Pandemi selain punya implikasi negatif pada ekonomi juga harus menjadi sarana pembelajaran umat manusia dalam rangka membentuk peradaban di masa depan. Pascapandemi berbagai praktik baik harus diteruskan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Para perantau memasuki Terminal Pasar Lembang, Kota Tangerang, Banten, untuk berburu tiket bus pulang ke kampung halaman, Sabtu (28/3/2020). Meski telah ada imbauan untuk tidak pulang kampung sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19, namun mereka tetap bersikeras balik ke kampung halaman karena diperantauan tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sejarawan Yuval Hariri dalam wawancara dengan CNN menyatakan, pandemi yang kita hadapi saat ini terburuk sejak setidaknya 100 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak satu pun orang, lembaga. atau negara yang punya pengalaman menangani pandemi sebesar ini. Akibatnya, tak ada rujukan dalam membuat simulasi, merancang skenario, dan menyiapkan mitigasi.
Hingga saat ini sulit dilakukan simulasi karena terlalu banyak asumsi. Skala penyebarannya terlalu luas, sementara dinamikanya masih terus berkembang. Level tragic milestones sebagaimana dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah jauh terlewati. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan krisis kemanusiaan dan krisis ekonomi secara bersamaan, salah satu yang terparah dalam peradaban masyarakat modern.
Fokus utama saat ini pada upaya mitigasi keselamatan (safety) dan kesehatan (healthy), sementara dampak pada sektor ekonomi terus terjadi. Tiga pusat manufaktur dunia, yakni China, Jerman, dan AS, sudah terpapar, sehingga rantai pasok global terancam lumpuh.
Secara umum, ada tiga skenario pemulihan menghadapi guncangan pandemi virus korona ini. Skenario pertama, V-shape, yaitu pola penurunan yang segera diikuti pemulihan secara cepat. China mungkin bisa dikategorikan dalam skenario ini setelah berhasil mengatasi pandemi dengan pendekatan ketat melalui lockdown.
Berdasarkan skenario The Economist Survey 2020, jika pandemi China berakhir Maret, pertumbuhan akan terkoreksi jadi 5,4 persen. Proyeksi ini tentu berasumsi tak terjadi efek domino ke seluruh dunia akibat penyebaran Covid-19. Jika seluruh dunia mengalami persoalan, tak tertutup kemungkinan pertumbuhan China tertekan lagi akibat perlambatan global.
Skenario kedua, U-shape, atau pola penurunan yang diikuti perlambatan cukup panjang sebelum akhirnya bangkit kembali. Skenario ketiga, L-shape, atau pola penurunan yang tak pernah diikuti pemulihan. Melihat indikasinya, beberapa negara di kawasan Eropa akan mengalami skenario ketiga ini, khususnya Italia dan mungkin Jerman.
Secara umum, dampak pandemi pada ekonomi akan ditentukan dua hal: seberapa luas skala penyebaran dan seberapa cepat pemerintah mengatasi. Semakin lama mitigasi dilakukan, semakin luas pandemi, semakin parah kerusakan ekonomi dan semakin lama pemulihannya. Jadi, cara pemerintah menangani pandemi merupakan kunci penentu pemulihan ekonomi itu sendiri.
Resesi global
Terlalu awal memperkirakan kapan pandemi akan berakhir. Namun, tak terlalu dini menyimpulkan resesi global akan terjadi. Paling tidak, itulah pendapat Kenneth Rogoff, profesor ekonomi dari Universitas Harvard. Sayangnya, pendapat ini masuk akal merujuk pada indikasi terkini; resesi global hampir pasti terjadi.
AFP/CHRISTOF STACHE–Seorang pria naik kereta saat platform tetap kosong karena langkah-langkah penahanan virus corona baru pada 18 Maret 2020 di stasiun kereta bawah tanah di Munich, Jerman Selatan.
Barry Eichengreen, profesor ekonomi yang mengamati sejarah krisis dari Universitas California, Berkeley, mengatakan krisis kali ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pertama, transmisi dampak pandemi pada ekonomi tak terkalahkan dalam hal skala (size) dan kecepatannya (rapidity). Kedua, sifat dari gejolak yang ditimbulkan memukul dua sisi sekaligus, yaitu produksi dan konsumsi, sehingga melumpuhkan aktivitas ekonomi.
Sebagai ilustrasi dampak pandemi pada ekonomi, Bloomberg (6/3/2020) menunjukkan betapa perekonomian China begitu terpukul: penjualan mobil turun 80 persen, penumpang perjalanan turun 85 persen dari posisi normal, sementara restoran dan ritel lain nyaris terhenti. Perekonomian kuartal I-2020 ini akan melambat menjadi 1,2 persen saja.
Bloomberg menyebut ada empat skenario yang mungkin terjadi akibat pandemi korona. Skenario pertama, Covid-19 menimbulkan gejolak pada perekonomian China dan kemudian berdampak pada perekonomian global.
Skenario kedua, Covid-19 mengakibatkan perekonomian China mengalami perlambatan cukup lama dan menimbulkan efek regional di kawasan Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Dengan kata lain, China mengalami pola U-shape. Pola ini akan menurunkan pertumbuhan global menjadi 2,3 persen terkoreksi dari 3,1 persen di proyeksi sebelumnya.
Skenario ketiga, Covid-19 tak hanya menyerang China dan beberapa mitra utama di Asia, tetapi juga memukul Italia, Perancis, dan Jerman. Namun, tak memberi tekanan berarti pada perekonomian AS, India, Inggris, Brasil, dan Kanada. Jika situasi ini yang terjadi, pertumbuhan global akan melambat menjadi hanya 1,2 persen. Sementara Eropa dan Jepang akan mengalami resesi, AS hanya akan tumbuh 0,5 persen.
Skenario keempat, mengasumsikan semua negara yang ada dalam simulasi mengalami gejolak parah akibat Covid-19 sama seperti kondisi China kuartal I-2020. Jika skenario ini yang terjadi, pertumbuhan global nyaris nol persen. AS bersama Eropa dan Jepang mengalami resesi. Melambatnya perekonomian AS, Eropa, dan Jepang akan memukul balik China sehingga dalam skenario ini China hanya akan tumbuh 3,5 persen, terendah sejak era reformasi Deng Xioping pada 1980-an.
Dalam skenario terakhir, dunia akan kehilangan produksi 2,7 triliun dollar AS atau setara perekonomian Inggris sekarang. Melihat perkembangan situasi di mana begitu banyak negara tengah berjuang mengatasi dampak Covid-19 ini, sangat dikhawatirkan skenario keempat akan terjadi.
Richard Baldwin dan Beatrice Weder di Mauro memprakarsai penulisan buku digital dengan judul Economics in the Time of Covid-19. Dalam kata pengantarnya, Baldwin menjelaskan implikasi pandemi tidak hanya ke semua sektor ekonomi dan memukul sisi produksi dan konsumsi, tetapi juga keyakinan orang pada masa depan ekonomi.
Begitulah guncangan dan gejolak pada siklus ekonomi dibentuk melalui semua lini. Resesi akan segera menyusul pandemi, semakin luas negara yang terjangkit dan semakin lama mitigasi dilakukan, resesi akan semakin parah, dan pemulihan juga semakin tak mudah.
Upaya mitigasi
Bagaimana dampak skenario global pada perekonomian kita? Skenario pertama dan kedua akan membuat perekonomian kita terkoreksi 0,3 persen saja. Skenario ketiga akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,8 persen dan jika skenario keempat terjadi, pertumbuhan akan tergerus 4,6 persen dari proyeksi semula. Bisa dibayangkan jika skenario keempat ini terjadi, perekonomian kita hanya akan tumbuh di bawah 1 persen.
Mitigasi risiko biasanya mempertimbangkan dua hal: besaran dampak yang ditimbulkan (impact) serta kemungkinannya terjadi (likelihood). Jika dalam empat skenario di atas sudah digambarkan besaran dampak yang akan ditimbulkan, pertanyaannya seberapa besar kemungkinan skenario terburuk (keempat) terjadi. Merujuk pernyataan Rogoff, sangat mungkin perekonomian global akan memasuki skenario keempat atau terjadi resesi secara penuh.
Pemerintah, otoritas moneter dan keuangan sudah bergerak. Dalam satu bulan ini, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7- Days Repo Rate) sebanyak dua kali menjadi 4,5 persen. Meski begitu, kebijakan ini tak mampu membuat pasar tenang. Sehari setelah pengumuman penurunan suku bunga acuan (20/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot hingga 3.900-an meskipun akhirnya ditutup pada level 4.105. Pada hari yang sama nilai tukar ditutup pada Rp 15.950 per dollar AS.
Belajar dari pengalaman banyak negara di dunia, kebijakan moneter tak banyak membantu. Di AS, meskipun The Fed Fund Rates diturunkan hingga 0-0,25 persen, penurunan pasar saham utama seperti Dow Jones dan Wall Street tak mampu dikendalikan. Justru ada kekhawatiran, jika ekspansi moneter terlalu agresif, akan terbentuk gelembung (financial bubbles) di pasar keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan relaksasi perhitungan kualitas kredit serta penundaan pembayaran utang. Dengan begitu, baik perbankan maupun dunia usaha bisa lebih fokus pada masalah operasional guna memastikan keberlanjutan usaha. Risiko paling besar dari gejolak ini adalah maraknya kredit macet serta penutupan usaha sehingga bisa memukul perekonomian dan meningkatkan angka pengangguran.
Pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus kebijakan pertama, kedua, dan menyusul paket ketiga. Paket pertama senilai kurang lebih Rp 10 triliun fokus pada stimulus sektor pariwisata, termasuk memberi subsidi maskapai penerbangan yang merana akibat pandemi ini. Paket kedua berupa relaksasi fiskal senilai Rp 22,9 triliun meliputi pembebasan pajak pribadi di sektor tertentu dan perseroan (PPh 21 dan 22), pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen selama 6 bulan untuk 19 sektor.
Paket kebijakan pertama perlu dievaluasi karena belum fokus pada masalah pokoknya, yaitu mitigasi pandemi Covid-19 itu sendiri. Pencegahan penularan harus dilakukan secara ketat serta penanganan korban harus memadai. Selain itu, implikasi langsung pada penurunan pendapatan masyarakat yang terpapar harus segera dikompensasi. Urgensi stimulus ekonomi dalam rangka memitigasi pandemi sangat tinggi mengingat semakin lama penanganan dilakukan, semakin parah kerusakan ekonomi yang ditimbulkan.
Pandemi global ini meninggalkan pelajaran penting, kebijakan ekonomi perlu lebih berorientasi pada korban, yaitu mengupayakan keselamatan dan kesehatan manusia. Baru kemudian memikirkan stimulus sektoral yang paling berat terkena dampaknya. Pemerintah perlu merevisi paket kebijakan pertama karena sama sekali tidak berpihak pada korban. Meluasnya pandemi, yang memang tidak diperkirakan sebelumnya, harus menjadi pelajaran berharga guna mengoreksi kebijakan ekonomi.
Masa depan
Financial Times (20/3/2020) menurunkan artikel berjudul ”Yuval Noah Harari: The World After Coronavirus” mengulas pandangan sejarawan Harari soal masa depan dunia pascapandemi. Berbagai keputusan orang dan pemerintah beberapa minggu ke depan dalam hal penanganan krisis korona akan menentukan masa depan dunia, tak hanya di sektor kesehatan, tetapi juga ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Dengan kata lain, pandemi global beserta respons kebijakannya akan menentukan peradaban manusia di masa depan. Di saat normal, sulit memaksa orang menerima kebijakan bekerja di rumah atau sekolah dan kuliah berbasis daring secara penuh. Karena korona, bahkan generasi yang sudah sangat sulit beradaptasi dengan teknologi terpaksa mempelajari dan menggunakannya. Mungkin menggerutu, tapi tak punya alasan menolaknya.
Penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari hampir sempurna, bahkan memasuki wilayah yang dalam situasi normal sulit dilakukan. Di China dalam rangka mengawasi pergerakan penduduk diterapkan sistem pemantauan 24 jam ke semua wilayah melibatkan ekosistem teknologi, mulai dari drone, internet of things, kecerdasan buatan, hingga data besar. Dan harus diakui, salah satu keberhasilan China memitigasi virus korona adalah kemampuannya memaksa penduduk melakukan isolasi diri dengan disiplin tinggi. Dalam situasi normal, kebijakan ini pasti menimbulkan kontroversi.
Salah satu implikasi pandemi bagi kehidupan sehari-hari adalah soal kesadaran akan standar kesehatan. Dalam situasi normal, sulit mengedukasi masyarakat dalam skala global dalam waktu singkat untuk rajin cuci tangan. Namun, akibat Covid-19 kebiasaan terkait kesehatan pribadi dengan sendirinya diadopsi.
Pandemi selain punya implikasi negatif pada ekonomi juga harus menjadi sarana pembelajaran umat manusia dalam rangka membentuk peradaban di masa depan. Pascapandemi berbagai praktik baik harus diteruskan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan peradaban itu sendiri.
Maka, sungguh disayangkan sikap pemerintah yang cenderung menutupi kenyataan dan memitigasi masalah dengan cara anti-pengetahuan. Selain menggerus kepercayaan warga, sikap ini akan membuat kita semua kehilangan kesempatan melakukan edukasi kepada masyarakat agar punya kesadaran dan pengetahuan lebih baik tak hanya soal kesehatan, tetapi juga masalah solidaritas dan kemanusiaan. Harari benar, pandemi akan menunjukkan watak dasar kita: manusia, pemerintah, dan bangsa macam apa kita ini sebenarnya.
(A Prasetyantoko Rektor Unika Atma Jaya Jakarta)
Sumber: Kompas, 31 Maret 2020