Pemantauan ekosistem mangrove di lapangan acapkali memakan waktu karena kompleksitas di lapangan. Peneliti mengembangkan aplikasi Monmang untuk mempermudah kegiatan tersebut.
Pemantauan dan pengelolaan mangrove yang terstruktur dan berkala sangat penting untuk memetakan serta menjaga ekosistem mengrove. Namun, monitoring mangrove kerap menyita waktu dan biaya. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mengembangkan aplikasi sebagai solusi mempermudah proses pemantauan dan analisis tersebut.
Berdasarkan data Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga Desember 2019, ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas lebih dari 637.624 hektar atau 19,26 persen mangrove masuk kondisi kritis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara menurut hasil penelitian Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (Cifor), saat ini ekosistem mangrove Indonesia mengalami tekanan dengan ancaman degradasi tinggi mencapai 52.000 hektar per tahun. Ancaman tersebut diakibatkan oleh alih fungsi lahan, pencemaran limbah domestik maupun limbah berbahaya lainnya, penebangan liar, dan peningkatan laju abrasi.
Guna mencegah kerusakan yang lebih parah akibat perubahan penggunaan lahan, diperlukan upaya konservasi salah satunya melalui kegiatan monitoring mangrove. Selain mencegah kerusakan, hasil monitoring juga dapat menjadi landasan untuk memperbaiki ekosistem mangrove.
Namun, kegiatan monitoring mangrove kerap menghadapai sejumlah kendala dan tantangan seperti keterbatasan tenaga, waktu, serta biaya. Hal ini karena zonasi dan luas area mangrove yang sangat kompleks. Mangrove bukan hutan homogen dan memiliki zonasi berdasarkan salinitas serta geomorfologi pantainya sehingga menyebabkan perbedaan jenis di bagian depan dan belakang dalam satu kawasan mangrove.
Selain itu, pada umumnya proses monitoring menggunakan metode dan parameter yang sangat beragam sehingga menghasilkan lebih dari satu data tunggal. Hal ini mengakibatkan proses memindahkan, memasukkan, memperbaiki, hingga menganalisis data dilakukan secara bertahap dari satu platform ke platform lainnya. Bahkan, peneliti sering kesulitan menganalisis karena banyaknya data yang berantakan dan harus dipindahkan.
“Dalam satu lokasi monitoring itu dibutuhkan waktu hingga satu minggu untuk menganalisis data karena ada beberapa langkah mulai dari pencatatan, memasukan data, rumus, dan formula. Dalam setiap langkah juga berpotensi menimbulkan kesalahan dan berpengaruh pada kesimpulan,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Osenaografi LIPI, I Wayan Eka Dharmawan, Sabtu (22/8/2020).
Agar kendala tersebut dapat diminimalisir, Eka menginisiasi pengembangan aplikasi untuk mempermudah proses monitoring. Melalui kolaborasi dengan Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI, pada 2019 mulai dikembangkanlah aplikasi berbasis sistem android bernama Monmang dari akronim monitoring mangrove.
“Bulan Agustus atau September tahun lalu kami melakukan validasi dan menyederhanakan indeks kesehatan mangrove sebagai salah satu perangkat monitoring. Setelah itu didapat fitur-fitur untuk mengisi aplikasi,” katanya.
Eka menjelaskan, aplikasi Monmang berfungsi untuk pengambilan data dan pengukuran atau analisis saat kegiatan monitoring mangrove di lokasi secara langsung. Monmang juga digunakan untuk menginterpretasikan kondisi kesehatan mangrove dan mendokumentasikan pelaksanaan survei.
Dalam aplikasi ini juga telah disediakan alat (tools) sesuai parameter struktur komunitas seperti kepadatan, ukuran morfologi, frekuensi, dominasi, dan indeks kesehatan mangrove sehingga mengurangi kesalahan dalam pengolahan data.
Secara sederhana, konsep aplikasi ini yaitu menggabungkan fungsi kertas dan alat tulis, perekam suara, sistem pemosisi global (GPS), kamera, busur derajat (protractor), dan analisis piksel dalam satu genggaman. Pengoperasian Monmang bersifat luring atau offline sehingga dapat digunakan di wilayah yang tidak terjangkau koneksi internet.
Pada akhirnya aplikasi ini dapat memudahkan surveyor atau peneliti karena tidak perlu menyalin data kembali seusai memonitor mangrove di lokasi. Analisis kesehatan mangrove pun dapat dilakukan dengan lebih cepat, efektif, dan efisien.
“Monitoring yang membutuhkan waktu satu minggu bisa selesai saat itu juga atau ketika berada di lokasi. Semua proses telah selesai mulai dari dokumentasi hingga analisis. Interpretasi hasil berupa kondisi mangrove yang baik atau buruk juga dapat langsung keluar,” tutur Eka.
Basis data mangrove
Andarta Khoir dari Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI dalam webinar beberapa waktu yang lalu mengatakan, dengan menggunakan aplikasi Monmang, seluruh data yang diambil bisa tersimpan di dalam database ponsel. Data berupa file format Excel dan foto juga dapat dipindahkan ke perangkat komputer atau laptop.
“Melalui Monmang kita dapat dengan mudah melakukan pengukuran kanopi. Kita tidak perlu mengunduh foto dan menggeser sidebar dengan aplikasi lain. Jadi Monmang sangat mendukung dokumentasi,” tambahnya.
Monmang direncanakan mulai tersedia dan dapat diunduh secara gratis di playstore pada akhir Agustus. Sementara proyek pengembangan ke depan, Monmang akan ditambah dengan fitur sistem informasi geografis (GIS), kontribusi program pembangunan rendah karbon, dan database tunggal. Namun, terkait database tunggal, LIPI masih harus berkomunikasi dengan sejumlah pihak karena hal tersebut menyangkut dengan regulasi.
Setelah tersedia di playstore, setiap peneliti diharapkan dapat memakai aplikasi ini karena akan menjadi basis data mangrove dengan parameter yang sama. Keseragaman parameter ini akan membuat pemantauan dan pengelolaan mangrove menjadi lebih mudah.
Pemetaan mangrove
Kepala Seksi Reboisasi Hutan Mangrove dan Pantai, Direktorat Konservasi Tanah dan Air, KLHK, Bagus Dwi Rahmanto, mengatakan, pihaknya terus melakukan bimbingan kepada tim di daerah untuk mengidentifikasi dan memetakan mangrove di lapangan. Data tersebut kemudian akan dicek dan dikonfirmasi oleh tim pusat serta didiskusikan dengan berbagai pihak.
“Pemetaan mangrove ini dilakukan secara bertahap sejak 2013. Namun, data di Pulau Jawa dan Sumatera belum seragam karena perubahannya yang sangat drastis. Jadi tahun ini kami melakukan review terlebih dahulu untuk Jawa dan Sumatera,” ujarnya.
Direktorat Konservasi Tanah dan Air saat ini terus mendorong agar pemerintah daerah menetapkan mangrove sebagai kawasan lindung setempat yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pengembangan ekowisata juga dapat dilakukan sebagai upaya pemanfaatan berkelanjutan.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2020