Pembelajaran pada masa depan tidak lagi diwujudkan dalam bentuk pembekalan pengetahuan semata, tetapi dalam bentuk peningkatan kebisaan (ability) untuk belajar sepanjang hayat untuk mampu berkarya dan bertahan.
Bulan Januari 2020, Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) menerbitkan buku putih (white paper) dengan judul: Schools for the Future, yang menampilkan delapan karakter pembelajaran yang dikategorikan sebagai pembelajaran kualitas tinggi dalam rangka menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Kedelapan karakter dimaksud adalah global citizenship skills (keterampilan yang harus dimiliki sebagai warga masyarakat global), innovation and creativity skills (keterampilan berinovasi dan berkreativitas), technology skills (penguasaan teknologi), interpersonal skills (kemampuan membangun hubungan dengan orang lain), personalized & self-pacing learning (pembelajaran mandiri), accessible & inclusive learning (pembelajaran yang terjangkau dan inklusif), problem-based and collaborative learning (pembelajaran berbasis masalah dan kolaborasi), lifelong and student-driven learning (pembelajaran sepanjang hayat dan digerakkan oleh siswa).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Murid sekolah pada saat ini nantinya mendapat pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya, karena itu mereka perlu delapan karakter di atas yang sebenarnya terdiri dari keterampilan digital (digital skills) dan keterampilan sosio-emosional (socio-emotional skills). Pembelajaran saat ini didominasi oleh pembelajaran pasif yang mengandalkan kepada instruksi dan hafalan, sedangkan ke depan diperlukan pembelajaran yang interaktif yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
Pada saat buku putih tersebut di atas disusun, kondisi dunia masih normal dan dapat diprediksi sehingga arah dari konsep pembelajaran tersebut disinkronkan dengan konsep industri 4.0, ekonomi yang digerakkan oleh inovasi. Tidak lama setelah buku putih tersebut terbit terjadi pandemi Covid-19 yang meluluh-lantakkan tatanan berkehidupan secara umum, khususnya di bidang pendidikan di mana sekolah dan perguruan tinggi ditutup, murid dan mahasiswa belajar dari rumah.
Ketidaksiapan lembaga pendidikan, guru, dosen, murid, dan orangtua melaksanakan pembelajaran jarak jauh, baik secara daring maupun konvensional, mengakibatkan terhambatnya proses pembelajaran secara keseluruhan. Pemerintah dan semua pihak terkait bekerja keras untuk meminimalkan hambatan pembelajaran bagi murid sekolah di seluruh Indonesia, dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan serta kapasitas tiap wilayah yang sangat beragam.
Pandemi Covid-19 masih terus berlangsung dan hampir dapat dipastikan bahwa sekolah belum dapat dibuka sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 merupakan faktor tambahan dalam menyusun konsep pembelajaran masa depan, di mana arah konsep pembelajaran tidak hanya sinkron dengan konsep industri 4.0, tetapi harus mampu menghadapi ketidakpastian.
Perubahan paradigma
Perlu ada perubahan paradigma pembelajaran di mana selama ini pembelajaran hanya sebatas membekali pengetahuan kepada peserta didik, artinya pengetahuan yang dimiliki oleh guru dan dosen tersebut yang kemudian diberikan kepada peserta didik.
Apakah bekal pengetahuan tersebut akan bermanfaat bagi peserta didik di kemudian hari saat mereka berkarya? Pada saat ini terjadi kesenjangan antara pengetahuan yang dimiliki oleh pengajar dan pengetahuan yang diinginkan oleh peserta didik.
Para pengajar memiliki pengetahuan dari hasil pendidikan yang ditempuhnya selama ini, berarti pengetahuan mereka adalah masa kini dan masa lalu. Peserta didik menginginkan pengetahuan yang akan bermanfaat pada masa depan sehingga mereka dapat berkarya dan tahan terhadap ketidakpastian.
Kita semua tidak mengetahui pengetahuan apa yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan 10–15 tahun ke depan, apalagi dengan terjadinya pandemi Covid-19 pada mana masa depan semakin tidak pasti.
Apakah para pengajar mampu membekali peserta didik dengan pengetahuan masa depan yang belum diketahui? Harus ada perubahan paradigma pembelajaran agar supaya para pengajar tetap dapat berperan dan peserta didik memperoleh bekal untuk menghadapi masa depan.
Pembelajaran tidak lagi diwujudkan dalam bentuk pembekalan pengetahuan semata, tetapi dalam bentuk peningkatan kebisaan (ability) untuk belajar sepanjang hayat sehingga mampu berkarya dan bertahan menghadapi masa depan.
Para pengajar mempunyai peran untuk membelajarkan peserta didik untuk mampu belajar sepanjang hayat secara mandiri sehingga mampu bernalar dan berpikir kritis untuk mencari solusi serta membuat keputusan.
Dengan pembelajaran sepanjang hayat, tidak ada lagi kendala infrastruktur dan fasilitas pendidikan, tidak ada lagi kendala kualitas pengajar dan peserta didik, tidak ada lagi disparitas akses dan layanan pendidikan antardaerah, tidak ada lagi penyeragaman sistem pendidikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran sifatnya individual bukan massal.
Pembelajaran disesuaikan dengan kondisi dan kapasitas setempat. Ukuran keberhasilan tidak melalui ujian, tetapi melalui asesmen capaian belajar. Ukuran kualitas tidak dibandingkan dengan standar tertentu, tetapi sesuai nilai tambahnya.
Metode pembelajaran sangat fleksibel disesuaikan dengan kondisi setempat dan disepakati antara pengajar dan peserta didik. Ketergantungan pada teknologi dapat diminimalkan sehingga disparitas akses dan kualitas pendidikan antara wilayah maju dengan wilayah tertinggal menjadi minimal.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Dirjen Dikti (1999-2007), Guru Besar Emeritus ITB, Ketua AIPI
Sumber: Kompas, 29 Juni 2020