Petani kecil menjadi bagian penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia dengan mengembangkan ribuan benih dan varietas baru. Namun, kondisi mereka kerap tidak didukung pemerintah.
Petani kecil memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan keanekaragaman hayati pangan di Indonesia. Sebab, para petani tersebut membudidayakan ribuan spesies tanaman dan spesies kerabat liar tanaman secara gratis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Pangan, Hak-hak Petani dan Keanekaragaman Benih sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim”, yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Koordinator Nasional perkumpulan Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, meski sangat berpengaruh, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Indonesia menurun drastis 10 juta orang sejak tahun 2013 hingga 2019. Hal ini disebabkan pekerjaan dan penghasilan petani yang dinilai tidak menjanjikan.
Berkaca dari kondisi itu, Tejo menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak petani sesuai Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik Tumbuhan untuk Pangan dan Pertanian. Perjanjian itu menyatakan bahwa petani berhak mendapat pengakuan atas kontribusi konservasi dan pengembangan berkelanjutan. Petani juga berhak atas perlindungan pengetahuan tradisional.
Di dalam negeri juga terdapat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI—Runatin (40) dan Tarsono (33) menunjukkan rumpun padi dua benih lokal yang tengah disilangkan, Rabu (21/8/2019), di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kedua petani itu menyilangkan varietas Ciherang dan Leci.
”Negara harus mematuhi dan melaksanakan seluruh undang-undang dan peraturan yang terkait dengan hak petani. Negara juga harus mendorong dan memfasilitasi inovasi petani,” ungkap Tejo.
Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santoso menyatakan, berdasarkan indeks ketahanan pangan global, peringkat ketahanan pangan di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2015, ketahanan pangan di Indonesia berada di peringkat ke-75 dunia dan terus meningkat tiap tahun hingga menjadi peringkat ke-62 pada tahun 2019.
Namun, peningkatan peringkat terjadi bukan karena besarnya produksi pertanian dalam negeri. Peningkatan peringkat terjadi karena selama ini pemerintah terus mengimpor bahan pangan, seperti beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, bawang putih, hingga kacang tanah.
”Selama empat tahun berturut-turut, produksi padi juga turun. Produksi padi pada 2020 hampir mirip pada 2001 atau 19 tahun lalu yang tidak mencapai 50 juta ton pertahun,” ujar Andreas, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia.
Dalam mencapai kedaulatan pangan sesuai visi misi pemerintah, diperlukan penguatan terhadap sejumlah pilar, yakni hak petani atas benih. Sebab, benih akan menentukan 40-60 persen keberhasilan nusa tani.
”Siapa yang menguasai benih dialah yang menguasai ketahanan pangan di negara tersebut,” ungkapnya.
Andreas menambahkan, petani kecil sangat aktif dan berpengaruh dalam mengembangkan benih. Dari kajian lembaga konservasi ETC Grup pada 2009, sebanyak 2,1 juta varietas tanaman pertanian diproduksi oleh petani kecil. Sementara pengembangan benih oleh perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian hanya mencapai 8.000 varietas baru.
Inisiatif
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Erizal Jamal mengatakan, pihaknya telah melakukan pengawasan dan pengaturan dalam peredaran benih.
Selain itu, Balai Penelitian dan Pengembangan Kementan juga terus melakukan inisiasi untuk pengembangan benih unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim. Sejumlah inisiasi yang berhasil dihasilkan ialah benih yang berumur genjah atau cepat berbuah hingga varietas toleran tanah masam lahan kering.
Menurut Erizal, perlindungan untuk pemulia ini penting dilakukan karena dalam menghasilkan varietas perlu biaya besar dan waktu yang lama. Hal ini juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 200 tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang menjadi basis untuk memfasilitasi perlindungan untuk pemulia.
”Dari benih yang dihasilkan, tidak semuanya laku di pasar. Pemuliaan yang berhasil secara komersial hanya mencapai 10 persen dalam jangka waktu 6-7 tahun. Maka dari itu, pemuliaan ini perlu dilindungi oleh pemerintah,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: PRADIPTA PANDU
Sumber: Kompas, 1 Juli 2020