Subsidensi atau amblesan tanah adalah salah satu masalah di Indonesia yang sedang didorong untuk ditindaklanjuti, salah satunya melalui kerja-kerja kebijakan. Hal ini sangat penting karena kenyataannya subsidensi bisa disebut the silent killer.
Prosesnya relatif sangat lambat, bahkan kadang tidak disadari, tetapi dampak kerugiannya nyata. Hal ini jamak terjadi di perkotaan wilayah pesisir dengan intensitas pengambilan air tanah tinggi, seperti di pantai utara Jawa.
Subsidensi juga terjadi di wilayah gambut dengan intervensi drainase yang mengeringkan air permukaan, seperti di pesisir bagian timur Sumatera, barat-selatan Kalimantan, dan barat Papua. Makin parah dampaknya dengan kenyataan bahwa tinggi permukaan air laut semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diikuti abrasi
Di beberapa daerah, subsidensi dibarengi dengan bencana abrasi. Sebutlah di daerah Pulau Rangsang, salah satu pulau terluar di Kepulauan Riau, yang tutupan lahannya didominasi gambut. Subsidensi diperparah oleh abrasi pantai yang mencapai 30 meter per tahun. Di pantai utara Semarang-Demak, subsidensi mencapai 16 sentimeter per tahun dan abrasi telah mencapai hampir 1 kilometer.
Cukup banyak data dan fakta ilmiah menguatkan pembuktian subsidensi. Beberapa pihak bahkan menyebut masalah ini bisa berimbas pada masalah batas wilayah negara.
Kerja-kerja kebijakan sangat penting dan strategis karena hingga saat ini masalah subsidensi belum menjadi arus utama dalam berbagai level kelembagaan di Indonesia. Hal itu hanya menjadi perhatian di beberapa sektor dan wilayah.
Misalnya, di Pekalongan. Wilayah ini memiliki laju amblesan 20 sentimeter per tahun. Diperkirakan dalam 30-40 tahun lagi wilayahnya dapat tenggelam terendam air laut jika tidak ada antisipasi. Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah daerah setempat tidak menyadari bahwa langkah yang mereka ambil merupakan langkah ”bunuh diri”. Mungkin tidak hanya pemerintah, bahkan kita turut andil, termasuk saya.
Secara kelembagaan, Pemerintah Daerah Pekalongan mengambil air tanah (sekitar 400 titik sumur bor) lalu didistribusikan kepada masyarakat menggunakan sistem kluster, baik untuk kebutuhan air baku maupun industri. Sebagian besar air untuk industri konfeksi batik. Batik Pekalongan yang kita pakai, batik yang sering kita banggakan, ternyata telah mendorong langkah ”bunuh diri”.
Dengan mengambil air tanah begitu banyak, permukaan tanah turun sangat signifikan. Tak terkecuali juga terjadi di DKI Jakarta dan kota besar lainnya. Nilai kerugiannya hingga triliunan rupiah.
Ambles signifikan
Di kawasan pesisir timur Sumatera, yang sebagian besar merupakan ekosistem gambut yang sudah terkonversi, teridentifikasi mengalami amblesan hingga 1 meter dalam waktu 10 tahun setelah didrainase. Gambut idealnya harus tetap basah atau terendam air. Karena berbagai kepentingan, gambut dikeringkan. Airnya dikuras melalui kanal-kanal.
Setelah kering, dalam waktu tertentu gambut akan terkompaksi/memadat, bahkan bisa sulit kembali ke kondisi semula karena mengalami kering tak balik. Subsidensi ini diperparah dengan bencana kebakaran.
Bisa jadi kita turut andil memperparah proses itu, karena mungkin kita masih menggunakan sumber daya secara berlebihan. Berbagai sumber daya yang telah menyatu dalam keseharian kita.
Masalah ini memang sangat kompleks sehingga diperlukan langkah adaptasi dan mitigasi yang sistematis serta melibatkan banyak pihak. Saat ini Kementerian Koordinator Kemaritiman mulai menggagas pembentukan kelompok kerja di tingkat nasional. Termasuk menyusun peta jalan mitigasi dan adaptasi subsidensi tanah. Serangkaian kegiatan telah dilaksanakan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait.
Upaya adaptasi dan mitigasi subsidensi ini harus didukung oleh kerangka kebijakan dan kelembagaan. Secara kelembagaan, Indonesia masih belum memiliki pusat studi dan pemantauan subsidensi yang memadai. Termasuk informasi sebaran risiko bencana ini serta belum sepenuhnya terintegrasi pada rencana tata ruang.
Begitu juga dalam hal sumber daya manusia, terutama dalam pengendalian dan pengawasan, baik penggunaan air tanah maupun pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan.
Kerja-kerja kebijakan ini idealnya tidak hanya berhenti pada tataran teks, tetapi lebih jauh lagi, yaitu dapat diadopsi para pelaku dan diterapkan dengan sebaik-baiknya. Hasil kajian kebijakan memang penting sebagai basis bukti (evidence-base). Hasil kajian kebijakan harus dapat diupayakan melalui proses-proses komunikasi dan advokasi sehingga dapat dipahami oleh para pemangku kepentingan, diterima/disepakati secara legal formal, dan selanjutnya diterapkan pada tingkat tapak.
Ragil Satriyo Gumilang Staf Kebijakan Wetlands International Indonesia
Sumber: Kompas, 22 Februari 2019