Audit yang dilakukan SCS Global Services pada Februari hingga Maret 2018 membuktikan, metodologi Reduced Impact Logging-Carbon (RIL-C) yang dikembangkan The Nature Conservancy (TNC) mampu mengurangi emisi hingga 20,075 tCO2. Capaian ini lebih dari 50 persen dibandingkan dengan praktik yang biasa dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi.
Pengukuran yang dilakukan pada lahan konsesi PT Narkata Rimba di Wahau, Kalimantan Timur, seluas lebih dari 500 hektar ini menunjukkan bahwa metodologi RIL-C terbukti secara ilmiah mampu mengurangi emisi secara signifikan dari praktik penebangan yang dilakukan oleh konsesi hutan alam produksi (HPH).
“Berkat dukungan mitra, termasuk TNC, kami telah berhasil menerapkan metodologi RIL-C sebagai salah satu kunci utama untuk pengelolaan hutan alam secara lestari,” ungkap Andreas Nugroho Adi, Direktur PT. Narkata Rimba, Selasa (18/4/2018) dalam keterangan tertulis di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hasil audit independen ini menunjukkan RIL-C sebagai sebuah metodologi yang handal dan transparan untuk pengurangan emisi,” ucap Ruslandi, Manajer Senior untuk Hutan Produksi TNC Indonesia.
Hasil audit ini bahkan menunjukkan bahwa metodologi RIL-C mampu mengurangi emisi hingga 20 persen lebih banyak dari studi sebelumnya.
BRIDGET BESAW–Seorang petugas sedang mempersiapkan praktik penebangan dengan metode RIL di Kalimantan Timur.
Dengan luas hutan produksi yang sekitar 60 persen dari total luas hutan, TNC yakin RIL-C dapat berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi pemerintah Indonesia dengan biaya yang lebih murah (cost-effective) dibandingkan dengan cara penurunan emisi yang lain.
Penerapan pembalakan berdampak rendah atau biasa disebut Reduced Impact Logging (RIL) merupakan salah satu kriteria utama dalam pemenuhan standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. RIL mulai dikembangkan pada awal tahun 1990-an dan saat ini sudah banyak pemegang konsesi hutan alam produksi yang menerapkan praktik ini.
Praktik RIL menggantikan penebangan kayu di hutan yang masih menggunakan model buldozer sehingga membuka hutan terlalu lebar. Sebagai pengganti, metode RIL menggunakan sistem pancang tarik (monocable winch), menarik kayu dari hutan dengan tali kawat yang ditarik mesin pancang.
Sejak 2009, The Nature Conservancy (TNC) meneruskan pengembangkan metodologi ini untuk secara spesifik ditargetkan mampu mengurangi emisi dari kegiatan pembalakan dan menghitung pengurangan emisi yang diperoleh dari mempraktikkan metodologi pembalakan ramah lingkungan dan rendah karbon atau yang lebih dikenal dengan istilah RIL-C. Sistem ini tak menebang pohon yang berlubang/growong.
Dalam mengembangkan metodologi ini, TNC melakukan penelitian ilmiah yang intensif di 9 HPH di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa praktik pembalakan konvensional menghasilkan emisi rata-rata 51,1 ton C/ha (1,5 ton C/meter kubik kayu panen), sementara pembalakan dengan menggunakan metodologi RIL-C dapat mengurangi emisi yang dihasilkan hingga 40 persen.
BRIDGET BESAW (ISTIMEWA)–Seorang petugas sedang mempersiapkan praktik penebangan dengan metode RIL di Kalimantan Timur.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Global Change Biology. Lebih lanjut, metodologi RIL-C beserta modul performanya juga telah terdaftar dalam standar internasional yang kredibel, the Verified Carbon Standard (VCS), sehingga metodologi ini dapat dipakai secara global.
“Saat ini di Indonesia ada sekitar 270 HPH yang mengelola sekitar 20 juta hektar hutan produksi. Dari data ini, diperkirakan 270.000 hektar hutan produksi dipanen tiap tahun. Apabila 50 persen konsesi tersebut mengadopsi pendekatan RIL-C, maka sektor hutan produksi dapat berkontribusi secara nyata terhadap target pengurangan emisi di Indonesia, yakni kurang lebih 10 juta ton CO2 per tahun,” kata Rizal Algamar, Country Director TNC Indonesia.
Hamzah, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Barat mengungkapkan dukungannya terhadap metodologi RIL-C. “Kami berharap pada waktunya RIL-C dapat menjadi kebijakan mandatory dari Pemerintah Indonesia dengan memberikan penghargaan yang terukur bagi pemegang izin yang melaksanakannya,” kata dia.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 April 2018