Dosen dan peneliti diharapkan mengajukan proposal penelitian sebanyak mungkin ke lembaga pendanaan riset di dalam dan luar negeri. Pendanaan riset dari luar negeri diyakini mampu meningkatkan kualitas hasil riset karena memenuhi standar internasional.
“Peneliti dari Indonesia harus aktif memasukkan proposal karena akses publikasi internasional lebih mudah apabila menggunakan dana riset luar negeri,” kata Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) Teguh Rahardjo di sela seminar Hari Riset Eropa 2019, Selasa (29/10/2019) di Surabaya, Jawa Timur.
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia Teguh Rahardjo memberikan paparan di sela seminar Hari Riset Eropa 2019, Selasa (29/10/2019) di Surabaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Teguh menuturkan, dana riset dari dalam dan luar negeri yang dikelola cukup melimpah. Dana tersebut harus dimanfaatkan sebanyak mungkin oleh dosen dan peneliti dari Indonesia untuk menjalankan risetnya sehingga tidak ada lagi alasan kurangnya riset karena pendanaan terbatas.
Menurut dia, riset yang didanai DIPI yang berasal dari dalam dan luar negeri, mampu meningkatkan kualitas riset para peneliti. Selain memiliki akses yang lebih mudah untuk masuk dalam jurnal internasional, hasil riset diyakini lebih baik karena mengacu standar internasional.
“Jaringan antar periset pun lebih kuat karena bisa berkomunikasi antar periset dari dalam dan luar negeri,” katanya.
Penelitian yang dibiayai DIPI berada di sembilan negara Asia Tenggara dan 10 negara Eropa. Adapun tema penelitian yang saat ini diminati lembaga donor, antara lain terkait kota cerdas, nanoteknologi, dan pengelolaan air.
Wakil Ketua Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts, mengatakan, pendanaan penelitian dari Uni Eropa sangat terbuka untuk peneliti Indonesia. Ada beberapa program yang ditawarkan, antara lain The German Academic Exchange Service (DAAD), Erasmus plus, Horizon 2020, serta sejumlah skema pendanaan bilateral lainnya.
“Kesempatan pendanaan riset dari Uni Eropa sejalan dengan program Pak Joko Widodo (Presiden) yang ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” katanya.
KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO (WHO)–Hasil riset mengenai teknologi ozon yang dikembangkan oleh Muhammad Nur, dosen Fakultas Sain dan Matematika, Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, sejak 2009 ternyata bisa bermanfaat untuk mengawetkan sayuran, termasuk cabai.
Direktur Nuffic-Neso Indonesia Peter Van Tuijl mengatakan, Pemerintah Belanda menawarkan program riset dan pendidikan magister serta doktoral bagi dosen dan peneliti di Indonesia. Menurut dia, kualitas kampus di Belanda sudah sangat baik dan menjadi rujukan dari kampus-kampus di dunia.
“Sebanyak 13 dari 14 universitas riset di Belanda sudah bisa dibiayai oleh negara. Universitas tersebut juga sudah masuk dalam 200 besar dunia sehingga kualitasnya tidak perlu diragukan lagi,” katanya.–IQBAL BASYARI
Editor SIWI YUNITA
Sumber: Kompas, 29 Oktober 2019