Pelantikan 148 profesor riset dari 12 instansi pemerintah yang bukan perguruan tinggi, yang baru-baru ini diberitakan berbagai media massa, merupakan suatu penghargaan pemerintah kepada prestasi riset para periset.
Niat pelantikan profesor riset tersebut adalah untuk memberdayakan SDM riset di luar perguruan tinggi bagi kepentingan pendidikan pascasarjana (khususnya program S3).
Pada dasarnya, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai suatu langkah positif dan patut dipuji. Penghargaan pemerintah yang selama ini lebih banyak diberikan kepada prestasi dalam bidang militer, politik, fungsi pemerintahan, sumbangan/jasa pelayanan masyarakat umum dan lingkungan serta prestasi olahraga akhirnya mulai menyentuh pada bidang kegiatan riset, walaupun dalam bentuk sinyal yang masih sangat lemah dan sebatas pengakuan formal kepada individu saja tanpa dukungan substansial untuk kegiatan riset.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kerancuan persepsi
Terlepas dari niat baik tersebut, tanda penghargaan/pengakuan yang dikaitkan dengan gelar profesor itu sungguh merupakan langkah yang kurang tepat dan patut disayangkan. Pertama-tama, bukankah menurut peraturan resmi yang berlaku selama ini guru besar adalah nama jabatan fungsional, dan bukan nama gelar seperti doktor, dokter, SH, dan gelar akademik/profesi lainnya yang melekat pada diri penyandang gelar itu selama dikehendakinya?
Di pihak lain, seorang guru, apakah itu guru, dosen, ataupun guru besar, hanya berhak memangku jabatan yang bersangkutan apabila yang bersangkutan memenuhi kualifikasi dan melaksanakan tugas yang sesuai dengan job description-nya. Begitu pula seorang direktur atau manajer harus melaksanakan tugas dan bertanggung jawab atas kewajiban tertentu yang dirancang untuk jabatan bersangkutan.
Seorang pejabat yang tidak sanggup melaksanakan tugasnya, entah karena sudah memasuki masa purnatugas atau akibat pengalihan komitmennya kepada jabatan lain ataupun karena kelalaian kewajiban, dengan sendirinya tidak patut dipertahankan dalam jabatan yang dipangku sebelumnya itu. Dr Satrio S Brodjonegoro telah memberikan teladan yang baik dengan tidak mencantumkan jabatan guru besarnya pada kartu nama beliau. Pengecualian dalam hal ini adalah guru besar emeritus yang memang merupakan gelar kehormatan.
Peran guru besar
Dalam kaitan ini, ada baiknya ditekankan kembali peran dan tugas kegurubesaran maupun para anggota guru besar (profesor) dalam suatu perguruan tinggi. Reputasi suatu perguruan tinggi ditentukan oleh kontribusinya kepada pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pelayanannya kepada masyarakat. Dengan peningkatan interaksi global, mutu dan besarnya kontribusi tersebut tidak dapat terhindar dari kompetisi internasional.
Mengingat bahwa guru besar adalah jabatan akademik tertinggi dalam suatu institusi akademik, tanggung jawab tertinggi dalam pengembangan kualitas dan keunggulan akademik dan institusi yang bersangkutan sudah selayaknya terletak pada pundak para guru besar. Keunggulan akademik tersebut tidak dapat lain akan diukur dari prestasi yang dicapai, baik dalam proses maupun hasil akademik yang meliputi aspek pendidikan, riset dan sumbangannya kepada masyarakat.
Peningkatan prestasi itu pun akan dituntut terus-menerus sesuai dengan tantangan yang berkembang di lingkungan nasional maupun internasional. Dengan demikian, guru besar bukan sekadar suatu gelar penghargaan belaka, tetapi juga merupakan penghargaan yang dinyatakan sebagai kepercayaan untuk memangku suatu jabatan fungsional dengan kewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang mulia tersebut. Kegurubesaran sebagai suatu lembaga akademik tertinggi harus berfungsi sebagai flagship yang menjaga citra dan menjunjung kehormatan institusi yang bersangkutan.
Kehormatan (respectability) dari kegurubesaran itu sendiri akan bertumpu pada kinerja dan prestasi masing-masing anggota dalam menunaikan kewajiban dan melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, seorang guru besar selayaknya dapat menampilkan profil keunggulan dalam aspek-aspek yang mendukung, pelaksanaan kewajiban dan tugas akademiknya, sesuai dengan misi institusi. Untuk ini, diperlukan persepsi yang jelas dan transparan serta dipegang teguh secara konsisten dan bersama dalam institusi bersangkutan. Tersedianya pedoman tersebut lebih jauh akan berfungsi sebagai panduan (guidance) bagi pembinaan dan peningkatan prestasi para calon dosen yang berniat merintis karier menuju jabatan guru besar.
Kualifikasi guru besar
Pedoman tersebut pada dasarnya harus mencakup tiga aspek pokok sebagai berikut:
1) Aspek kompetensi ilmiah/ akademik yang dinilai atas dasar track record (rekam jejak) terukur mengenai karya iptek yang dihasilkan calon bersangkutan. Pedoman penilaian ini harus bersifat konkret, mengacu kepada standar internasional yang jelas, walaupun dapat pula bersifat adaptif menurut bidang ilmu yang beragam, dan bercorak progresif sesuai dengan perkembangan sarana tersedia serta perkembangan tantangan dan tuntutan zaman. Rekam jejak tersebut meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Publikasi ilmiah dalam jurnal ber-referee yang terhormat pada tingkat nasional dan internasional.
b. Paten iptek atau ekshibisi karya pada tingkat nasional dan internasional dengan gradasi yang jelas.
c. Hasil bimbingan mahasiswa S1, S2, dan S3.
d. Sumbangan kepada pengembangan pendidikan/perkuliahan dalam bentuk buku atau metodologi pengajaran, selain pelaksanaan tugas rutinnya.
Kriteria atau bench marks yang dijabarkan dari pedoman dasar ini akan menjadi bagian dari syarat perlu (necessary condition) bagi pertimbangan/penilaian seorang calon guru besar di samping persyaratan â€administratif†yang ditentukan oleh pemerintah.
2) Aspek pembinaan dan keteladanan dalam upaya institution building dari kelompok riset, laboratorium atau studio riset bersangkutan, yang dicerminkan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban.
b. Komitmen kepada kemajuan dan peningkatan kualitas akademik.
c. Keberhasilan dalam pembinaan SDM maupun teamwork-nya, serta dalam pengembangan sarana dan prasarana (infrastruktur), termasuk jaringan akademik yang bersangkutan.
d. Kepeloporan akademik atau scientific leadership.
e. Intellectual integrity dan komitmen kepada nilai-nilai dasar pendidikan.
3) Aspek manfaat yang berkaitan dengan kebutuhan institusi dalam mewujudkan visi dan melaksanakan misinya. Dalam hubungan ini, pengangkatan seorang guru besar, baik sebagai hasil kaderisasi secara vertikal maupun dalam rangka horizontal recruitment, harus berdasarkan kebutuhan dan komitmen institusi untuk melaksanakan misi atau program tertentu yang patut didukung dengan dana, sarana, dan struktur fungsional yang sesuai.
Ini berarti bahwa pertimbangan bagi pengangkatan seorang guru besar tidak dapat terlepas dari misi dan rencana perkembangan institusi serta sumber dana yang tersedia. Dalam kerangka ini, jabatan guru besar tidak sepantasnya dirangkap dengan jabatan struktural maupun jabatan fungsional lain yang menuntut komitmen penuh. Dalam menghadapi tuntutan rangkap tersebut, perlu dipertimbangkan status cuti atau leave of absence terbatas bagi jabatan guru besar bersangkutan.
Kerancuan persepsi II
Kembali kepada tanggapan atas pemberian gelar profesor riset yang diangkat dalam tulisan ini. Jelas dari uraian di atas bahwa cara menghargai prestasi riset dan kompetensi membimbing mahasiswa peserta program (S3) sudah ada ketentuannya di masing-masing perguruan tinggi, walaupun kriteria mutu yang berlaku masih simpang siur, jauh dari standar internasional. Namun, yang jelas pihak yang berwenang mengusulkan pengisian jabatan guru besar, dan yang berhak mengukuhkan gelar doktor adalah perguruan tinggi yang memenuhi syarat formal dari Depdiknas berdasarkan peraturan yang berlaku.
Jadi, wewenang untuk menentukan kualifikasi pembimbing utama serta pengangkatannya bagi seorang mahasiswa calon doktor sudah sewajarnya terletak pada masing-masing perguruan tinggi yang memiliki program S3 resmi. Ini berarti profesor riset yang ditetapkan dengan surat keputusan formal itu belum tentu dibutuhkan, dilibatkan, bahkan bisa dipandang tidak qualified sebagai pembimbing utama bagi seorang calon doktor di perguruan tinggi. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan pelaksanaan tugasnya sebagai profesor, yang notabene bermakna pejabat yang berfungsi sebagai guru.
Jalan keluar
Apabila seorang periset dari luar, misalnya perguruan tinggi lain atau lembaga/instansi lain, dan dipandang memenuhi syarat serta dibutuhkan untuk melaksanakan tugas sebagai pembimbing utama dengan status guru besar, yang bersangkutan dapat diberi jabatan fungsional sebagai guru besar luar biasa selama pelaksanaan tugasnya. Jabatan ini dapat diperpanjang seterusnya sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan. Ketentuan ini sesuai dengan persepsi guru besar sebagai jabatan fungsional seperti diuraikan di depan.
Contoh yang berlaku di negara maju dapat dijadikan acuan bagi perumusan paradigma dan aturan di republik ini. Jelas seorang periset penuh yang hanya terlibat dalam kegiatan riset tidak lazim diberi jabatan/ gelar guru besar.
Di antara mereka yang diangkat menjadi guru besar oleh PT yang terlibat dalam kerangka kerja sama, pada umumnya berkaitan dengan fungsi/tugasnya sebagai pembimbing tunggal/utama serta tugas pendidikan lainnya. Banyak sumber informasi/narasumber yang dapat diminta keterangannya mengenai hal ini.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu mengeluarkan peraturan baru yang dapat mengundang kerancuan akibat tumpang tindih kewenangan atau standar ganda yang membingungkan.
Imbauan
Seperti dikemukakan di awal tulisan ini, niat dan upaya pemerintah dalam pemberdayaan SDM riset di luar PT untuk keperluan pendidikan pascasarjana harus disambut dengan baik, tetapi harus dilaksanakan dengan cara dan koridor yang tepat pula. Untuk itu, yang perlu diubah adalah paradigma dan aturan PT yang menolak periset dari luar sebagai pembimbing utama dalam program S3.
Jadi, sebagai catatan akhir, perlu ditekankan perlunya penyamaan persepsi dasar mengenai kualifikasi bagi jabatan guru besar dan kriteria persyaratan mutu bagi kelulusan program doktor, yang dapat mendorong kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan pascasarjana di Indonesia secara menyeluruh.
Untuk tujuan yang mulia dan bermanfaat bagi pengembangan SDM dan basis riset dan pengembangan bangsa dan negara, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan dukungan nyata dan terarah dalam membangun dan membenahi infrastruktur dan sistem meritokrasi yang manusiawi dan menarik bagi dunia akademik di republik ini.
MO Tjia Guru Besar Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung
Sumber: Kompas, 23 Januari 2006