Pemerintah harus memperkuat penggunaan valuasi ekonomi dalam menyaring setiap investasi yang akan masuk ke Indonesia. Valuasi ekonomi ini mencakup juga valuasi lingkungan dan sosial.
KOMPAS/ZULKARNAINI–Kerusakan hutan lindung di geumpang, Pidie, Aceh akibat pertambangan ilegal. Foto pada November 2017
Ekonom mengingatkan pemerintah agar memperkuat penggunaan valuasi ekonomi dalam menyaring setiap investasi yang akan masuk ke Indonesia. Valuasi ini agar diperhitungkan secara komprehensif serta mempertimbangkan eksternalitas investasi tersebut bagi masyarakat sekitar, terutama masyarakat kecil yang rentan terdampak paling serius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem Neraca Lingkungan yang sedang dikerjakan Badan Pusat Statistik dengan dukungan lintas kementerian pun agar disempurnakan. Ini bisa menjadi gambaran lengkap akan kekayaan sumber daya alam Indonesia, tidak hanya pada nilai komoditas, tetapi juga nilai jasa lingkungan dari tiap-tiap ekosistemnya. Neraca itu pun bisa memberi gambaran lengkap akan detil “kekayaan” ekosistem dan sumber daya alam Indonesia.
Ekonom Universitas Padjajaran Bandung, Martin Siyaranamual, Kamis (23/1/2020), di Jakarta, mengatakan valuasi ekonomi – termasuk di dalamnya valuasi lingkungan dan sosial – menjadi penyaring bagi keran investasi. Valuasi ekonomi tersebut menghitung analisa biaya manfaat (cost benefit analysis) dari investasi.
Hal ini umumnya dilakukan pada tahap awal atau pada tahap studi kelayakan sebelum proyek berlangsung. Sayangnya, praktiknya studi kelayakan baru memperhitungkan kepentingan pemilik proyek. Kepentingan masyarakat yang berpotensi mengalami perubahan lansekap sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan acapkali tertinggal. Ia mengatakan eksternalitas ini bisa saja berupa dampak positif maupun negatif.
Martin mengakui studi kelayakan seperti ini sangat ideal. Namun yang acapkali terjadi, valuasi baru dilakukan ketika terjadi kerusakan atau bencana. Valuasi ini bisa digunakan sebagai bahan untuk penyusunan ganti rugi dalam persidangan.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Martin Siyaranamual PhD, Ekonom Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Kamis (23/1/2020) di Jakarta.
Ia mengatakan terkait valuasi ini Indonesia dinilai sudah maju karena memiliki patokan dalam penentuan nilai kerusakan lingkungan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan lingkungan Hidup. Meski demikian, ia berharap peraturan menteri ini bisa disempurnakan karena memiliki sejumlah kelemahan.
Martin mencatat kelemahan tersebut di antaranya penetapan nilai moneter pada kerusakan yang tidak mengikuti perkembangan waktu. “Misal kerusakan tanah itu dua juta rupiah pada tahun 2014, lalu terjadi kerusakan dalam rentang jangka waktu panjang ketika kerusakan terjadi, nilainya kan sudah berubah,” kata dia dalam diskusi bertema Valuasi Lingkungan dalam Kebijakan Publik dan Tata Kelola Sumber Daya Alam yang Baik dan Berkelanjutan yang digelar Publish What You Pay Indonesia di Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Dari kiri Aryanto Nugroho (moderator dari Publish What You Pay/PWYP Indonesia), Martin Siyaranamual (ekonom Universitas Padjajaran Bandung), Kurniawan Nizar (Kementerian Keuangan), Maryati Abdullah (PWYP Indonesia), dan Rimawan Pradiptyo (Ekonom Universitas Gadjah Mada), dan Basuki Wasis (IPB University).
Catatan lain, Martin mengatakan perhitungan nilai kerusakan pada ekosistem sangat generalis pada tiap ekosistem. Misalnya, ekosistem hutan, menurutnya sangat berbeda nilai ekosistem hutan alam dengan hutan yang telah terdegradasi maupun dibedakan jenis hutan ilalang/semak dan hutan gambut.
Pakar valuasi kerusakan lingkungan IPB University Basuki Wasis mengatakan kerusakan lingkungan bersifat irreversible atau tidak bisa atau sulit dipulihkan. Sayangnya, kata dia, pemerintah dalam pengambilan kebijakan dan perizinan kerap mengabaikannya demi kepentingan sesaat. Ia menunjukkan sejumlah kerusakan tambang berupa “danau-danau”bekas galian di Bangka Belitung serta pertambangan batu granit di Karimun, Riau untuk pembangunan di Singapura.
Pengalamannya saat “dikriminalisasikan” karena menjadi saksi ahli Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kerusakan akibat tambang yang melibatkan Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara, biaya pemulihan akibat kerusakan senilai Rp 31 miliar ini ditolak pengadil. Majelis hakim “hanya” mengabulkan biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi senilai total Rp 2,69 triliun.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 23 Januari 2020