Pengembangan Pesawat Perintis di Indonesia

- Editor

Kamis, 3 November 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BULAN lalu, masyarakat di Tanah Air dikejutkan dengan dua kecelakaan pesawat terbang yang terjadi hanya berselang beberapa minggu. Kecelakaan pertama terjadi pada 9 September, saat pesawat Cesna Grand Caravan milik maskapai Susi Air jatuh di Kabupaten Yahukimo, Papua.

Lalu, kecelakaan kedua terjadi pada pesawat Casa 212-200 milik maskapai Nusantara Buana Air (NBA) yang jatuh di pegunungan Bohorok, Sumatra Utara pada, 29 September.

Tragedi kecelakaan pesawat terbang yang menerbangi rute perintis itu harus menjadi momentum pembenahan penerbangan perintis di Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya dipisahkan oleh perairan. Untuk menunjang sarana perhubungan, membutuhkan alat transportasi penerbangan perintis untuk menjangkau daerah-daerah terpencil di berbagai kawasan kepulauan yang selama ini sulit terjangkau oleh moda transportasi lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penerbangan perintis memiliki peran untuk membuka daerah-daerah terisolasi dan tentu saja menggairahkan bisnis pariwisata di daerah. Apalagi dengan adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah bagi penyelenggaraan penerbangan perintis di Indonesia.

Subsidi penerbangan perintis untuk tahun ini saja jumlahnya mencapai Rp 267 miliar. Subsidi pemerintah dilakukan untuk memenuhi kekurangan biaya operasional maskapai penerbangan yang melayani rute-rute penerbangan perintis. Apabila tidak dikenakan subsidi bisa dipastikan maskapai penerbangan bakal merugi.

Jumlah rute penerbangan perintis di Indonesia saat ini terus berkembang, antara lain di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Maluku, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan lain-lain. Kondisi geografis yang serba sulit membuat kebutuhan terhadap penerbangan perintis sangat dibutuhkan di wilayah-wilayah tersebut.

Beberapa maskapai penerbangan yang melayani penerbangan perintis antara lain Susi Air, Nusantara Buana Air (NBA), Merpati Nusantara Airlines, Wing Air di wilayah Sumatra, Sulawesi dan Papua, Trigana Air Service di wilayah Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku dan wilayah Sumatra, Riau Airlines di wilayah Aceh dan Sumatra Utara, PT Sabang Merauke Raya Air Charter (SMAC) di wilayah Sulawesi dan Kalimantan, Deraya di wilayah Sumatra, Maluku, Papua dan lain-lain.

Asli Indonesia

Sebagian penerbangan perintis di beberapa wilayah di Indonesia masih menggunakan pesawat perintis produksi lama. Beberapa di antaranya tidak layak pakai atau sudah uzur, sehingga diperlukan pesawat perintis yang lebih modern, cepat, ekonomis, dan nyaman, untuk menjangkau antardaerah dan antarpulau.

Menjawab kebutuhan inilah, sejak tahun 2006 PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dan Kementerian Industri berinisiatif mengembangkan pesawat perintis yang diberi nama N-219. Lalu, apa arti kode N-219? sama halnya dengan pesawat N-250 (Nusantara, 2 mesin,50 penumpang), pada pesawat N-219 kode ”N” berarti Nusantara, maksudnya asli buatan Indonesia. Angka ”2” berarti 2 mesin (2 baling-baling), sedangkan angka ”19” berarti mampu mengangkut 19 penumpang.

Nantinya pesawat N-219 akan menjadi pesawat buatan Indonesia kedua setelah N-250 yang 100 persen pengembangannya dilakukan di dalam negeri.

Pesawat N-219 merupakan pesawat generasi baru rancangan asli PT DI, yang dikembangkan berdasarkan sertifikat FAR 23/CASR 23 (commuter category). Pesawat berkapasitas 19 tempat duduk ini tidak membutuhkan landasan yang luas, sehingga cocok untuk melayani penerbangan antardaerah dan antarpulau di Tanah Air yang umumnya memiliki landasan pesawat terbang yang tidak panjang.

Sebelum membuat pesawat N-219, sebenarnya PT DI yang berdiri sejak 23 Agustus 1976, telah berhasil membuat berbagai jenis pesawat terbang dan helikopter, seperti  pesawat NC-212 , helikopter NBO-105, helikopter NAS-330 Puma, helikopter NBK-117, helikopter NAS-332 Super  Puma, NBell-412, pesawat CN-235, dan pesawat N-250 Gatotkaca. Kecuali CN-235 dan N-250, semua pesawat dan helikopter di atas merupakan hasil lisensi dari pihak luar negeri, seperti Spanyol, Jerman, dan Prancis.

Lain halnya dengan CN-235 yang merupakan hasil kerja sama dengan CASA Spanyol (sekarang Airbus Military). Kemudian N-250 yang merupakan pesawat terbang pertama yang dirancang dan dibuat sendiri oleh Indonesia, meskipun beberapa komponennya masih diimpor.

Pesawat N-219 ditenagai oleh dua buah mesin PT6A-61 yang masing-masing berkekuatan 850 shaft horse power (SHP) buatan Pratt & Whitney dengan kecepatan jelajah maksimum 395 km/jam dan kecepatan jelajah ekonomis 352 km/jam.

Di kelasnya, N-219 mendapat dua saingan yakni Viking DHC-6 Twin Otter produksi Kanada dan Harbin Y-12 produksi China (Suara Merdeka, 23/9/2011). Sebagai perbandingan, harga pesawat Y-12 senilai 4,5 juta dolar AS dan Twin Otter di atas 5 juta dolar AS. Sementara harga pesawat N-219 hanya 3,8 juta dolar AS atau sekitar Rp 35 miliar per unit.

Secara keseluruhan, produk PT DI ini memiliki 70 % muatan lokal (local content). Penggunaan komponen lokal yang mencapai 70% membuat harga pesawat ini jauh lebih murah dibandingkan dengan pesawat buatan luar negeri. Dari sekian banyak komponen, hanya mesin dan avionik yang masih di impor dari luar negeri.

Nah, tentunya kita berharap, ke depan PT DI bisa membuat mesin pesawat sendiri. Apalagi PT DI, melalui anak perusahaannya, yaitu PT Nusantara Turbin dan Propulsi (PT NTP), sejak lama telah memiliki kemampuan untuk  memperbaiki dan melaksanakan jasa overhaul berbagai jenis mesin pesawat terbang. Bahkan akhir 2010 lalu, melalui kerja sama dengan Siemens AG telah mendirikan perusahaan patungan yang diberi nama PT Siemens Industrial Power Indonesia yang khusus memproduksi turbin uap.

Pembuatan desain pesawat N-219 menggunakan CAD (computer aided design) dengan UBOM sehingga proses perancangan lebih cepat. Melalui desain tersebut, pada tahun 2007 PT DI dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dalam membuat model uji aerodinamika N-219 skala 1:6,3.

Di penghujung tahun 2008, model pesawat N-219 menjalani uji aerodinamika di laboratorium uji terowongan angin di Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran (LAGG), Serpong. Model ini juga menjalani pengujian pendaratan di air (ditching) di Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika (BPPH), Surabaya.

Kegiatan ini melibatkan Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi (PTIST) sebagai pelaksana program, sedangkan LAGG dan BPPH sebagai pelaksana teknis.

Pengujian skala laboratorium dilakukan untuk mendapatkan data karakteristik aerodinamika dan ditching pesawat udara N-219. Hasil pengujian akan digunakan untuk meninjau ulang desain yang dikembangkan sebelum masuk ke tahapan prototipe.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Desember 2010, hasil uji aerodinamika yang dilakukan BPPT selesai dan diserahkan ke PT DI. BPPT telah melaksanakan pengujian model aerodinamika sebanyak 139 polar dari 300 polar.

Pada tahun 2011 ini, pengembangan pesawat telah masuk dalam tahapan detail engineering design (DED) untuk pembuatan prototipe pesawat. Prototipe N-219 yang dibangun berjumlah dua unit dan ditargetkan pembuatan prototipe ini tuntas pada tahun 2013. Pembuatan prototipe pesawat membutuhkan dana sekitar Rp 300 miliar, dengan Rp 59 miliar di antaranya akan dikucurkan pada tahun depan.

Regenerasi

Bagi PT DI sendiri, proyek N-219 berperan penting untuk meregenerasi tenaga ahli dan insinyur aeronotikanya. Melalui proyek pesawat perintis N-219 inilah generasi insinyur yang lama bisa mengalihkan ilmunya ke generasi berikutnya yang jauh lebih muda, sehingga menjadi jembatan alih teknologi antara para insinyur CN-235 dan N-250 dengan insinyur generasi baru.

Seperti kita tahu, generasi insinyur yang pernah ikut mengembangkan pesawat CN-235 dan N-250 semakin tua dan tidak lama lagi akan pensiun.

Saat ini, sekitar 40 pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota telah menyatakan minatnya untuk membeli pesawat N-219. Berdasarkan hasil penelitian PT Dirgantara Indonesia dan Kementerian Perindustrian, kebutuhan pesawat kapasitas 19 penumpang mencapai 97 pesawat untuk versi sipil dan 105 pesawat untuk versi khusus.

Pilihan untuk mengembangkan pesawat N-219 merupakan langkah yang tepat. Selain dapat digunakan sebagai alat angkut sipil, pesawat ini juga dapat dimodifikasi menjadi alat angkut kargo, alat angkut militer, bantuan korban bencana (SAR), surveillance (pengawasan) bahkan bisa dipakai sebagai pesawat patroli maritim (maritime patrol aircraft).

Keberanian PT DI untuk merajut mimpi-mimpinya itu patut mendapat acungan jempol. Dengan terwujudnya pesawat perintis N-219, tentunya bisa menjadi bukti tetap eksisnya PT DI sebagai salah satu produsan pesawat terbang dunia dan yang pasti menjadi salah satu cermin kemajuan bangsa dalam hal penguasaan teknologi. Keinginan luhur itulah yang sedang diemban oleh ahli-ahli dirgantara Indonesia dalam  memberi sumbangsih yang nyata demi kemajuan bangsa. (24)
–Yudi Supriyono, pemerhati alutsista dan penerbangan.

Sumber: Suara Merdeka, 31 Oktober 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB