SEJAK berakhirnya Perang Dunia II hingga kini pada dekade akhir abad ke-20 ilmu dan teknologi berkembang dengan pesatnya. Dari hasil olahan ilmu dan teknologi pula terciptalah paragliding, yang kemudian berkembang menjadi olahraga petualangan paling menarik perhatian di Eropa Barat, terutama di Perancis dan di Swiss saat ini. Di Perancis olahraga ini lehih dikenal dengan sebutan Parapente (baca: parapong).
Sekitar akhir tahun 1990 yang lalu paragliding mulai dikenal pula di Indonesia. Meskipun perkembangannya tidak begitu menggembirakan, olahraga dirgantara ini banyak dilirik kaum muda. Bagaimana tidak? Kepraktisan perangkatnya dan glide rasionnya (rasio luncur) yang besar sangat mengundang selera. Payung yang bisa “terbang” ini kerap dipakai terjun dari gunung, jadi olahraga paragliding di Indonesia lebih dikenal sebagai Terjun Gunung.
Sebetulnya apa sih paragliding itu? Paragliding adalah olahraga meluncur dari atas bukit, bahkan gunung, dengan menggunakan parasut yang mirip dengan parasut terjun. Jadi, dengan menggunakan payung khusus ini kita bisa terjun bebas tanpa menggunakan pesawat terbang atau helikopter. Cukup meloncat dari atas gunung, bahkan bukit seperti Puncak, asalkan mempunyai lereng dengan kemiringan cukup terjal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari segi biaya, olahraga ini jelas menjadi lebih murah karena pesawat terbang tak dibutuhkan lagi. Lalu, di sisi lain, yang juga amat menarik adalah rasio luncurnya. Paragliding dari jenis high performance rasio luncurnya sudah mencapai 1 : 6, artinya setiap turun sejauh 100 meter ia bisa memberi luncuran 600 meter ke depan. Menakjubkan. Ini yang tidak bisa ditemukan dari payung terjun biasa. Rasio luncur ini mendekati rasio luncur yang dimiliki layang gantung (gantolle) yang sudah mencapai 1:7.
Dari rasio luncur ini jelaslah bahwa kita bisa terbang lebih lama bila menggunakan parasut paragliding. Apalagi bila kemudian kita bisa mencari angin lift (angin naik) yang bisa membawa kita terang lebih tinggi. Hal ini juga tak bisa ditemui pada olahraga terjun bebas. Tetapi karena konstruksinya yang spesifik pula parasut paragliding ini tidak bisa dipakai meloncat dari pesawat terbang.
BERKEMBANG DARI LAYANG GANTUNG.
Proses terciptanya paragliding sebetulnya tidak melalui jalan yang rumit. Kreatif, berambisi besar untuk menguasai dunia, bercita-cita tinggi, dan tidak pernah merasa puas adalah sifat manusia. Dan sifat itu pulalah yang mendorong terciptanya parasut ini. Bicara mengenai terciptanya paragliding, kita tidak dapat mengesampingkan adanya layang gantung dan kepentingan militer. Karena dari sana parasut ini tercipta. Pada awal tahun 1950-an Amerika Serikat dengan NASA-nya sedang giat-giatnya melaksanakan proyek angkasa luar dengan menciptakan pesawat angkas luar Gemini. Kala itu persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (alm.) untuk mencapai luar angkasa tak terhindarkan.
Dalam program itu NASA membutuhkan sebuah parasut atau sebuah konstruksi mirip layang-layang yang mempunyai rasio luncur lebih baik dari sekedar payung terjun, dengan tujuan mengurangi semaksimal mungkin hempasan benda-benda yang dijatuhkan dari udara. Konstruksi ini dibutuhkan untuk memperlambat luncuran jatuhnya kepompong pesawat angkasa luar saat kembali ke bumi. Kepom pong ini berisi astronot, dan bila terhempas cukup keras di-khawatirkan akan pecah berantakan.
Pada saat itulah Dr. Francis Rogallo, seorang staf peneliti NASA, menemukan konstruksi layang-layang bersayap delta yang fleksibel, yang kemudian pada per-kembangannya menjadi layang gantung. Tetapi karena kerumitan dan ketakpraktisan pemasangannya, konstruksi ini tak pula memenuhi syarat. Padahal rasio luncurnya bisa mencapai 1:3. Akhirnya pesawat ruang angkasa ini diputuskan untuk dijatuhkan di laut, tidak di atas tanah seperti rencana semula.
Pada tahun 1961 konstruksi sayap delta temuan Dr. Francis Rogallo yang terbuang ini lalu dimanfaatkan oleh Angkatan Udara AS untuk keperluan militer. Juga oleh “manusia-manusia gila” pecinta olahraga dirgantara macam Tom Pucell Yunior dan John Dickenson. Pada tahun 1974 mereka berdua berhasil memperbaiki layang gantung ini hingga mempunyai rasio luncur 1:4. Prototipe ini kemudian dinamakan sayap Rogallo, dan melalui sayap ini terciptalah olahraga layang gantung.
Era akhir abad ke-20 ini adalah jaman yang menakjubkan. Meskipun telah tercipta mesin-mesin terbang berkecepatan mach-3, toh manusia tidak merasa puas juga. Inovasi pun banyak dilakukan. demikian juga layang gantung.
Meskipun telah mencapai rasio setinggi 1:7 manusia belum puas juga. Kenapa? Layang gantung terlalu rumit. Untuk merangkainya dibutuhkan tidak kurang dari 20 potong batangan aluminium. Dan beberapa diantaranya ada yang panjangnya mencapai 3 meter. Jelas sangat tidak praktis. Belum lagi kawat-kawat bajanya yang centang-perentang. Untuk membawa batang-batang aluminium ini ke atas bukit pun menimbulkan masalah yang tidak sedikit.
Sebagian pecinta olahraga ini kemudian beralih ke terjun payung, yang lebih praktis. Tetapi biayanya juga menjadi mahal karena dibutuhkanangkutan udara. Selain itu dengan payung terjun melayang di udara tidak bisa lebih lama dibanding dengan layang gantung. Nah, kemudian timbul ide untuk menyatukan keduanya, payung terjun (yang bisa dilipat) dan layang gantung.
Pada tahun 1973, The British Parachute Association mendukung diciptakannya layang-layang baru yang lebih praktis; yang bisa dilipat mirip payung terjun tetapi juga mempunyai rasio luncur yang cukup bagus seperti layang gantung. Usaha itu tak sia-sia. Seluruh Eropa Barat berlomba-lomba. Pada tahun 1980 berpusat di Swiss dan Pegunungan Alpen terciptalah parasut ini: yang bisa diluncurkan dari atas bukit, berasio luncur tinggi mirip layang gantung, dan bisa dilipat mirip payung terjun. Terciptalah sudah paragliding, sebuah parasut berasio luncur tinggi yang dapat dilipat, digulung, dan dimasukkan ke dalam ransel. Beratnya pun tak lebih dari delapan kilogram, sehingga mudah ditenteng ke mana-mana.
Olahraga ini segera populer, terutama di Eropa Barat termasuk Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Manusia pun menjadi lebih gila. Oleh para pendaki gunung, payung itu dibawa ke gunung-gunung tinggi. Mereka mendaki berusaha mencapai puncak, lalu ketika sampai di atas mereka menerbangkannya. Beberapa orang telah berhasil meloncat dari puncak Kilimanjaro di Afrika, puncak Gunung Elbrus di Rusia, juga Mc Kinley di Alaska.
BAGAI SAYAP PESAWAT UDARA
Meskipun konstruksinya berbeda, sekilas payung paragliding mirip payung terjun. Payung paragliding tersusun atas tiga bagian, kanopi, tali penghubung, dan harness. Kanopi paragliding adalah bagian terpenting. Bagian ini merupakan konstruksi yang tersusun atas dua lembar “kain” yang menjadi permukaan atas dan bawah, kedua permukaan ini dihubungkan oleh sejumlah-segmen vertikal. Segmen-segmen itu dengan sendirinya membentuk ruang-ruang kosong yang disebut sel. Konstruksi ini terbuka di sisi depan namun tertutup di bagian belakangnya.
Sisi terbuka inilah yang nantinya bertugas menangkap angin. Dan besar kecilnya “pintu masuk udara” ini bisa menunjukkan tingkat kestabilandan rasio luncur payung. Hal ini berguna untuk memaksimalkan kemampuart terbangnya.
Pada saat terbang, karena sisi belakangnya tertutup, dengan sendirinya angin yang masuk dari depan akan menekan ke segala arah dengan sama besarnya. Tekanan angin yang sama besar ini akan mengembangkan kanopi menjadi rigid dan membentuknya mirip sayap pesawat udara. Jadilah ia papan luncur.
Pada sel itu, setiap ruang dipisahkan dari ruang di sebelahnya dengan dinding antarsel. Pada sebuah parasut paragliding bila terdapat lebih banyak dinding antar sel akan membuat bentuk sayapnya menjadi lebih seragam, dan makin rigid. Dinding antarsel ini memiliki lubang-lubang yang memungkinkan udara bisa bergerak dari satu sel ke sel di sebelahnya. Dengan sendirinya hal ini membantu keseimbangan tekanan udara di dalam kanopi agar keseluruhan sayap bisa tetap rigid.
Panjang kanopi setiap parasut berbeda, tergantung jenisnya. Untuk jenis high performance bisa mencapai 11 meter, bahkan lebih. Tapi untuk intermediate lebih pendek, sekitar 9 meter. Dan bentang sepanjang itu biasanya tersusun atas, minimal, 20 sel.
Sebetulnya kanopi paragliding adalah sebuah sayap inflatable. Parasut ini bukan parasut dalam arti yang sebenarnya. Benda ini dapat meluncur hanya jika ia menerima cukup aliran udara yang masuk ke dalam sel-selnya, bila tidak, ia akan mengempis, terlipat, dan jatuh. Karena itulah bagian ini biasanya dibuat dari bahan sintetis yang tidak berpori (biasanya dari sejenis nilon atau poliester), yang bisa memberi kemampuan menahan udara jauh lebih baik dibanding kanopi payung terjun. Dan biasanya, agar menarik, kanopi ini diberi warna-warna yang mencolok.
Tali penghubung, tali yang menghubungkan kanopi dengan harner (tempat duduk pcnerbang), tidak terbuat dari kawat baja seperti halnya layang gantung. Selain tidak cukup lentur dan fleksibel bagi kanopi, kawat baja juga mempunyai bobot yang berat. Oleh karena itu tali ini dibuat dari bahan lentur yang sangat kuat, yang mampu menerima hentakan dan berat tubuh pengendalinya. Bahan itu ada dua jenis: Kevlar, biasanya adalah poliaramid (serta karbon) dan kemudian dibungkus dengan lapisan dacron (terilene) atau bahan sejenis, serta polietilena yang bisanya disebut dyneema (di Amerika disebut spectra).
Tali ini berdiamater 0,5 hingga 2 milimeter. Cukup tipis bukan? Tali penghubung kanopi ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, sisi depan, tengah, dan belakang. Pemasangan tali pada sisi depan dan belakang kanopi pada harnes akan membentuk huruf V. Lalu tali sisi tengahnya membagi dua huruf V tersebut.
Karena secara keseluruhan parasut paragliding terbuat dari bahan-bahan berkualitas tinggi, maka harganya pun menjadi mahal. Bisa mencapai lima hingga sepuluh juta rupiah di Indonesia saat ini. Yang bekas, bila beruntung, bisa tiga juta rupiah.
BAGAIMANA BISA TERBANG?
Pada saat sebuah kanipi paragliding mengembang sempurna dan menjadi rigid, ia merupakan sebuah sayap yang menciptakan daya angkat (lift) dengan cara yang sama seperti layaknya sebuah pesawat terbang biasa. Agar mampu terbang kanopi harus menciptakan daya angkat untuk membawa beratnya sendiri dan berat pilot yang dibawanya, dengan cara mengarah turun membelah udara. Dan dengan cara ini terciptalah aliran udara yang bergerak melalui seluruh permukaan kanopinya.
Lalu bagaimana kanopi ini menjadi sayap yang rigid, dan bisa tetap bertahan di udara? Begini, molekul-molekul udara yang mengalir masuk dan mendesak ke dalam kanopi ini akan terbagi dalam dua aliran, yakni aliran yang meluncur mendesak bagian permukaan bawah dan permukaan atas. Selama ia terbang meluncur ke depan, yang berarti melawan arah angin, udara akan masuk dan mendesak secara terus-menerus. Dan karena bagian belakang kanopi tertutup, terciptalah sebuah area bertekanan tinggi. Lalu sekitar sepertiga desakan aliran udara ini menghasilkan daya angkat yang mampu membuat parasut ini bertahan di udara. Dan besarnya daya angkat ini sangat bergantung dari besarnya bobot pilot, kecepatan aliran udara masuk, dan sudut serang udara terhadap kanopi.
Untuk memulai menerbangkan paragliding, kecepatan angin yang disarankan tidak kurang dari 11,5 kilometer mil perjam dan tidak melebihi 30 kilometer perjam. Hal ini dikarenakan perpaduan antara kecepatan angin, bobot pilot, sudut serang. udara terhadap kanopi, juga luas permukaan kanopi inilah yang menciptakan rasio luncur setiap payung. Dan hingga kini rasio luncur paragliding ini telah mencapai 1 : 6 (setiap turun 100 meter akan memberi luncuran sejauh 600 meter). Sederhana dan hebat bukan?
Karena itulah anak-anak muda di belahan bumi sebelah barat,cepat akrab dengan olahraga ini. Dan sejak tahun lalu paragliding juga sudah dikenal di Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan sudah mencobanya meloncat dari atas gunung. Seperti Gunung Galunggung di Garut, Gunung Guntur di Bandung, bahkan juga Gunung Merbabu di Jawa Tengah.
Bila sekarang kalian ingin mecobanya, jangan lupakan perlengkapan lain yang tak kalah pentingnya, sperti harnes, helm pelindung kepala, altimeter, pengukur kecepatan angin, parasut cadangan bila mungkin, kompas, serta sepatu pelindung yang baik. Dan ingat, bagaimana pun olahraga petualangan, seperti juga terjun payung, menyelam, juga mendaki gunung, selalu mengandung risiko. Meskipun tidak bisa dihilangkan, risiko itu bisa ditckan menjadi serendah mungkin bila prosedur keselamatan ditaati. Dua di antara prosedur itu adalah: belajarlah dengan benar dan dibawah bimbingan seseorang yang berpengalaman. Lalu, peliharalah parasutmu dengan sangat baik. Memang melayang di udara adalah pengalaman yang sangat menakjubkan. Namun, ingat, di udara tidak ada ruang untuk melakukan kesalahan.
Naskah dan Foto: BEAWIHARTA.
Sumber: Majalah AKUTAHU/ AGUSTUS 1992