Walau sudah diketahui bahwa bilangan nol dengan sistem nilai tempat yang biasa digunakan hari ini bersumber dari India, tetapi nol tertua yang ditemukan di India sampai saat ini berasal dari abad ke-9, yakni di Candi Chaturbhuja di Gwalior. Yang ada di Candi Parshwanatha, Khajuraho, malah berasal dari abad ke-10.
Karena dari abad ke-9 dan 10, nol tadi tidak dapat digunakan untuk memastikan bahwa nol dari India, mengingat saat itu pedagang Arab sudah memasuki India. Baca Aczel (2016) dan Coedes (1931) untuk argumen lebih rinci. Karena itu, pencarian nol dengan sistem nilai tempat berbasis-10 di India yang lebih tua selalu menjadi perhatian pakar sejarah sains.
Prasasti “Nol”
Yang mungkin belum cukup diberitakan, nol tertua di dunia dengan sistem nilai tempat berbasis-10 terpahat pada Prasasti Kedukan Bukit dan ini dua abad lebih tua dari yang di Gwalior. Prasasti peninggalan era Sriwijaya ini ditemukan di dekat Palembang dan sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta, dengan tanda pengenal D 146. Nol tua lain dari abad ke-7 berasal dari situs arkeologi Trapang Prei, Kamboja. Hari ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Kamboja, dengan tanda pengenal K-127.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua prasasti D 146 dan K-127 itu dulu diterjemahkan sekitar tahun 1930-an oleh sejarawan dan arkeolog ternama Perancis, George Coedes. Dari pahatan pada prasasti itu, dia mengungkap tahun Saka 604 untuk asal Prasasti Kedukan Bukit dan tahun Saka 605 untuk asal prasasti dari Trapang Prei tersebut.
Namun, pada 2008 dan 2009, Dominique Soutif meralat pernyataan Coedes. Dalam disertasi dan makalahnya “DÉnombrer les biens du dieu: Étude de la numÉration du vieux khmer? (VIe-XIIe siÈcles ?aka)” yang diterbitkan di Journal of Cambodia Research tahun 2008 dan juga melalui komunikasi dengan penulis, Soutif menegaskan telah terjadi kesalahan (konsisten) pembacaan angka terakhir dalam penulisan tahun oleh Coedes. Menurut dia, Coedes juga sebenarnya sudah ragu saat itu.
Soutif menjelaskan, Prasasti Kedukan Bukit dari Sumatera (Sriwijaya) dengan Trapang Prei dari Kamboja (Pre-Ankor) bertahun Saka yang sama, 604. Ini dalam penanggalan Gregorian 682/683 M. Ini berarti, nol di kedua prasasti sama tuanya. Kecuali Prasasti Kedukan Bukit, Museum Nasional Indonesia juga memuat prasasti lain yang memuat nol, yakni Prasasti Talang Tuwo (606 Saka) dan Kota Kapur (608 Saka).
Kumpulan prasasti abad 7 di atas bernilai tinggi bagi sejarah matematika dunia dan juga bagi kebudayaan Indonesia. Karena dari abad ke-7, kumpulan prasasti “Nol” ini membenarkan bahwa nol dari India. Khususnya, pada dua prasasti D 146 dan K-127 tersebut terpahat nol awal dengan sistem nilai tempat berbasis 10 tertua di dunia. Paling tidak, nol tersebut “dipercaya tertua” sampai September 2017 lalu.
Naskah Bakhshali
Pada 14 September 2017, harian dan media elektronik The Guardian menurunkan liputan berjudul “Much ado about nothing: ancient Indian text contains earliest zero symbol” yang memberitakan usia sebuah naskah kuno. Naskah ini ditemukan tahun 1881 di Desa Bakhshali, yang saat itu bagian dari India dan dikuasai Inggris. Sekarang Bakhshali termasuk Pakistan.
Naskah yang dikenal sebagai Naskah Bakhshali dan sudah sangat rapuh ini kini disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford. Naskah ini berupa catatan matematika kuno yang ditulis pada 70 lembar kulit pohon dan berisi petunjuk cara melakukan berbagai perhitungan matematika serta penerapannya di kehidupan sehari-hari. Seperti buku teks matematika yang digunakan murid sekolah hari ini, naskah kuno yang mungkin diperuntukkan bagi pelajar/pedagang Buddha masa itu juga disertai contoh perhitungan.
Di naskah ini digunakan bilangan nol dengan sistem nilai tempat berbasis 10. Ini membuat Naskah Bakhshali menjadi perhatian dunia. Namun, masalahnya, tak seperti prasasti “Nol” di Asia Tenggara sebelumnya yang jelas menyebutkan tahunnya, naskah ini tak diketahui pasti waktu penulisannya.
Sekitar 1990-an melalui kajian terhadap gaya bahasa yang digunakan serta matematikanya, pakar yang mendalami Naskah Bakhshali, Dr Hayashi Takao, memperkirakan naskah kuno ini dari abad ke-8 sampai ke-12. Karena itu, liputan eksklusif The Guardian yang memberitakan hasil pengukuran usia radiasi karbon dari Naskah Bakhshali ini sangat dinantikan. Dilaporkan, tim peneliti mengambil cuplikan dari lima lembar kulit kayu berbeda di naskah tersebut, kemudian mengukur usia tiga cuplikan melalui analisis C-14.
Tulisan paling lengkap tentang hasil penelitian ini baru ada di laporan pracetak “Carbon dating reveals Bakhshali manuscript is centuries older than scholars believed and is formed of multiple leaves nearly 500 years different in age” yang ditulis David Howell (Kepala Heritage Science, di Perpustakaan Bodleian) 3 Juli 2017.
Dilaporkan, tim peneliti mendapati bahwa tiga lembar kulit kayu yang diuji itu berasal dari beberapa abad yang berjauhan. Di situ dilaporkan, cuplikan pertama (Folio 16) dari 224-383 M, cuplikan kedua (Folio 17) dari 680-779 M, dan yang ketiga (Folio 33) dari 885-993 M.
Tim peneliti kemudian membuat beberapa pernyataan. Pertama, naskah pada keadaan sekarang ini terdiri dari paling sedikit tiga naskah berbeda dengan waktu penulisan yang berbeda. Kedua, disebutkan ada bagian dari naskah yang berusia “sekitar 500 tahun lebih tua daripada yang sebelumnya dipercaya para ahli. Hasil pengukuran usia radiasi karbon membuat nol di naskah ini sebagai asal dari lambang nol yang kita gunakan hari ini.”
Ketiga, tim peneliti juga mempertanyakan kajian Takao tahun 1995 yang dikatakan berdasar asumsi bahwa “semua bagian naskah dituliskan pada masa yang sama-pernyataan yang kini digugurkan oleh hasil pengujian usia karbon terakhir ini.”
Perdebatan lanjutan
Tiga pernyataan di atas memiliki celah karena yang diukur ialah usia kulit kayunya, bukan tulisannya. Jika kulit kayu berasal dari abad ke-3, bukan berarti tulisannya dari abad ke-3 juga. Biasa di era itu, tulisan dihapus dan ditimpa dengan tulisan baru di atasnya. Jadi, pernyataan pertama belum tentu benar. Bisa jadi kulit kayunya dari tiga waktu berbeda, tetapi penulisannya dari waktu yang sama.
Adapun pernyataan kedua menunjukkan bahwa tim peneliti itu menggunakan usia kulit kayu tertua untuk menyatakan usia naskah. Padahal, justru seharusnya secara nalar, penentuan usia naskah ditentukan dari tulisan terakhir, yakni abad ke-9-10, bukan abad ke-3. Pernyataan ketiga juga memiliki celah. Hasil pengukuran usia radiasi karbon ini hanya menunjukkan usia bahan kulit kayu yang ditulisi dari waktu yang berbeda-beda. Ini belum dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa naskah ditulis pada waktu berbeda-beda.
Kemudian, setelah liputan The Guardian itu tersebar, sejumlah ahli sejarah sains, Kim Plofker dkk termasuk Takao, menanggapi dengan tulisan “The Bakhshali Manuscript: A Response to the Bodleian Library’s Radiocarbon Dating” yang dipublikasikan lewat jurnal History of Science in South Asia, 5.1 (2017): 134-150.
Di situ, mereka menelaah penelitian dan menyesalkan kebijakan Perpustakaan Bodleian yang telah merahasiakan hasil pengukuran usia radiasi karbon untuk beberapa bulan, dan malah memilih siaran pers ke koran dan Youtube guna mengomunikasikan suatu urusan yang sifatnya teknis dan bersejarah. Mereka berkata, Perpustakaan Bodleian telah menerabas standar kanal akademik yang seharusnya memungkinkan diskusi serius pakar sejawat sebelum penyebaran ke masyarakat.
Upaya pengukuran canggih usia karbon Naskah Bakhshali ternyata tetap menyisakan banyak keraguan tentang jejak nol tertua. Khususnya, pernyataan bahwa nol di Naskah Bakhshali dari abad ke-3 belum meyakinkan. Karena itu, prasasti D 146 di Museum Nasional Indonesia dan prasasti K-127 di Museum Nasional Kamboja masih merupakan awal nol dengan nilai tempat berbasis-10 tertua.
Berdasar pentingnya prasasti-prasasti “Nol” di Museum Nasional Indonesia sebagai tonggak matematika dunia sekaligus tonggak sejarah sains Indonesia, koleksi tersebut perlu dilengkapi dengan narasi bilangan nol. Ini akan membangkitkan suasana ilmiah segar di permuseuman serta ilmu kemanusiaan. Pelajar Indonesia hari ini dapat melihat langsung sekaligus menghargai nol kuno tersebut yang merupakan salah satu tonggak penting peradaban manusia.
IWAN PRANOTO, Guru Besar Matematika ITB; Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
Sumber: Kompas, 28 November 2017