Hasil inovasi dari lembaga riset harus berorientasi pada kebutuhan pasar. Dengan begitu, teknologi yang dihasilkan bisa menjadi solusi dari permasalahan masyarakat, termasuk permasalahan lingkungan. Selama ini, kesenjangan komunikasi antara lembaga penelitian serta riset dengan kebutuhan pengguna masih menjadi kendala.
Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menyampaikan, komunikasi dari hulu ke hilir dalam pemenuhan kebutuhan teknologi belum berjalan dengan baik. “Masih ada missing link. Sekarang ini teknologi harus bisa menjawab kebutuhan dari pengguna. Orientasi harus pada kebutuhan masyarakat. Untuk apa mengembangkan teknologi yang tidak dibutuhkan masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (NUT)–Seorang petugas sedang mencatat indeks kandungan debu di udara di kawasan perkotaan. Alat pantau ini menjadi salah satu teknologi lingkungan yang perlu dikembangkan karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, BPPT sebagai lembaga pengkajian dan penerapan teknologi baru bisa dikatakan berhasil apabila sudah melakukan hilirisasi teknologi. Hilirisasi ini diwujudkan dengan inovasi berbasis layanan teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Hammam Riza
Hamman menyontohkan, pusat teknologi lingkungan di BPPT sebenarnya sudah memiliki banyak produk teknologi yang dihasilkan tetapi baru sebagian yang diketahui oleh pemangku kepentingan. Artinya, hasil perekayasaan dan penelitian di pusat teknologi lingkungan belum tersosialisasikan dengan baik atau memang kurang sesuai dengan kebutuhan dari pengguna teknologi.
Untuk itu, berbagai sarana komunikasi dan pertemuan pun dilakukan untuk meminimalisir kesenjangan tersebut. Salah satunya melalui seminar nasional dan konsultasi teknologi lingkungan yang diselenggarakan di Kantor Pusat BPPT di Jakarta, Kamis. Dalam kegiatan ini, sekitar 300 orang hadir dari berbagai kalangan, seperti lembaga riset, industri, perguruan tinggi, himpunan profesi peneliti dan perekayasa, serta masyarakat sipil yang peduli pada kelestarian lingkungan.
Teknologi lingkungan
Direktur Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) BPPT Rudi Nugroho menyampaikan, selain berorientasi pada permintaan pasar, inovasi dan layanan teknologi lingkungan yang dihasilkan PTL BPPT juga berbasis pada kebutuhan di masa depan. “Jadi, penerapannya harus bercampur antara market pull dengan technology push,” katanya.
Terkait masalah lingkungan, sejumlah inovasi yang dikembangkan BPPT saat ini lebih berfokus pada masalah air, darat, dan udara. Adapun inovasi tersebut seperti, teknologi pengolahan air bersih, monitoring kualitas air dalam jaringan (online), pembangkit listrik tenaga sampah, pemantauan kualitas udara, serta pengelolaan sampah padat.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Rudi Nugroho
Rudi mengatakan, BPPT juga telah membuat inovasi baru yaitu arsinum (air siap minum) mobile. Perangkat ini baru saja dikirimkan pada awal September 2018 ini ke Lombok, Nusa Tenggara Barat untuk membantu kebutuhan air masyarakat pascagempa. Melalui teknologi arsinum, masyarakat bisa memeroleh air siap minum yang diolah dari berbagai sumber, seperti air tanah, air sumur, atau air sungai.
Kepala Program Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) PTL BPPT Widiatmini S Winanti menyatakan, teknologi PLTSa juga menjadi salah satu contoh penerapan teknologi di bidang lingkungan. Sebagai proyek percontohan, PLTSa akan dibangun di tempat pembuangan akhir di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Direncanakan, PLTSa ini bisa mengolah sampah dengan kapasitas sekitar 50 ton per hari. Dari kapasitas tesebut, listrik yang dihasilkan bisa mencapai 400 kilowatt. “Tujuan utama PLTSa ini adalah memusnahkan sampah secara cepat sekaligus bisa menghasilkan listrik. Targetnya, Desember 2018 PLTSa sudah bisa beroperasi,” ucapnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 21 September 2018