Pelepasan gas karbondioksida yang terus menerus ke atmosfer Bumi bisa memusnahkan keberadaan awan stratokumulus. Hilangnya awan yang berbentuk gulungan dengan warna putih ke abu-abuan itu bisa meningkatkan suhu Bumi makin tajam dan radikal yang sulit dipredeksi dengan model iklim saat ini.
Pemodelan yang dilakukan peneliti dari Institut Teknologi California, Pasadena, Amerika Serikat Tapio Schneider yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience, Maret 2019, dan rekan ini menunjukkan, saat jumlah karbondioksida mencapai 1.200 bagian per sejuta (bps) atau part per million (ppm) maka awan stratokumulus menjadi tidak stabil hingga mudah terpecah-pecah menjadi bagian awan yang lebih kecil.
METOFFICE.GOV.UK–Awan stratokumulus, putih bergulung-gulung dan termasuk kategori awan dengan ketinggian rendah, antara 360 meter – 2.000 meter di atas permukaan laut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jumlah itu berarti, dalam setiap satu jua partikel di udara, ada 1.200 partikel karbondioksida. Meski demikian, jumlah konsentrasi karbondioksida 1.200 bps itu adalah konsentrasi yang sangat tinggi. Saat ini, konsentrasi karbondioksida sudah mencapai 410 bps. Namun, jumlah itu sudah meningkat hampir dua kali lipat dibanding di era sebelum revolusi industri pada akhir abad ke-18 sebesar 280 bps.
“Ketidakstabilan itu akan memicu peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi sebesar 8 derajat kelvin secara global dan 10 derajat kelvin di wilayah subtropik,” tulis Schneider. Kondisi itu membuat lonjakan suhu Bumi yang tiba-tiba saat ini diduga juga akibat berkurangnya keberadaan awan jenis ini.
Awan stratokumulus menutupi sekitar 20 persen laut di wilayah lintang rendah hingga wilayah subtropik. Gulungan awan putih yang menutupi daratan ini akan mudah dilihat dari kaca jendela pesawat terbang.
Selain itu, awan stratokumulus berfungsi melindungi permukaan Bumi dari paparan sinar Matahari. Awan akan memantulkan kembali sinar Matahari itu menuju luar angkasa. Karena fungsi itu, jika awan ini pecah, maka akan meningkatkan suhu permukaan Bumi sangat signifikan.
SCOOL.LARC.NASA.GOV/KEVIN LARMAN–Awan stratokumulus
Selama ini, awan menjadi salah satu faktor ketidakpastian yang besar dalam pemodelan iklim. Situasi itu terjadi karena awan adalah benda yang rumit, baik karena ukurannya maupun karena kecepatannya berubah bentuk.
Bahkan, menurut penulis fisika dan editor Quanta Magazine, Natalie Wolchover, seperti dikutip Livescience, Senin (25/2/2019), pemodelan komputer saat ini bisa dengan mudah menangkap kompleksitas dan detail dari sebagian besar sistem iklim di Bumi. Namun nyatanya, pemodelan itu juga tidak mampu memprediksi perubahan perilaku awan di seluruh dunia.
Terus naik
Meski jumlah partikel karbondioksida di atmosfer saat ini baru sepertiga dari konsentrasi yang dimodelkan sebesar 1.200 bps, namun jumlah itu bisa segera tercapai jika pelepasan emisi karbon ke udara tidak dikendalikan.
Jika tren pelepasan karbondioksida sekarang terus bertahan, maka hanya butuh 100 tahun sampai 150 tahun agar konsentrasi karbondioksida di atmosfer mencapai 1.200 bps. “Situasi ini bisa terjadi jika penghuni Bumi tidak menindaklanjuti komitmennya untuk mengurangi emisi karbon,” katanya.
Kenaikan suhu 8 derajat kelvin atau setara 8 derajat celsius secara global itu adalah kenaikan yang sangat tinggi. Kondisi itu akan memicu pencarian es di kutub dan kenaikan permukaan air laut yang jauh lebih besar dari yang diprediksikan selama ini.
“Saat terakhir Bumi menghangat (pemanasan Bumi juga pernah terjadi di masa lalu), buaya berenang di sekitar benua Arktik atau Kutub Utara. Sementara daerah sekitar khatulistiwa hangus dan hampir tidak ada kehidupan di sana,” tambah Wolchover.
Repotnya, saat awan stratokumulus itu hilang, awan itu tidak akan mudah muncul kembali. Stratokumulus baru akan muncul lagi jika kadar karbondioksida mencapai lebih rendah dari konsentrasi saat ini.
Namun yang menarik dari studi ini, manusia belum sepenuhnya bisa disalahkan atas kondisi itu. Perubahan iklim dipicu oleh banyak faktor yang belum semuanya dipahami manusia.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 1 Maret 2019