Perkawinan Anak Hambat Program Wajib Belajar

- Editor

Senin, 7 Mei 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perkawinan di usia anak yang hingga kini masih terus berlangsung di sejumlah daerah memengaruhi masa depan anak-anak perempuan di Tanah Air. Momentum Hari Pendidikan Nasional 2018 sejatinya semakin menguatkan komitmen untuk mencegah dan mengakhiri perkawinan anak.

Apabila tak ada langkah serius, maka program Wajib Belajar 12 Tahun terhambat. Salah satu dampak perkawinan anak adalah terjadinya putus sekolah di kalangan anak perempuan.

“Perkawinan anak harus diakhiri. Karena ibarat mata rantai, perkawinan anak yang mengakibatkan putus sekolah akan berdampak pada dimensi kehidupan lainnya,” ujar Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan (Kapal Perempuan), Misiyah, Minggu (6/5/2018) di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Misiyah, pemerintah harus membuktikan komitmen untuk memberikan perlindungan hukum agar generasi penerus bangsa terutama anak-anak perempuan tidak dihambat hak-hak dan kemajuannya. Salah satunya dengan mempercepat penerbitan peraturan penghentian perkawinan anak dengan menaikkan usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi 18 tahun serta memperketat pemberian dispensasi.

DOKUMEN/ KAPAL PEREMPUAN–Memperingati Hari Kartini, Sabtu (21/4/2018), sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak, berjalan kaki dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha Jalan Merdeka Barat hingga Taman Aspirasi Monumen Nasional. Mereka menggelar Aksi “1.000 Surat Perempuan” untuk mendukung komitmen Presiden menerbitkan Perppu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak.

“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlu membuat peraturan yang memastikan berjalannya Wajib Belajar 12 Tahun, menyediakan kurikulum pendidikan yang responsif jender termasuk didalamnya kesehatan reproduksi,” kata dia.

Adapun, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga diharapkan terus berperan menyelesaikan masalah perkawinan anak. Sebab, dampak perkawinan anak hingga kini sangat dirasakan, yakni angka putus sekolah anak perempuan mencapai hingga 90 persen, serta tingginya angka kematian ibu melahirkan yakni saat ini ada sekitar 305 ibu meninggal per 100.000 kelahiran hidup.

Dampak lain dari perkawinan anak yakni kelahiran anak stunting dan kemiskinan perempuan karena angkatan kerja perempuan tidak dapat mengakses pekerjaan layak. “Perkawinan anak juga berdampak pada tingginya angka perceraian, angka kekerasan dalam rumah tangga, migrasi dan perdagangan perempuan. Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan menyatakan bahwa banyak perempuan yang bekerja ke luar negeri dan menjadi korban pedagangan manusia akibat dari perkawinan anak,” kata Misiyah.

Karena itu, Misiyah menegaskan, peringatan Hardiknas 2018 seharusnya menjadi momen untuk membunyikan alarm sekencang-kencangnya untuk mencegah dan mengakhiri perkawinan anak di Indonesia.

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR–Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise foto bersama saat Peluncuran Gerakan Stop Perkawinanan Anak di Kantor Kementerian PPPA, awal April 2017.

Peran belum optimal
Sementara itu, pekan lalu, Menteri PPPA Yohana Susana Yembise dalam keterangan pers, mengungkapkan meski jumlahnya hampir sama dengan laki-laki serta memiliki potensi yang sangat besar, hingga kini perempuan di Indonesia belum berperan optimal dalam pembangunan, karena kualitas hidup dan tingkat pendidikannya yang rendah. Padahal, berdasarkan data profil perempuan Indonesia, sekitar 65,71 persen perempuan Indonesia berada pada usia produktif.

“Potensi ini harus mampu dikelola dan diarahkan dengan baik dalam mensukseskan pembangunan. Kita harus memastikan bahwa perempuan memperoleh kesamaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama dari hasil pembangunan yang dilaksanakan,” ujar Yohana.

Dari Profil Perempuan Indonesia 2016, pada kelompok umur 15 tahun ke atas, persentase perempuan yang menamatkan pendidikan SMP/sederajat hingga perguruan tinggi lebih rendah dari laki-laki. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas pendidikan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Profil pendidikan
Pekan lalu, Menteri PPPA Yohana Susana Yembise dalam keterangan pers mengungkapkan, meski jumlahnya hampir sama dengan laki-laki serta memiliki potensi yang sangat besar, perempuan di Indonesia hingga kini belum berperan optimal dalam pembangunan. Sebab, kualitas hidup dan tingkat pendidikannya yang rendah. Padahal, berdasarkan data profil perempuan Indonesia, sekitar 65,71 persen perempuan Indonesia berada di usia produktif.

Dari data Profil Perempuan Indonesia 2016, pada kelompok umur 15 tahun ke atas, persentase perempuan yang menamatkan pendidikan SMP/sederajat hingga perguruan tinggi lebih rendah dari laki-laki. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas pendidikan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Berdasarkan Susenas 2012, angka melek huruf perempuan berumur 15 tahun ke atas sebesar 90,64 persen. Angka melek huruf itu lebih rendah jika dibandingkan dengan angka melek huruf laki-laki, yaitu 95,87 persen, pada kelompok umur yang sama. Ini menunjukkan kemampuan membaca dan menulis perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Dari segi status kesehatan, kesehatan perempuan perlu mendapat perhatian khusus karena perempuan mempunyai peran penting dalam melahirkan generasi penerus yang berkualitas, mendidik anak dalam suatu rumah tangga. Namun, hingga kini masih banyak perempuan yang kurang mendapat perhatian terutama di bidang kesehatan.

Karena itulah menurut Yohana, peningkatan kualitas dan kemampuan kaum perempuan perlu didukung masyarakat khususnya lembaga masyarakat, terutama dari kaum laki-laki. Dukungan ini sangat penting demi mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia.

“Pemberian kesempatan baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan akan dapat menjamin peningkatan daya saing yang sehat sehingga dengan dukungan kaum laki-laki, perempuan akan dapat meningkat kualitas dan kemampuannya hingga dapat disetarakan dengan kaum laki-laki,” kata Yohana.

Untuk itu komitmen untuk mewujudkan kesetaraan jender harus difokuskan pada peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, penurunan angka kematian ibu, dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.–SONYA HELLEN SINOMBOR

Sumber: Kompas, 7 Mei 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB