Seusai mengerjakan tugas harian matematika, suara Ahmad Rafa (7) lantang memanggil ayahnya, Juliadri (35), untuk membantu mengirim tugas kepada gurunya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA) 01-04-2020—Saat wabah Covid-19, Rabu (1/4/2020), salah satu siswa mengikuti kursus musik piano klasik secara daring melalui panggilan video pada aplikasi Whatsapp di Kota Salatiga, Jawa Tengah .
Seusai mengerjakan tugas harian matematika, suara Ahmad Rafa (7) lantang memanggil ayahnya, Juliadri (35), untuk membantu mengirim tugas kepada gurunya. Rafa bukannya tak tahu cara memotret dan mengirim tugas ke gurunya, tetapi telepon seluler milik sang ayah tak ada paket pulsa internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kamis (16/4/2020), di antara gang sempit di permukiman padat penduduk RT 06 RW 01 Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Juliadri berjalan cepat sembari membawa telepon seluler menuju rumah kakaknya di RT 015. Sesampai di rumah kakaknya, ia langsung meminta akses internet gratis untuk mengirim tugas harian Rafa. Tidak lama berselang, Juliadri kembali ke rumah. Dengan tersenyum dan mengatakan kepada Rafa bahwa tugasnya sudah dikirim.
Sebagai buruh bangunan, beban kehidupan Juliadri pada masa pandemi Covid-19 ini bertambah besar. Sejak anak-anaknya belajar di rumah, ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk pengeluaran pulsa internet. Ya, semua tugas dan materi pembelajaran disampaikan oleh guru secara daring.
Juliadri beruntung menjadi salah satu dari sekian banyak buruh yang masih bisa bekerja. Namun, upahnya kerap dipotong. Untuk membantu perekonomian keluarga, istrinya menjadi buruh setrika pakaian.
”Saya bersyukur masih bisa bekerja. Dua minggu ini sering dipotong gaji. Sebenarnya tidak besar, tetapi cukup terasa karena kebutuhan harian menjadi bertambah. Terutama beli paket kuota internet untuk anak-anak belajar daring,” kata Juliadri yang tak mau memberi tahu penghasilannya sebagai buruh bangunan.
Aturan belajar di rumah membuat Juliadri dan istrinya bergantian mendampingi ketiga anaknya, Zidan (5), Rafa, dan Zulfi (12), untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah secara daring. Ketika tak bisa menemani, Juliadri dan istri menitipkan ketiga anaknya ke rumah kakak agar tetap bisa mengerjakan tugas dan membantu mengirim tugas-tugas harian sekolah. Kebetulan hari itu Juliadri tidak masuk kerja karena giliran libur.
Kini, saat berangkat kerja, Juliadri jarang membawa telepon seluler. Telepon seluler ia serahkan kepada anak tertuanya, Zulfi, untuk mengirim tugas-tugas harian sekolah. Zulfi juga kerap membantu adik-adiknya mengirim tugas harian sekolah.
”Dapat laporan dari kakak, setelah selesai ngerjain tugas anak-anak sering nonton kartun atau main gim. Terutama Rafa dan Zidan sering rebutan HP. Akhirnya saya tahu kenapa pulsa internet cepat habis,” kata Juliadri sambil memandangi dan menunjuk Zidan yang sedang terbaring bermain gim.
”Selain itu, yang agak berat juga, Zulfi (kelas VI SD) harus bikin video prakarya, seperti kotak pensil, tong sampah, dan kerajinan lain. Proses pembuatan video dari awal hingga selesai prakarya harus lengkap lalu dikirim ke gurunya,” kata Juliadri.
Satu telepon seluler yang digunakan untuk tiga anak membuat Juliadri kerap kehabisan pulsa internet. Namun, Juliadri tidak bisa marah kepada anaknya karena ia sadar mereka pasti bosan di rumah. Mereka tidak bisa bermain di lapangan yang ada di seberang kampung karena ada larangan beraktivitas di luar rumah.
”Bahkan pernah hari kapan itu enggak kirim tugas, besoknya baru kirim saat saya sudah ada uang baru beli pulsa internet. Anak-anak makin susah diatur kalau disuruh diam di rumah terus. Mereka bosan, maunya main di luar. Orangtua pusing juga. Jadi sesekali mereka bermain di luar tetapi hanya sekitar rumah, enggak boleh jauh-jauh. Pengurus RT cukup aktif sosialisasi. Saya lihat warga juga patuh,” kata Juliadri.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (NUT) 03-04-2020–Siswa kelas 5 SD Ricci II, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (3/4), mengikuti pelajaran yang diselenggarakan sekolah lewat aplikasi telekonferensi dalam jaringan internet.
Kebutuhan bahan pokok
Dalam situasi pandemi Covid-19, Juliadri tidak hanya dipusingkan untuk membeli pulsa internet. Namun, ia juga harus tetap memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, ia sangat berharap bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan bisa segera tersalurkan.
”Saat ini malah yang saya butuhkan bahan kebutuhan pokok karena sudah menipis. Kalau saya dan istri lapar bisa tahan. Tetapi kalau anak lapar, masa harus nahan juga. Anak lapar ya lapar, harus makan. Pulsa internet mungkin juga penting, tetapi saya masih bisa akali dengan menumpang internet gratis. Kalau anak lapar, diakali pakai apa? Internet?
Hal serupa dialami Sumiatun (39), warga RT 004 RW 004 Kelurahan Tanjung Duren Selatan. Selain harus menjaga anak agar tidak berkeliaran, ia harus membimbing anaknya, Aisyah (13) dan Andra (6), belajar secara daring.
Sumiatun mengaku, tak banyak kendala dalam mengawasi anak-anaknya belajar secara daring. Namun, untuk pulsa internet jadi bertambah. Selain untuk belajar, telepon seluler digunakan untuk bermain gim dan menonton film kartun. Setidaknya anak-anak bisa belajar dan tetap di rumah.
”Yang repot sekarang tuh, anak jadi uring-uringan. Saya suruh belajar jadi susah sekarang. Awal-awal masih enak mengaturnya. Sekarang mereka sudah mulai bosan karena di rumah terus. Saya pantau dia belajar. Jadinya mungkin stres ya. Kemarin mereka sering main ke RPTRA, tetapi sekarang enggak boleh. Tambah pusing anak- anak. Orangtua juga pusing,” kata Sumiatun.
Hampir semua lapisan masyarakat harus menyesuaikan dengan situasi pandemi Covid-19. Aktivitas di rumah menjadi tidak sederhana karena sejumlah kebutuhan, seperti pulsa internet untuk belajar daring sang anak, justru meningkat. Adapun pendapatan warga tidak meningkat, justru sebagian menurun.
Namun, seperti yang dilakukan Juliadri dan Sumiatun, apa pun dilakukan demi sang buah hati agar bisa belajar dan tetap berada di rumah.
Oleh AGUIDO ADRI
Sumber: Kompas, 18 April 2020