Perundungan atau bullying pada anak semakin sering terjadi di media sosial seiring dengan meningkatnya akses anak pada jaringan internet. Anak-anak mutlak mendapat bimbingan dari orangtua sebelum diberi akses internet, seperti gawai.
“Tekanan psikologis yang dialami anak karena perundungan di dunia maya sama dampaknya dengan perundungan di dunia nyata,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni’am Sholeh pada kampanye bertajuk “Stop Cyber Bullying”, di Jakarta, Minggu (4/10). Turut hadir dalam kampanye itu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise serta perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Asrorun menyatakan, sebagian besar anak yang mempunyai akses pada internet tidak mendapat bimbingan tentang penggunaan internet yang sehat. Itu membuat anak sering sekali mendapatkan perundungan atau merundung sesama temannya di media sosial. Ketika anak mengalami perundungan, anak tidak tahu harus berbuat apa. “Orangtua seharusnya menyadari, ketika memberi fasilitas internet kepada anak, ia bertanggung jawab memberi pendidikan penggunaan internet yang sehat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Asrorun mengungkapkan, bentuk perundungan yang paling sering dialami anak, antara lain, ejekan, hinaan, fitnah, bahkan ancaman melalui unggahan status di media sosial. Anak juga rawan mendapat hinaan dengan foto yang ditambahi dengan kata-kata penghinaan. Ejekan atau hinaan biasanya menyinggung fisik, kemampuan ekonomi anak, atau menghina orangtua anak.
Mempertimbangkan usia
Yohana menyatakan, orangtua perlu mempertimbangkan usia anak sebelum memberikan akses internet, seperti gawai, kepada anak. Usianya minimal 13 tahun dan sudah mendapat bimbingan dan pendidikan tentang internet sehat. Media sosial, seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram, pada umumnya membatasi usia pengguna minimal 13 tahun.
Pada usia itu, anak dianggap mulai memahami prinsip-prinsip bersosial, seperti dapat membedakan mana yang menjadi privasi dan mana hal yang bisa dipublikasi. Kenyataannya, banyak anak berusia di bawah 13 tahun mempunyai akun media sosial. Anak mengakali aturan ini dengan mengisi kolom usia 13 tahun atau lebih saat pendaftaran.
Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Septriana Tangkary menyatakan, pengawasan orangtua menjadi benteng yang paling penting. Pemblokiran atau sensor situs internet hanya bisa dilakukan atas laporan masyarakat. Jika hari ini satu situs diblokir, besok bisa muncul seribu situs lagi. (B01)
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul “Perundungan di Dunia Maya Jadi Masalah”.