Anggaran Pengendalian Penyakit Degeneratif Minim
Seiring bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia, jumlah penderita penyakit degeneratif dipastikan terus meningkat. Beban biaya terapi pun akan melonjak. Namun, dukungan pemerintah untuk pencegahan dan pendanaan pengobatannya masih setengah hati.
Kemunculan penyakit degeneratif, seperti jantung, stroke, diabetes, atau sebagian kanker, tak bisa dihindari. Penyakit akibat penuaan sel-sel organ atau sistem tubuh itu akan menjangkiti semua orang.
“Hal yang bisa dilakukan hanya menunda agar tak terjadi pada kelompok usia produktif,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, Selasa (14/4), di Jakarta.
Saat ini penyakit degeneratif banyak diderita penduduk usia muda yang menjadi tumpuan pembangunan. Peningkatan kesejahteraan mengubah pola makan masyarakat. Selain tingkat konsumsi makanan berserat rendah, aktivitas fisik pun minim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah penderita penyakit degeneratif dipastikan terus bertambah seiring kian banyak penduduk lanjut usia. Pada 2010, Indonesia baru memiliki 18 juta orang lansia atau 7,5 persen dari total populasi. Namun, pada 2030, jumlahnya diperkirakan 41 juta jiwa atau 13,5 persen dari jumlah total penduduk.
Penyakit katastropik
Mayoritas penyakit degeneratif termasuk kelompok penyakit katastropik, yakni butuh biaya pengobatan besar. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek seusai berdialog dengan tenaga kesehatan se-Kalimantan Barat di Kabupaten Kapuas Hulu, kemarin, menyatakan, pihaknya telah mendapat data penyakit dan besaran biaya kesehatan yang ditimbulkan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Sejauh ini, penyakit degeneratif seperti jantung dan stroke menghabiskan biaya kesehatan besar. Jika itu dibiarkan, rasio klaim biaya pengobatan JKN makin jauh melebihi 90 persen.
Untuk tujuh penyakit katastropik, termasuk diabetes, stroke, jantung, ginjal, dan kanker, BPJS Kesehatan pada Januari-Juni 2014 mengeluarkan dana untuk biaya rawat jalan Rp 3,45 triliun dan rawat inap Rp 12,66 triliun.
Padahal, menurut Hasbullah, jumlah kasus penyakit katastropik hanya 8,1 persen dari total kasus rawat jalan dan 28,2 persen dari semua kasus rawat inap. Angka tersebut hanya untuk terapi di rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan rujukan, tak termasuk perawatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Meski jumlah penderita bertambah dan beban pembiayaan amat besar, upaya pemerintah untuk mencegah dan mengatasinya dinilai amat kurang. Keterbatasan anggaran kesehatan menjadi masalah klasik.
Anggaran Kementerian Kesehatan baru 2-3 persen dari APBN meski UU No 36/2009 tentang Kesehatan mengamanatkan 5 persen dari APBN, di luar gaji tenaga kesehatan. Padahal, anggaran tersebut bisa untuk meningkatkan promosi dan pencegahan penyakit degeneratif.
Sementara itu, usulan penaikan iuran JKN bagi penerima bantuan iuran dari Rp 19.225 menjadi Rp 40.000-Rp 50.000 per orang per bulan jadi perdebatan alot pemerintah. Padahal, dengan tingkat penggunaan JKN tahun lalu 14-15 persen bagi rawat jalan dan 0,5 persen untuk rawat inap, rasio klaim BPJS Kesehatan 103 persen. Jika iuran tak ditambah, BPJS Kesehatan terus merugi dan JKN tak akan berjalan optimal. “Anggaran promotif, preventif, dan kuratif rehabilitatif, semuanya kurang,” ujarnya.
Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menyatakan, pembiayaan pengobatan penyakit kronis atau katastropik ditanggung BPJS Kesehatan. Angka kesakitan terbanyak pada kelompok peserta berusia 50 tahun ke atas. Beberapa penyakit yang terus butuh pengobatan, antara lain diabetes melitus, hipertensi, gagal ginjal, dan kanker. “Tak hanya butuh biaya besar, tetapi juga sepanjang usia harus berobat,” ujarnya.
Untuk itu, BPJS Kesehatan beserta sejumlah pihak menjalankan program promosi dan pencegahan, seperti kampanye pola hidup sehat. Program itu tak hanya menyasar orang yang belum sakit, tetapi mereka yang sakit agar tak mengalami komplikasi yang memperbesar biaya terapi.
Selain itu, masyarakat didorong punya jaminan kesehatan. Itu untuk mengantisipasi kebutuhan saat sakit, dan bentuk gotong royong menolong penderita penyakit kronis dan katastropik.
Menurut Nila, dokter di fasilitas layanan primer akan diperkuat untuk mengendalikan faktor risiko pada pasien agar tak makin parah.(MZW/JOG/ADH)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2015, di halaman 13 dengan judul “Penderita Bertambah, Beban Pembiayaan Berat”.