitar 15.000 meter.

Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) aktif  yang terbentuk karena proses konveksi.  Inilah jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan.  Awan berbentuk mirip bunga kol ini terbagi tiga jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang baru tumbuh,  Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar.

Menggunakan Laser

Di sejumlah negara, teknologi modifikasi cuaca mengalami perkembangan lebih jauh. Para peneliti dari Inggris mengklaim mampu menciptakan titik-titik air menggunakan sinar laser berkekuatan tinggi. Teknik ini  disebut laser-assisted water condensation  atau pengembunan air dibantu laser. Tim peneliti juga bisa mengungkap rahasia siklus air dan membantu manusia memutuskan kapan dan di mana hujan bisa diturunkan.

Tim peneliti melakukan percobaan dengan laser ini di tepi Sungai Rhone, dekat Danau Geneva, setelah membangun instalasi laser raksasa bergerak. Setelah 133 jam menembakkan sinar laser berintensitas tinggi, yang menciptakan partikel asam nitrat di udara, menghasilkan ikatan antarmolekul air dan menghasilkan tetes-tetes air. Meski belum benar-benar menurunkan hujan, tim ilmuwan optimistis bisa memanipulasi kondisi cuaca.

Teknik ini terbilang aman dan ramah lingkungan karena tingkat kelembaban dan kondisi atmosfer untuk menciptakan titik-titik air bersifat alami. Sebelumnya, ide membuat hujan buatan dengan teknik “mengumpan awan” dipandang tidak ramah lingkungan karena partikel kimia yang digunakan (es kering dan perak iodida) dianggap tidak ramah lingkungan.

”Laser bisa digunakan secara terus-menerus, mudah diarahkan, dan tidak menyebarkan perak iodida dalam jumlah banyak ke atmosfer,” kata ahli fisika Jerome Kasparian dari University of Geneva sebagaimana dikutip National Geographic dari Daily Mal. Teknik ini juga memungkinkan kita menghidup-matikan laser kapan pun kita mau, memudahkan dalam mengevaluasi dampak-dampaknya.

Ide mengubah dan mengontrol cuaca bukanlah gagasan baru. Pada 1946, Vincent Schaefer mengembangkan teknik mengumpan awan (cloud-seeding), yang masih digunakan sampai sekarang. Di China, pemerintahnya mengoperasikan sistem pengumpan awan terbesar di dunia untuk menciptakan hujan di wilayah-wilayah yang tandus, bahkan di Beijing.

Situs UPI melaporka, dalam lima tahun mendatang, China akan melepaskan dan mendayagunakan lebih banyak lagi teknologi pembuat hujan. Administrator China Meteorological Administration Zheng Guoguang mengatakan, China akan meningkatkan penggunaan teknologi hujan buatan dari 15% menjadi 45% karena  bencana alam dan agrikultur China disebabkan kekeringan. Tercatat, sejak 2002, sudah ada 560 ribu manipulasi cuaca dilakukan China menggunakan pesawat, roket dan proyektil yang membawa es kering atau partikel perak ionida untuk merancang hujan. (24)
Kawe Shamudra, penulis lepas, tinggal di Batang

Sumber: Suara Merdeka, 17 September 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB