Penyebab Kebutaan yang Tak Terduga

- Editor

Minggu, 7 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Glaukoma menjadi penyebab kebutaan kedua setelah katarak. Namun, gangguan yang menyebabkan kebutaan ini sering kali tak disadari sehingga terlambat ditangani. Langkah pencegahan penting dilakukan.

Glaukoma menjadi tantangan kesehatan masyarakat karena menjadi penyebab kebutaan nomor dua di dunia setelah katarak. Di tingkat individu, gangguan mata ini adakalanya datang mendadak tak terduga.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2019 menyebutkan, 2,2 triliun penduduk dunia mengalami gangguan mata. Sebanyak 76 juta orang di antaranya menderita glaukoma. Kebutaan akibat glaukoma mencapai 6,9 juta penduduk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masalahnya, setengah jumlah penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka mengidap penyakit tersebut. Menurut WHO, angka ini bisa lebih tinggi di negara-negara berkembang. Penyebabnya, di tahap awal glaukoma tidak bergejala. Kalaupun telah bergejala, sering kali diabaikan. Padahal, jika tidak diobati dengan saksama, glaukoma dapat berkembang menjadi kebutaan.

Laporan ”Situasi Glaukoma di Indonesia” dari Kementerian Kesehatan Indonesia menyebutkan, jumlah penderita glaukoma di dunia pada 2020 akan mencapai 76 juta, meningkat 25,6 persen dari 2010, yakni 60,5 juta orang. Prevalensi glaukoma di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, sebesar 0,46 persen atau 4-5 orang per 1.000 penduduk.

Pada tahun 2017, berdasarkan data aplikasi rumah sakit daring (SIRS online), jumlah kasus baru glaukoma pada pasien rawat jalan di rumah sakit Indonesia adalah 80.548 kasus. Penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

Dalam diskusi daring tentang glaukoma pertengahan Maret lalu, dokter spesialis mata Iwan Soebijantoro dari Jakarta Eye Center juga menyebutkan, penderita glaukoma sering tidak menyadari gangguan pada matanya. Padahal, glaukoma secara bertahap menyebabkan lapang pandang menyempit. ”Penderita akan kesulitan melihat bagian kiri dan kanan sehingga saat berjalan sering menabrak, bahkan jatuh,” ujarnya.

Menurut Iwan, pada glaukoma terjadi kerusakan saraf optik mata yang bertugas membawa sinyal penglihatan dari mata ke otak secara permanen akibat tekanan tinggi pada bola mata (lebih dari 21 mmHg). Normalnya, tekanan bola mata tidak lebih dari 20 mmHg.

Penyebabnya multifaktor, banyak yang belum diketahui. Yang jelas, glaukoma terjadi saat tekanan bola mata tinggi. Beberapa faktor risiko adalah usia di atas 40 tahun, riwayat keluarga (jika dalam keluarga ada yang glaukoma, risiko kena glaukoma sembilan kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa riwayat keluarga), miopia (mata minus tinggi) atau hipermetropia (mata plus tinggi), pernah cedera mata (terbentur atau terpukul), menggunakan steroid dalam jangka panjang (misalnya obat untuk asma, alergi, autoimun, dan rematik). Selain itu, penderita diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular berisiko terkena glaukoma. Katarak juga bisa memicu glaukoma.

Drainase cairan tertutup
Tekanan tinggi pada bola mata disebabkan oleh tertutupnya saluran drainase cairan mata (aqueous humor). Laman Mayo Clinic menyebutkan, cairan mata biasanya mengalir keluar melalui jaringan yang disebut jalinan trabekuler pada sudut pertemuan iris dan kornea. Ketika cairan mata diproduksi berlebihan atau sistem drainase tidak berfungsi dengan baik, aliran cairan keluar akan terhambat sehingga tekanan pada bola mata meningkat.

Ada empat jenis glaukoma, yakni glaukoma primer sudut terbuka, glaukoma primer sudut tertutup, glaukoma sekunder (akibat katarak, retinopati diabetik, penggunaan obat tetes kortikosteroid jangka panjang, radang mata, perdarahan dalam mata), serta glaukoma kongenital (bawaan lahir). Ras Asia cenderung mengalami glaukoma primer sudut tertutup.

Kajian Altaf A Kondkar dari Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi, dalam The Application of Clinical Genetics yang dipublikasi daring 9 Maret 2021 menyatakan, glaukoma sudut tertutup primer (PACG) diperkirakan dialami lebih dari 30 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2040 dan umum pada populasi Asia. PACG lebih parah dan menimbulkan risiko kebutaan tiga kali lebih tinggi dibandingkan glaukoma sudut terbuka primer.

Glaukoma sudut tertutup sering terjadi secara akut (mendadak), ditandai dengan nyeri hebat, pusing, mual, muntah, mata silau, dan melihat pelangi pada lampu. Secara klinis, tekanan bola mata meningkat mendadak, terjadi pembengkakan kornea dan kematian iris, dan pupil membesar.

Karena bisa terjadi mendadak, mereka yang memiliki faktor risiko disarankan melakukan deteksi dengan pemeriksaan mata rutin setidaknya setahun sekali. American Academy of Ophthalmology merekomendasikan pemeriksaan mata komprehensif setiap 5-10 tahun pada mereka yang berusia di bawah 40 tahun; 2-4 tahun pada usia 40-54 tahun; 1-3 tahun pada usia 55-64 tahun; dan setiap 1-2 tahun saat berusia lebih dari 65 tahun.

Deteksi, demikian Iwan, dilakukan dengan pemeriksaan pada tekanan bola mata, pemeriksaan sudut bilik mata, pemeriksaan saraf optik, serta pemeriksaan lapang pandang mata. ”Jika diketahui ada glaukoma, pengobatan bisa dengan terapi obat, laser, ataupun operasi,” katanya.

Robert N Weinreb dan Felipe A Medeiros dari Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas California, San Diego, Amerika Serikat, serta Tin Aung dari Fakultas Kedokteran Universitas Nasional Singapura, dalam tinjauan di The Journal of the American Medical Association (JAMA), 14 Mei 2014, menyatakan, pengobatan biasanya dimulai dengan tetes mata untuk menurunkan tekanan pada bola mata, trabekuloplasti dengan laser, atau pembedahan untuk memperlambat perkembangan penyakit.

Menurut mereka, dokter umum berperan penting dalam diagnosis glaukoma dengan merujuk pasien dengan riwayat keluarga atau temuan saraf optik mata yang mencurigakan untuk melakukan pemeriksaan oftalmologi lengkap. Dokter umum juga dapat meningkatkan hasil pengobatan dengan memperkuat kepatuhan dan ketekunan pengobatan.

”Langkah kunci mencegah progresivitas glaukoma adalah pemeriksaan berkelanjutan dan pengawasan dokter ahli secara konstan. Penderita glaukoma membutuhkan penanganan berkesinambungan secara disiplin,” kata Iwan.

Jika tidak, glaukoma berpotensi menyempitkan lapang pandang mata sehingga penderita hanya bisa melihat obyek seolah dari lubang kunci, bahkan sampai buta total.

Selain pemeriksaan untuk mendeteksi gangguan mata, penting dilakukan upaya mencegah cedera mata. Dianjurkan untuk mengenakan pelindung mata saat menggunakan perkakas listrik atau berolahraga dengan raket kecepatan tinggi di lapangan tertutup.

Dunia ini indah, penuh pesona, dan berwarna-warni. Karena itu, keselamatan mata layak untuk dijaga.

Oleh Atika Walujani Moedjiono, Wartawan Kompas

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 7 April 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB