Pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah bagi remaja masih kurang. Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi diperlukan karena remaja memiliki banyak dorongan, termasuk aktivitas seksual yang, jika tidak dipahami dengan baik, akan berdampak buruk bagi mereka.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Jawa Tengah Elisabeth SA Widyastuti mengatakan, data menunjukkan tingkat pengetahuan remaja mengenai risiko kehamilan, penyakit menular seksual, dan HIV/AIDS ketika berhubungan seksual masih rendah. ”Di sisi lain, kelompok remaja usia 15-24 tahun adalah kelompok usia terbesar yang mengidap HIV/AIDS,” ujar Elisabeth dalam seminar tentang kesehatan reproduksi (kespro) remaja di Kota Semarang, Rabu (21/1).
Pendidikan kesehatan reproduksi masih belum maksimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, guru merasa tidak cukup memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan kurang percaya diri menyampaikan materi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
[media-credit id=1 align=”alignleft” width=”286″][/media-credit]
Irwan M Hidayana, dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI, menyebutkan, sebanyak 62 persen guru pada 2014 pernah mendapat pelatihan kesehatan reproduksi dan 38 persen guru belum pernah menerima. Dari jumlah itu, hanya 56 persen yang memberikan materi itu kepada muridnya dalam bentuk mata pelajaran khusus, digabungkan dengan mata pelajaran yang ada, ataupun di luar mata pelajaran.
Perbaiki metode
Cara penyampaian materi paling umum adalah ceramah dan diskusi, yang dinilai murid membosankan. Namun, semua pihak sepakat untuk terus melanjutkan materi kesehatan reproduksi.
Murid-murid pun berharap guru memperbaiki metode yang digunakan dengan pemutaran film, diskusi, dan gim. Murid yang menjadi responden penelitian juga berharap dilibatkan dalam pelatihan atau kepanitiaan serta guru meningkatkan komunikasi dan cepat tanggap terhadap kebutuhan siswa.
Purwanti Susantini dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, menyatakan, pemerintah wajib menjamin anak atau remaja mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi. Selama ini, fungsi itu dijalankan 37 puskesmas yang ada di Semarang karena puskesmas harus menjalankan fungsi preventif dan promotif.
Dia mengatakan, kunjungan remaja ke puskesmas rata-rata 67,4 persen. Padahal, target pemerintah adalah 80 persen. Kendala terbesar adalah minimnya fasilitas untuk konseling. Ruang konseling di puskesmas kebanyakan terbuka sehingga tidak nyaman bagi remaja. (UTI)
Sumber: Kompas, 22 Januari 2015