Perlu Tes Sensitivitas Obat
Pemetaan pola resistensi antibiotik di rumah sakit penting dilakukan secara berkala dan berkesinambungan menyusul kian banyak bakteri yang resisten antibiotik. Dengan demikian, pemberian antibiotik di rumah sakit diharapkan mempertimbangkan hasil tes resistensi terhadap antibiotik.
Hal itu merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan Guru Besar Tetap Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Maksum Radji pada orasi ilmiah berjudul “Resistensi Antibiotik dan Dampaknya terhadap Pelayanan Kesehatan”, Selasa (1/9), dalam rangka Dies Natalis Fakultas Farmasi UI di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Maksum mengatakan, resistensi antibiotik telah menjadi ancaman serius secara global, termasuk di Indonesia. Dalam 75 tahun sejak penggunaan antibiotik secara massal, kini dunia menghadapi situasi ketika kemungkinan tak ada lagi antibiotik yang efektif mengatasi sejumlah tipe bakteri patogen resisten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bakteri jadi kebal terhadap antibiotik jauh lebih cepat dibandingkan upaya penemuan dan pengembangan antibiotik baru. “Ancaman pandemi bakteri yang resisten terhadap antibiotik nyata dan berkala besar,” ujarnya.
Resistensi antibiotik berdampak pada tingginya biaya kesehatan dan masalah kesehatan serius. Kematian tertinggi akibat infeksi bakteri resisten terjadi di kawasan Asia (4,7 juta orang), Afrika (4,1 juta), Eropa (390.000), dan Amerika (317.000).
Karena penyebaran bakteri resisten bisa terjadi melalui infeksi nosokomial di rumah sakit (RS), perlu ada pemetaan pola resistensi antibiotik di RS. Pemetaan pola resistensi bisa dilakukan jika RS memiliki laboratorium mikrobiologi klinik yang memadai.
Multiresisten
Di Indonesia, prevalensi bakteri yang kebal terhadap antibiotik termasuk tinggi, bahkan cenderung multiresisten. Berbagai riset di sejumlah RS di Indonesia menunjukkan, bakteri Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan Acinetobacter baumannii kebal, bahkan multiresisten.
Padahal, resistensi antibiotik menyebabkan angka kesakitan meningkat, masa rawat inap lebih lama, komplikasi penyakit, biaya pengobatan lebih mahal, dan risiko kematian. “Konsekuensi yang kerap dihadapi pasien adalah harus memakai antibiotik generasi lebih tinggi dengan biaya lebih mahal,” kata Maksum.
Resistensi antibiotik umumnya disebabkan antara lain penggunaan antibiotik tak rasional, belum semua fasilitas kesehatan menyediakan tes sensitivitas anti mikroba, penggunaan antibiotik secara swamedikasi, atau pengobatan sendiri. Faktor lain, program nasional pengendalian resistensi antibiotik belum efektif dan sulit menemukan antibiotik baru. “Patut diwaspadai penggunaan antibiotik pada ternak,” ucapnya.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, Kemenkes punya pedoman dari hulu sampai hilir terkait penggunaan antibiotik secara rasional.
Di hulu, Kemenkes bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memasukkan materi penggunaan antibiotik rasional dalam kurikulum. Di hilir, Kemenkes membina apoteker dan tenaga kesehatan di puskesmas agar dapat memberi antibiotik secara rasional.
Hasil riset Program Pengendalian Resistensi Anti Mikroba pada 2013 di enam RS di Indonesia menunjukkan, angka infeksi akibat bakteri kebal antibiotik 50 persen. Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistensi Anti Mikroba Hari Paraton, sejumlah kematian akibat sakit jantung, stroke, gagal ginjal, infeksi tulang, dan kanker diduga berawal dari infeksi mikroba resisten (Kompas, 6/8).(ADH)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 September 2015, di halaman 13 dengan judul “Petakan Resistensi Antibiotik”.