Penerapan silvikultur intensif ramah lingkungan sangat penting untuk mengoptimalkan produksi hutan tanaman maupun menjaga kualitas hutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—-Hutan tanaman industri (HTI) yang menyuplai bahan baku kayu untuk pabrik Indah Kiat Pulp & Paper Perawang, di Siak, Riau, Rabu (25/1). Unit industri Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas ini memproduksi lebih dari 2,5 juta ton bubur kertas (pulp) dan 1 juta ton kertas pada tahun 2016
Hutan tanaman yang terdapat pada hutan produksi hingga kini masih menjadi tulang punggung dalam menghasilkan kayu bagi industri kehutanan. Pengelolaan hutan tanaman secara lestari berupa silvikultur intensif ramah lingkungan menjadi kebutuhan agar suplai kayu tetap berkelanjutan.
Profesor Riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nina Mindawati menyampaikan, hutan tanaman mengalami permasalahan berupa pertumbuhan genetik, kerusakan lingkungan, dan manajerial atau silvikultur hutan yang belum berjalan dengan baik.
Menurunnya produktivitas hutan, menurut Nina, disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut di antaranya kondisi lahan yang tidak subur, kualitas bibit rendah, adanya hama atau penyakit, hingga pelaksanaan standar operasional prosedur yang belum sempurna.
“Untuk mencapai pemulihan, yang harus dilakukan adalah perbaikan dalam fisik tapak. Oleh karena itu, penerapan silvikultur intensif ramah lingkungan sangat penting dilakukan saat ini dalam pengelolaan hutan tanaman,” ujarnya dalam diskusi daring Teras Inovasi Bincang Seru Profesor yang digelar Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Rabu (22/7/2020).
Pada dasarnya, silvikultur intensif merupakan strategi peningkatan hutan produksi yang memadukan tiga kegiatan yaitu pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, dan pengelolaan organisme pengganggu tanaman. Nina menyebutkan lima tahap dalam penerapan silvikultur intensif ramah lingkungan yakni pemilihan jenis, penggunaan bibit unggul, manajemen tapak, manajemen hara, dan manajemen perlindungan.
Selain itu, penerapan silvikultur intensif ramah lingkungan juga harus meminimalkan olah tanah atau alat berat, insektisida, fungisida, dan herbisida. Sebaliknya, penggunaan bahan organik dalam beberapa tahapan tersebut akan membuat hutan semakin lestari.
Pemilihan jenis benih tanaman menjadi salah satu hal yang penting dilakukan. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi KLHK saat ini telah memiliki 27 jenis benih tanaman hutan yang merupakan spesies asli (native species).
Sementara Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan juga sudah menghasilkan kebun benih semai uji keturunan Acacia mangium dengan produktivitas tinggi mencapai 34 meter kubik per hektar per tahun.
Memadukan aspek
Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo, pengelolaan hutan diharapkan dapat memadukan hubungan antara aspek ekonomi, sosial, pemerintahan, dan politik. Hal tersebut perlu dilakukan karena selama ini pengelolaan hutan tidak terlepas dari berbagai unsur.
“Kalau kita datang ke lapangan, semua aspek itu memengaruhi. Besar kecilnya pengaruh aspek tersebut tergantung wilayah. Di Papua mungkin lebih ke sosial, budaya, dan politik. Sedangkan di Sumatera Utara lebih ke ekonomi,” ujarnya.
Hariadi menilai, saat ini pendekatan tata kelola termasuk politik kehutanan dalam pengelolaan hutan relatif masih dikembangkan secara terbatas. Padahal, hal itu sangat penting untuk melihat dan menjawab penyebab dari tidak berjalannya peraturan atau kebijakan pengelolaan hutan yang telah ditetapkan.
“Jadi ini kewajiban peneliti, akademisi, dan pengambil keputusan untuk meliat pengelolaan hutan dengan kerangka pendekatan lebih luas dan rekomendasi solusi bertingkat,” tambahnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 23 Juli 2020