Penggunaan teknologi informasi untuk membantu menjalankan sistem pemerintahan secara lebih efisien (e-governance) harus ditopang pemimpin dan kepemimpinan yang transformatif, bukan kepemimpinan yang transaksional. Pemimpin transformatif sangat menekankan pelayanan dan melindungi, bukan mengutamakan kekuasaan untuk memerintah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Transformasi dan Reformasi Menuju E-Governance” di Pendopo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (5/12).
Diskusi kerja sama harian Kompas, Pemerintah Kabupaten Boyolali, dan Korpri Kabupaten Boyolali ini menghadirkan pembicara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Bupati Boyolali Seno Samodro, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Rikard Bagun, dan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit. Diskusi dipandu Pemimpin Redaksi Majalah Gatra Heddy Lugito.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rikard mengatakan, kepemimpinan yang transformatif akan melakukan manajemen perubahan, bukan manajemen proyek. Dalam hal ini, perubahan yang dilakukan tidak sekadar dari sistem manual ke digital, tetapi terutama mengubah sikap, perilaku, dan pandangan tentang kekuasaan. ”Konsekuensinya, pejabat dan birokrat tidak lagi menjadi penguasa, tetapi pelayan,” katanya.
Birokrasi pemerintah, menurut Sukardi, dituntut memberikan respons cepat terhadap aneka persoalan publik. Ini karena setiap orang dapat memiliki akses. Warga bisa menyampaikan keluhan, kritik, dan protes melalui sistem elektronik, seperti surat elektronik ataupun sarana lain. Hal itu akan menguatkan hubungan pemerintah dengan rakyat menjadi lebih baik. ”Berdasarkan respons publik, pemerintah bisa secara cepat mengambil keputusan,” ujarnya.
Makna e-governance, kata Sukardi, ada empat. Pertama, masyarakat bisa menuntut atau meminta pelayanan secara langsung kepada pengambil keputusan. Kedua, pemerintah bisa secara cepat merespons dan mengambil keputusan. Ketiga, mendekatkan masyarakat dengan pejabat publik. Keempat, mendekatkan hubungan antarpejabat pemerintah dalam konsep yang lebih luas untuk pelayanan masyarakat.
Bagi Ganjar, e-governance merupakan keharusan karena dapat mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan menjamin transparansi. Sebagai pemanasan penerapan e-governance di Jawa Tengah, setiap satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) Provinsi Jawa Tengah diminta memanfaatkan akun Twitter yang sederhana dan gratis. Koordinasi dengan bupati di Jawa Tengah juga dilakukan dengan konferensi jarak jauh.
Melalui media digital, kata Ganjar, informasi terkini atas beragam persoalan yang dihadapi masyarakat di beberapa daerah mengalir cepat dan diterimanya. Ia mencontohkan, dari media digital, cepat diketahui ada kelangkaan elpiji 3 kilogram. Selain itu, juga dapat diketahui ada persoalan seragam sekolah hingga tahu ada warga di Pati menderita kanker yang membutuhkan pertolongan segera. Dengan demikian, respons cepat pemerintah dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan publik. ”Respons cepat menjadi persoalan di masyarakat,” katanya.
Seno mengatakan, Pemerintah Kabupaten Boyolali juga telah menerapkan tata kelola pemerintahan secara elektronik. Langkah ini di antaranya menerapkan sistem lelang elektronik dan akan menggelar pilkada elektronik. Sistem lelang elektronik dilakukan untuk menghindari pertemuan langsung antara panitia dan peserta lelang. Pembayaran proyek juga dilakukan dengan sistem transfer dan tidak boleh tunai. ”Lelang elektronik mulai diterapkan tiga tahun lalu,” katanya. (rwn/ika)
Sumber: Kompas, 6 Desember 2014