Banyak orang mungkin sudah lupa peristiwa meledaknya anjungan minyak Montara di Celah Timor, hampir lima tahun lalu. Minyak mentah dari sumur yang dioperasikan PTTEP Australasia itu membawa tragedi lintas tiga negara, yakni Indonesia, Timor Leste, dan Australia.
Bencana itu membawa dampak menyedihkan bagi warga pesisir selatan Pulau Timor, dan pulau-pulau di sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga kini penyelesaian atas bencana itu tak pernah jelas.
”Masalah sehebat pencemaran Laut Timor dan dampak- dampaknya saja diabaikan Jakarta, apalagi untuk masalah kecil sehari-hari. Saya berpikir bahwa nasib NTT tetaplah ’Nusa Tetap Terabaikan’. Sangat kasatmata, negara tidak peduli,” ujar Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YTPB) Ferdi Tanone.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
YTPB adalah lembaga advokasi resmi mewakili para korban, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi NTT yang wilayahnya menjadi korban pencemaran Montara. ”Ada apa di balik diamnya pemerintah pusat terkait pencemaran terbesar yang pernah terjadi di Asia Pasifik itu?” kata Ferdi.
Sumur minyak di anjungan lepas pantai Montara di Celah Timur, Australia, meledak pada 21 Agustus 2009. Meski sumber bencana telah dapat dikendalikan empat bulan setelah itu, dampak pencemaran laut belum teratasi dengan baik. Begitu pula persoalan ganti rugi.
Ledakan sumur minyak tersebut menumpahkan total 40 juta liter minyak mentah selama 74 hari. Minyak bercampur gas, kondensat, dan zat timah hitam kemudian terbawa ke Laut Timor di wilayah Indonesia. Total wilayah perairan yang tercemar mencapai 90.000 kilometer persegi.
Dilihat dari luas wilayah pencemaran ini, kasus Montara jauh lebih besar dari tumpahan minyak kapal tanker Exxon Valdez (1989) di Teluk Alaska dan meledaknya anjungan minyak Deepwater Horizon di Teluk Meksiko (2010).
Tidak adil
”Kasus Montara ini dahsyat. Tak hanya merusak biota laut, ribuan warga pesisir, terutama para nelayan di selatan Timor, seluruh pesisir Pulau Rote, Sabu, dan selatan Alor, sempat berbulan-bulan tak bisa melaut. Budidaya rumput laut dan keramba apung pun hancur,” kata Ferdi lagi.
Bupati Kupang Ayub Titu Eki beberapa waktu lalu mengajak Rachel Siewert, Senator Australia yang mewakili Negara Bagian Australia Barat, berdialog dengan ratusan warga korban pencemaran di Tablolong, Kupang Barat. Ayub melihat ada perlakuan tidak adil terhadap warganya.
Sementara Bupati Rote Ndao Leonard Haning mengatakan, masyarakat Rote Ndao sedang menangisi hidup mereka karena tumpahan minyak Montara telah membunuh mata pencaharian mereka. Penghasilan petani rumput laut berkurang hingga 80 persen. Begitu pula dengan nelayan. Sejauh ini belum pernah ada ganti rugi, dan pemerintah pusat tak peduli memperjuangkannya.
Terakhir, YTPB bersama Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar seminar internasional pada 18 Februari lalu di Kupang. Hadir para pakar minyak dari AS, Australia, dan Indonesia. Namun, perwakilan PTTEP Australasia justru tidak hadir.
Hasil seminar, antara lain, menyimpulkan bahwa Jakarta tidak peduli terhadap kasus pencemaran ini.
Tak ada keraguan
Presiden Ilmu Kelautan Terapan Amerika Serikat Robert B Spies mengatakan, tak ada keraguan dalam pikirannya bahwa sejumlah besar minyak telah berdampak pada laut di sekitar Timor Barat. Sebuah perusahaan satelit AS, Skytruth, mengonfirmasi melalui gambar satelit yang menunjukkan intrusi tumpahan minyak telah menerobos luas ke perairan Indonesia di NTT.
Spies, yang menjabat Ilmuwan Kepala Pemerintah AS, dalam penyelidikan kasus tumpahan minyak Exxon Valdez pada tahun 1989 mengatakan, tumpahan minyak di Laut Timor itu telah ditenggelamkan ke dasar laut setelah disemprot dispersant.
Menurut Senator Siewert, dalam seminar tersebut, Australia dan PTTEP Australasia harus bertanggung jawab. Namun, itu harus didahului dengan penelitian ilmiah yang patut, komprehensif, transparan, dan independen dengan turut melibatkan korban pencemaran.
Siewert juga mengatakan, Pemerintah Indonesia harus memberikan dukungan yang kuat kepada YTPB yang telah dipercayai masyarakat dan pemerintah daerah di NTT dalam memperjuangkan proses ganti rugi. (PASCAL S BIN SAJU)
Sumber: Kompas, 6 April 2014