Dalam kabinet baru nomenklatur ”Pendidikan Tinggi” hilang dari Kementerian Riset dan Teknologi, tetapi juga tidak tersurat dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menjadikan pendidikan tinggi sekadar ”kata tambahan” (add and stir), dari analisis tekstual, bisa dimaknai sebagai ’tersembunyi’ atau ’tidak dihitung’. Padahal, hampir tidak ada kemajuan sains dan teknologi hari ini tanpa peran ilmuwan universitas. Namun, pendidikan tinggi kita menghadapi tantangan berat berupa beban kronis. Ada regulasi dan urusan administratif menghambat pengembangan keilmuan dan tata kelola universitas.
Kita juga tak memiliki desain nasional yang jelas dan berjangka panjang tentang riset sains-teknologi dan humaniora. Riset seperti apa yang dibutuhkan untuk masa depan Indonesia? Inikah yang menyebabkan pendidikan tinggi kita seperti tersembunyi? Presiden Jokowi dalam pidatonya mempertanyakan mengapa universitas sukar berubah. Padahal pemenang persaingan masa kini adalah yang mereka tercepat dalam inovasi, termasuk universitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memang, disrupsi tidak hanya menerjang perusahaan raksasa, juga universitas yang tak mau berubah dan lambat merespons kebutuhan masyarakat dan industri. Sementara itu, ilmu pengetahuan dan informasi melimpah di dunia maya, termasuk kuliah dari para profesor ternama dunia. Industri digital raksasa saat ini pun merekrut orang berdasarkan jejak kreativitas dan inovasi, bukan ijazah formal.
Namun, menyelenggarakan pendidikan tinggi memerlukan perhatian. Fungsi universitas bersifat khusus, yaitu memproduksi ilmu pengetahuan, tidak sekadar menerapkan (menghafal) ilmu seperti pendidikan dasar dan menengah. Tujuan esensialnya tidak hanya melahirkan sarjana terampil tetapi juga berpengetahuan dan berintegritas. Menjadikan mereka berketerampilan digital, melek big data, waspada akan datangnya era kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan robot sangat penting.
Namun, menjadikan mereka sebagai pemikir dan menghasilkan riset sosial-humaniora bersifat frontier, mampu meramalkan kebudayaan masyarakat era teknologi dengan berbagai masalahnya di masa depan juga penting. Membongkar sejarah kekejaman perang masa lalu agar manusia tidak mengulangi juga penting (Limpach, 2015). Pengetahuan dan riset semacam ini tidak bisa dikuantifikasi. Kedua ranah sains-tekno dan humaniora seharusnya diberi perhatian sama, bahkan dibukakan kolaborasi interdisiplin.
Masalah struktural
Membangun pendidikan tinggi harus diawali dengan mengidentifikasi masalah struktural dan membuat solusi tepat. Beban regulasi yang inkoheren-tumpang tindih dan prosedur administratif berbelit berdampak besar bagi lambatnya pengembangan ilmu, kreativitas dosen, dan tata kelola universitas.
Pertama, standardisasi capaian dan akreditasi universitas, fakultas, program studi (prodi), laboratorium, pusat riset diukur dengan parameter administratif yang tidak memberdayakan. Misalnya setiap unit harus punya staf sendiri (prodi), atau alat sendiri (laboratorium). Prodi di satu universitas pun sulit mendapatkan keahlian atau menggunakan laboratorium prodi atau fakultas lain.
Lembaga riset beserta laboratorium berskala nasional pun tidak dimungkinkan untuk digunakan secara kolaboratif karena sudah menjadi ”milik” periset suatu lembaga di mana unit itu berada. Padahal, membuat laboratorium dan membeli peralatan sendiri amat mahal dan dengan cepat ketinggalan zaman. Pengadaan alat oleh peneliti sendiri tidak dibolehkan berdasarkan peraturan keuangan negara sehingga peneliti tidak bisa bergerak cepat.
Pemeringkatan universitas didasarkan pada ukuran administratif juga rapuh karena bukan berbasis pada terbangunnya budaya akademik. Di Jerman, misalnya, pemeringkatan atau penghargaan kepada universitas didasarkan pada kompetisi proyek penelitian sains, teknologi dan humaniora, yang konsep dan visinya jauh ke depan (frontier) dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Riset itu diintegrasikan dengan pengajaran (research based teaching) sehingga mahasiswa mendapat materi baru.
Proyek penelitian diajukan suatu universitas (atau kolaborasi beberapa fakultas dan universitas). Gengsi universitas otomatis didapat universitas pemenang, tanpa pemerintah harus merankingnya. Prestasi akademik para ilmuwan berkelindan dalam budaya akademik, bukan karena perintah administratif yang memaksa.
Kedua, perubahan paradigma tidak sejalan dengan regulasi dan akreditasi yang kuno. Di negara lain sudah banyak muncul pembidangan baru lintas disiplin di antara sains-keteknikan, kesehatan, dan sosial humaniora, tanpa beban birokrasi. Sementara cara berpikir mono-disiplin, linear sudah memfosil karena dipelihara oleh sistem. Ilmuwan sukar ke luar dari zona nyamannya.
Mereka khawatir kehilangan identitas paradigmatik keilmuannya, atau takut tidak naik pangkat bila ilmu tidak linear. Metode pengajaran satu arah, ”dosen tidak pernah salah”, masih berlangsung. Sudah saatnya metode konvensional ini ditinggalkan, dan mengajak mahasiswa untuk off class, bertemu masyarakat dan realitas secara digital maupun empirik.
Universitas dan industri tidak terhubung
Ketiga, ketiadaan hubungan antara universitas dan industri juga karena industri kita tidak ada yang benar-benar memproduksi sendiri, kecuali assembling saja. Sebabnya, industri besar sudah memiliki pusat risetnya di head quarter negara masing-masing. Celakanya, kalaupun ada korporasi atau industri di Indonesia yang membutuhkan keahlian, mereka bukan membangun sinergi dengan universitas, malah membuat universitas sendiri. Amat sedikit CSR (corporate social responsibility) dari industri atau korporasi kepada universitas. Jarang ada kerja sama universitas dan industri yang menghilirkan temuan sains dan teknologi menjadi barang jadi yang bisa dinikmati masyarakat.
Keempat, pembiaran terhadap pendidikan pascasarjana. Bagian penting dari universitas yang memiliki potensi dan kapasitas untuk menghasilkan karya bermutu adalah pendidikan pascasarjana. Universitas ternama di negara maju justru lebih berkonsentrasi membesarkan pascasarjananya. Para profesor dan mahasiswa doktoral memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk menghasilkan riset bermutu.
Produksi pengetahuan (jurnal bereputasi dan hak paten) lahir dari sivitas pascasarjana. Pendanaan penelitian pascasarjana berasal dari negara maupun industri, yang berkepentingan mendapatkan temuan terbaik dari universitas. Di sini terjadi pembiaran terhadap pascasarjana, ”nir-subsidi”, menyebabkan pendidikan pascasarjana harus membiayai hidupnya sendiri. Akibatnya, universitas ”terpaksa” menjadikan pendidikan pascasarjana komoditas bagi mahasiswa yang mampu membayar.
Kelima, karena ketiadaan desain nasional, maka dana riset penelitian (dan pengabdian masyarakat) diberikan amat menyebar untuk riset kecil-kecil, sporadis, dan tidak terkoneksi satu sama lain. Evaluasi terhadap kinerja penelitian lebih bersifat administratif daripada keunggulan akademiknya. Tuntutan publikasi hasil riset di jurnal bereputasi bukan tanpa masalah, termasuk potensi kecurangan ”efek kobra” (mengutip tulisan sendiri).
Keenam, konsekuensi otonomi akademik—khususnya bagi PTN-BH (perguruan tinggi negeri badan hukum)—adalah tata kelola universitas yang transparan dan akuntabel. Namun, regulasi keuangan negara menyamakan universitas dengan kantor jawatan pemerintah. Pengadaan dan pemeliharaan peralatan laboratorium, perpustakaan, bahkan penyelenggaraan konferensi ilmiah dan disamakan dengan pengadaan barang. Akibatnya, transparan dan akuntabel disamakan sekadar ”ada kuitansinya”.
Berbagai problem di atas dapat menjelaskan pengembangan keilmuan yang berjalan lamban. Kita ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain dalam memandirikan perguruan tinggi. Meskipun Indonesia memiliki banyak orang pintar, prestasi ilmuwannya termasuk rendah di dunia.
Jangan sampai fenomena brain drain, larinya orang Indonesia pintar ke luar negeri terus berlanjut; karena tidak tersedianya sistem dukungan laboratorium, fasilitas, aksesibilitas, dan insentif yang memadai. Sementara masa depan negeri kita amat membutuhkan para ilmuwan muda untuk membangun center of excellence. Selamat bekerja para menteri baru terkait pendidikan tinggi.
Sulistyowati Irianto Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, 23 November 2019