Para peneliti di dunia berlomba menemukan vaksin Covid-19. Indonesia pun terlibat dalam uji klinis vaksin tersebut bekerja sama dengan beberapa perusahaan farmasi dari luar negeri.
Sebagian besar peneliti kini sedang berlomba untuk bisa cepat menghasilkan vaksin Covid-19. Setidaknya ada lebih dari 165 vaksin yang sedang dikembangkan di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 27 vaksin di antaranya sudah masuk dalam tahap uji klinis pada manusia.
Indonesia pun terlibat dalam pengembangan vaksin Covid-19. Salah satunya adalah pengembangan vaksin yang dijalankan oleh Sinovac Biotech Ltd, perusahaan biofarmasi asal China. Kerja sama terkait pengembangan vaksin ini dilakukan bersama Bio Farma dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk melakukan uji klinis tahap ketiga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Uji klinis tersebut direncanakan mulai dilakukan pada awal Agustus 2020 pada 1.620 sukarelawan. Selain di Indonesia, uji klinis tahap ketiga vaksin oleh Sinovac juga dilakukan di Brasil dengan 9.000 sukarelawan dan di Bangladesh dengan 4.200 sukarelawan.
Tidak hanya dengan Sinovac, Indonesia juga akan menjalankan kerja sama pengembangan vaksin bersama Genexine, perusahaan asal Korea Selatan. Kerja sama ini dilakukan dengan PT Kalbe Farma serta menurut rencana bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pengembangan ini dilakukan untuk uji klinis tahap kedua dengan target 100 sukarelawan.
Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI Wien Kusharyoto mengatakan, LIPI masih menunggu komitmen lebih lanjut terkait pendanaan dari pengembangan vaksin yang dilakukan bersama Genexine. Pelaksanaan uji klinis tahap kedua vaksin ini diperkirakan dimulai pada September 2020.
Menurut dia, pengembangan vaksin Covid-19 memiliki sejumlah tantangan yang harus dihadapi, terutama tantangan untuk memperoleh vaksin yang cepat dan efektif, tetapi tetap harus aman bagi masyarakat. Dalam pengembangan vaksin, tahap uji klinis kepada manusia khususnya harus memastikan keamanan sukarelawan.
”Yang paling penting adalah terkait dosis dan efek samping yang dihasilkan. Batas toleransi efek samping itu antara lain bengkak atau kemerahan pada area yang disuntik vaksin, demam ringan, dan diare ringan. Namun, jika sudah lebih dari itu, seperti demam tinggi, artinya harus segera dihentikan,” tutur Wien.
Oleh karena itu, proses uji klinis harus melibatkan dokter ahli yang terkait. Proses pemantauan dan evaluasi kondisi sukarelawan yang diuji perlu dilakukan secara ketat. Jangan sampai kondisi seseorang tersebut justru memburuk.
Tantangan lain yang juga harus dihadapi antara lain proses produksi, alokasi vaksin, dan pendistribusian vaksin. Setelah vaksin didapatkan, produsen vaksin harus memastikan jumlahnya mencukupi kebutuhan masyarakat di Indonesia.
LIPI—-Kerja sama pengembangan vaksin di Indonesia.
Untuk itu, pengembangan vaksin perlu dilakukan banyak pihak. Setidaknya, kebutuhan vaksin tahap awal bisa dilakukan secara tepat. ”Untuk tahap awal, prioritas pemberian vaksin bisa untuk tenaga kesehatan terlebih dahulu,” ucapnya.
Vaksin dalam negeri
Wien mengatakan, LIPI saat ini juga sedang mengembangkan vaksin Covid-19. Pengembangan ini terpisah dari vaksin Merah Putih yang diteliti oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi.
”Kami mengembangkan vaksin yang akan berbentuk spray (semprotan). Ini dinilai lebih efektif karena akan langsung menyasar jaringan mukosa yang langsung terdampak virus SARS-CoV-2. Prosesnya masih panjang karena kini baru dalam tahap laboratorium,” katanya.
Kepala Kelompok Penelitian Pengembangan Produk Biologi LIPI Ratih Asmana Ningrum menambahkan, vaksin yang dikembangkan adalah vaksin rekombinan sub-unit. Pengembangan ini dilakukan dengan mengambil satu bagian dari virus SARS-CoV-2 yang berupa protein Spike. Protein ini mampu menginduksi respons antibodi netralisasi dan proteksi pada tubuh yang terinfeksi.
Dalam pengembangan vaksin ada beberapa tahap yang harus dilalui, yakni tahap laboratorium, preklinis, uji klinis, dan baru siap diproduksi. Tahap uji coba klinis pun perlu melewati sejumlah fase, antara lain uji klinis tahap pertama dengan beberapa puluh sukarelawan, kemudian tahap kedua dengan ratusan sukarelawan, dan tahap ketiga dengan ribuan sukarelawan.
Menurut Wien, pada masa pandemi seperti saat ini, sejumlah tahap biasanya dilakukan tumpang tindih untuk mempercepat proses pengembangan vaksin. Berdasarkan pengalaman, pengembangan vaksin sampai siap diproduksi paling cepat dilakukan selama empat tahun, yakni pada pengembangan vaksin measles atau vaksin campak.
”Meski dituntut untuk cepat dalam menghasilkan vaksin, keamanan pada masyarakat harus diutamakan. Kita tidak bisa mengatakan suatu vaksin sudah bisa berhasil dikembangkan jika belum terbukti efektivitas dan keamanannya,” ucapnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 29 Juli 2020