Prevalensi Penyakit Terkait Merokok Meningkat
Lima belas tahun terakhir prevalensi perokok kelompok usia produktif di Indonesia terus naik. Akibatnya, penyakit terkait merokok juga meningkat. Untuk itu, upaya pengendalian tembakau perlu diperkuat. Salah satunya, dengan memperluas peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok menjadi 75 persen.
Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nunik Kusumawardani dalam Pertemuan Ilmiah Berkala Balitbangkes Kemenkes di Jakarta, Rabu (29/4), menegaskan, implementasi regulasi pengendalian tembakau harus diperkuat untuk menurunkan prevalensi merokok.
Pada diseminasi hasil survei terkait peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia, Kanchit Limpakarnjanarat, menyatakan rokok sebagai faktor risiko utama sejumlah penyakit tidak menular tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk itu Pemerintah Indonesia perlu segera menindaklanjuti berbagai data dan kajian dampak buruk rokok. Misalnya, mengganti peringatan bergambar yang tak efektif dan melarang iklan rokok di media luar ruang.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, ada kenaikan prevalensi konsumsi tembakau berbentuk rokok dan kunyah. Prevalensi perokok pada pria 56,7 persen dan perempuan 1,9 persen. Daerah dengan prevalensi laki-laki perokok terbesar adalah Gorontalo, dan prevalensi perempuan perokok terbesar adalah Papua. “Prevalensi perokok tertinggi ada pada mereka yang bekerja dan pencari kerja,” ujarnya.
Menurut Agus Dwi Susanto, dokter spesialis paru dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, peningkatan prevalensi perokok diikuti kenaikan kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penyakit itu ditandai penyempitan saluran napas kronik, gejalanya berupa napas sesak, batuk kronik, dan berdahak.
Data tahun 2013 mencatat, dari 1.702 pasien PPOK di RS Persahabatan, 92 persen di antaranya adalah perokok, dan 8 persen lain bukan perokok. Perbandingan itu meningkat pada 2014, dari 1.905 pasien PPOK, sekitar 94,4 persen adalah perokok dan 5,6 persen lain bukan perokok.
Kanker paru
Rokok juga jadi penyebab utama kanker paru. Data RSUP Persahabatan Jakarta menunjukkan, sebanyak 43,4 persen perempuan dan 83,6 persen pria yang terkena kanker paru adalah perokok. Seiring peningkatan prevalensi perokok di Indonesia, kasus kanker paru di RS Persahabatan meningkat dari 200 kasus tahun 2000 jadi 900 kasus pada 2009.
Terkait hal itu, Nunik menyatakan pemerintah menargetkan penurunan prevalensi perokok usia produktif dari 6,9 persen pada 2015 menjadi 5,4 persen pada 2019 dengan berbagai cara.
Berbagai upaya menekan angka perokok antara lain menggalakkan kawasan tanpa rokok di daerah dan deteksi dini merokok di pos pembinaan terpadu penyakit tak menular. Salah satu kebijakan pengendalian konsumsi rokok, khususnya mencegah anak muda merokok, ialah pencantuman peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok.
Hasil survei Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan jejaringnya menunjukkan, peringatan bergambar di kemasan rokok efektif meyakinkan anak muda agar tak mulai merokok. Peringatan bergambar itu efektif meyakinkan mantan perokok agar tetap tak merokok, dan meyakinkan perokok untuk berhenti merokok.
Bahkan, responden bukan perokok, perokok, dan mantan perokok, mendukung agar ukuran peringatan bergambar diperluas dari saat ini 40 persen menjadi 75 persen. “Makin luas peringatan bergambar pada bungkus rokok, jelas akan kian efektif menekan laju merokok,” kata Widyastuti Sorojo, Ketua Bidang Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI.
Wakil Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menekankan pentingnya kesatuan suara pemerintah dalam pengendalian tembakau. Selama ini, Kemenkes memiliki peta jalan pengendalian konsumsi tembakau, sedangkan Kementerian Perindustrian punya peta jalan industri produk tembakau dengan target kenaikan produksi rokok. (GER/ADH)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 13 dengan judul “Perkuat Upaya Pengendalian”.
—————————————-
Jumlah Perokok Meningkat, Penyakit akibat Rokok Melonjak
Prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia, baik diisap dalam bentuk rokok maupun tembakau kunyah, pada penduduk usia 15 tahun ke atas terus meningkat dalam 18 tahun terakhir. Peningkatan konsumsi itu diikuti dengan peningkatan penderita penyakit paru obstruktif kronik.
Kompas/Angger Putranto—Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Nunik Kusumawardani (berdiri di kiri depan), memaparkan hasil penelitian tentang rokok dalam Pertemuan Ilmiah Berkala Badan Litbang Kesehatan, di Jakarta, Rabu (29/4).
Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Ilmiah Berkala yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu (29/4). Peneliti Balitbangkes, Nunik Kusumawardani, memaparkan, “Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi tembakau pada laki-laki meningkat dari 53,4 persen tahun 1995 menjadi 66 persen tahun 2013, sedangkan pada perempuan meningkat dari 1,7 persen menjadi 6,7 persen.”
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi perokok (tembakau isap) laki-laki 56,7 persen dan perempuan 1,9 persen. Daerah dengan prevalensi perokok laki-laki terbesar ada di Gorontalo. Adapun prevalensi perokok perempuan terbesar ada di Papua.
“Prevalensi perokok paling tinggi ialah pada mereka yang bekerja dan para pencari kerja,” kata Nunik.
Faktor penyebab peningkatan prevalensi perokok, menurut Nunik, adalah gencarnya iklan rokok serta mudahnya akses membeli rokok. Di Indonesia, rokok mudah didapatkan karena dijual bebas dengan harga relatif murah.
“Gencarnya iklan rokok melalui berbagai media memengaruhi gaya hidup masyarakat. Orang semakin beranggapan, rokok bisa mengurangi stres. Rokok juga dianggap alat sosial untuk bergaul dengan teman-teman,” ujarnya.
Penyakit paru meningkat
Salah satu pembahas, Agus Dwi Susanto, dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, menyatakan, peningkatan prevalensi perokok diikuti dengan peningkatan kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
“Pada tahun 2011, jumlah kunjungan pasien PPOK di RS Persahabatan mencapai 1.274 orang. Jumlah tersebut terus meningkat, hingga tahun 2014 mencapai 1.905 pasien. Data tahun 2013 mencatat, dari 1.702 pasien PPOK, 92 persen di antaranya merupakan perokok, sedangkan 8 persen lain bukan perokok. Perbandingan tersebut meningkat pada 2014, dari 1.905 pasien PPOK, 94,4 persen adalah perokok dan 5,6 persen lain bukan perokok,” katanya.
PPOK, demikian Agus, merupakan penyakit penyempitan saluran napas kronik. Penyakit tersebut umumnya diawali dengan beberapa gejala, seperti napas sesak atau berat, batuk kronik, batuk berdahak.
Kompas/Priyombodo–Forum Warga Kota Jakarta dan Solidaritas Advokat Pengendalian Tembakau Indonesia beraksi damai menolak asap dan puntung rokok di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (26/4). Mereka mendorong agar Pemerintah Indonesia segera mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) di Indonesia. Hal itu untuk mengendalikan produksi dan konsumsi rokok agar menyelamatkan masyarakat dari masalah kesehatan dan lingkungan yang timbul karena asap dan limbah puntung rokok.
Rokok juga meningkatkan kasus bronkitis kronis. Sebanyak 42 persen penderita bronkitis adalah perokok dan 26 persen adalah bekas perokok. Hanya 24 persen penderita bronkitis yang bukan perokok. Rokok juga meningkatkan serangan asma dan menurunkan fungsi paru.
Menurut Agus, rokok juga menjadi penyebab utama kanker paru. Penelitian para ahli menunjukkan, 87 persen kasus kanker paru berhubungan dengan merokok.
“Seiring peningkatan prevalensi perokok di Indonesia, kami mencatat adanya peningkatan kasus kanker paru di RS Persahabatan. Pada tahun 2000, ada sekitar 200 kasus kanker paru. Pada tahun 2009, kasus kanker paru melonjak jadi 900 kasus,” ujarnya.
Untuk itu, penting ada penelitian secara sosial dan biomedis untuk memastikan bahwa rokok merupakan penyebab kanker paru.
Andreas Benoe Angger Putranto dan Atika Walujani Moedjiono
Sumber: Kompas Siang | 29 April 2015