Peluang Obat Baru Malaria dari Antartika

- Editor

Minggu, 15 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perairan dingin Antartika ternyata menyimpan obat untuk mengatasi penyakit malaria, yang menjadi salah satu sumber kematian utama di di beberapa negara tropis. Peluang pengobatan baru untuk penyakit malaria itu berhasil diekstraksi dari spons Inflatella coelosphaeroides yang banyak ditemukan di sekitar Kutub Selatan.

Hasil kajian terbaru ini dilaporkan dalam Jurnal Natural Products pada 11 September 2019 dan dirilis oleh American Chemical Society pada hari yang sama. Disebutkan, peptida yang berhasil diisolasi dari spons Antartika ini memberikan harapan sebagai terapi baru untuk mengobati malaria, menyusul dengan munculnya resistensi dari obat-obatan sebelumnya.

–Spons dari Antartika, Inflatella coelosphaeroides, yang diketahui memiliki unsur kimia untuk melawan parasit malaria. Foto: Dokumentasi University of South Florida.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, sekitar 219 juta kasus malaria dilaporkan pada 2017 dan 435.000 orang di antaranya meninggal dunia. Gejala penyakit ini dimulai dengan demam dan kedinginan, yang dapat diikuti oleh anemia berat, gangguan pernapasan, dan kegagalan organ.

Parasit yang bertanggung jawab untuk malaria ditularkan kepada orang-orang melalui gigitan nyamuk. Ini menghabiskan beberapa siklus hidupnya pertama di hati, di mana ia bereproduksi, dan kemudian bergerak ke dalam darah.

Perawatan konvensional biasanya dilakukan dengan pemberian artemisinin dan turunannya untuk menekan parasit ini berkembang di dalam darah penderita. Namun demikian, belakangan parasit malaria semakin kebal terhadap obat-obatan ini. Salah satu solusinya adalah menyerang organisme pada tahap awal dalam siklus hidupnya yaitu saat di hati penderita dan jumlah parasitnya lebih sedikit. Pada tahap ini resistensi parasit kemungkinan juga belum berkembang.

Dalam rangka pencarian formula obat yang cocok, para peneliti dari University of South Florida, mencoba menggunakan spons dari perairan sekitar Antartika yang selama ini dikenal memiliki kemampuan kimia untuk melawan predator.

Tim kemudian menyaring spons yang dikenal sebagai Inflatella coelosphaeroides. Mereka menemukan satu senyawa, yang mereka juluki friomaramide mampu memblokir infeksi dan pengembangan parasit malaria Plasmodium falciparum dalam sel hati.

Senyawa friomaramide juga diketahui tidak beracun bagi sel-sel hati itu sendiri. Para peneliti menentukan bahwa senyawa tersebut adalah peptida linier dengan struktur berbeda, yang menurut mereka menjadikannya kerangka kerja yang menjanjikan untuk memproduksi senjata baru untuk pengobatan malaria.–AHMAD ARIF

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 12 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB