Pandemi Covid-19 memang membawa petaka bagi umat manusia. Namun, wabah yang dipicu oleh SARS-CoV-2 ini membawa kebaikan bagi lingkungan. Melambatnya mobilitas manusia selama pandemi ini menurunkan emisi karbon.
Lima juta ton emisi karbon dioksida dilepas ke atmosfer tiap jam, mendorong bumi mendekati titik kritis iklim. Kondisi itu menyebabkan dampak pemanasan tak terhentikan dan menjadi ancaman nyata peradaban.
Bukti-bukti terlampauinya titik kritis (tipping point) iklim dipaparkan Direktur Global Systems Institute University of Exeter, Inggris, Timothy M Lenton dan tim di jurnal Nature edisi 27 November 2019. Dari 15 titik penting dalam sistem iklim planet ini, sembilan di antaranya dalam kondisi kritis, termasuk permafrost, hutan hujan Amazon, lapisan es Greenland, es laut Kutub Utara, dan sirkulasi Samudra Atlantik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan kondisi ini, para ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP25) di Madrid tahun 2019 telah mengingatkan agar semua negara meningkatkan komitmen mengurangi emisi karbon global. Sebab, komitmen pada COP 2015 di Paris akan berakhir tahun depan.
Sekalipun begitu, sidang iklim di Madrid pada Desember 2019 lalu berakhir tanpa komitmen yang jelas. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyampaikan kekecewaannya atas hasil puncak pertemuan iklim ini karena melewatkan peluang mengatasi pemanasan global (Kompas, 16 Desember 2020).
PRESENTASI BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN—Kebutuhan anggaran perubahan iklim disampaikan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 14 April 2020, dalam diskusi virtual terkait peluncuran laporan buku Pendanaan Publik untuk Pengendalian Perubahan Iklim 2016-2018 secara virtual oleh Badan Kebijakan Fiskal dan Program Pembangunan PBB (UNDP).
Di akhir sidang, para pihak telah pesismistis bisa mencegah laju kenaikan suhu global tak lebih dari 2 derajat celsius dibandingkan tahun 1850-an. Namun, Covid-19 ternyata menjadi faktor tak terduga yang mengubah laju pemanasan global, setidaknya untuk sementara.
Studi terbaru menunjukkan, pandemi Covid-19 telah memangkas lebih dari 8 persen emisi karbon global, yang merupakan penurunan tertinggi sejak Perang Dunia II. Penyusutan emisi ini dihitung berdasarkan pengamatan berbasis satelit dan data lalu lintas yang dikumpulkan dari sistem navigasi kendaraan di sejumlah negara.
Hasil kajian ini dilaporkan secara terpisah oleh dua tim peneliti internasional, yaitu Corinner Le Quéré dari School of Environmental Sciences University of East Anglia, Norwich, Inggris, dan tim di jurnal Nature Climate Change serta Zu Liu dari Department of Earth System Science Tsinghua University, Beijing, dan timnya di laman pracetak Arxiv.org.
Meskipun mereka berbeda dalam rincian tertentu, analisis kedua tim sampai pada kesimpulan yang sama: emisi karbon turun lebih dari 1 miliar ton dalam empat bulan pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.
Penurunan konsentrasi emisi gas rumah kaca juga terpantau di Jakarta. Deputi Bidang Iklim BMKG Herizal menyebutkan, pemantauan dengan instrumentasi pengukur gas rumah kaca permukaan oleh BMKG terhadap kadar gas CO2 di Kemayoran, Jakarta, dari tanggal 1 Februari hingga 4 Mei terpantau terus mengalami penurunan dengan laju penurunan 0,2287 ppm/hari, terlebih lagi setelah diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Rata-rata konsentrasi CO2 saat PSBB menurun 4,6 ppm atau 1,1 persen dibandingkan sebelumnya. Sementara apabila dibandingkan dengan tahun 2019, pemberlakuan PSBB telah menurunkan rata-rata konsentrasi CO2 sekitar 47 ppm atau 9,8 persen.
Berkurangnya mobilitas
Penurunan emisi global ini terjadi karena Covid-19 memaksa banyak negara menutup perbatasan internasional dan mengarantina penduduk di rumah mereka sehingga mengurangi transportasi dan mengubah pola konsumsi. Ini terlihat, misalnya, dalam studi Le Quéré dan tim yang menunjukkan adanya kebijakan karantina wilayah dengan penurunan emisi CO2.
Disebutkan dalam studi ini, emisi CO2 global setiap hari turun rata-rata 17 persen atau dalam kisaran 11-25 persen pada awal April 2020 dibandingkan dengan tingkat rata-rata 2019. Sebanyak setengah dari penurunan emisi ini disumbang dari transportasi darat. Pada puncaknya, emisi di setiap negara rata-rata menurun 26 persen.
Dalam wawancara dengan Nature pada Rabu (20/5/2020), Le Quéré menyebutkan, sekalipun saat ini sejumlah negara mulai melonggarkan karantina, pemodelan yang dilakukan timnya menunjukkan, emisi global kumulatif untuk tahun 2020 dapat turun sebanyak 4-7 persen. ”Kami belum pernah melihat yang seperti ini,” katanya.
Berdasarkan laporan kajian ini, penurunan aktivitas harian di sejumlah negara terutama terjadi di sektor penerbangan dengan penurunan 75 persen selama karantina. Transportasi permukaan, seperti mobil dan kereta api, berkurang hingga 50 persen, sedangkan sektor industri dan publik mengalami penurunan aktivitas sebesar 35 persen dan 33 persen.
Sementara itu, kontribusi terbesar penurunan emisi berasal dari sektor transportasi permukaan, yang turun 36 persen atau setara dengan 7,5 megaton karbon dioksida (MtCO2) pada 7 April 2020 dan memberikan kontribusi terbesar terhadap perubahan total emisi, yaitu sebesar 43 persen. Sektor listrik berkontribusi menurunkan emisi 7,4 persen atau setara dengan 3,3 MtCO2 dan sektor industri menurunkan 19 persen atau 4,3 MtCO2. Tiga sektor ini menyumbang 86 persen dari total pengurangan emisi global.
Dari sektor penerbangan, emisi CO2 turun hingga 60 persen atau 1,7 MtCO2, yang menghasilkan anomali relatif terbesar dibandingkan sektor lain. Ini sejalan dengan tingginya penyusutan aktivitas penerbangan. Meski demikian, sumbangan sektor ini tak lebih dari 10 persen dari penurunan emisi CO2 global.
Sebaliknya, peningkatan emisi justru terjadi di sektor perumahan, dengan penambahan 2,8 persen atau setara 0,2 MtCO2. Peningkatan emisi ini sejalan dengan banyaknya aktivitas orang di rumah.
Jika ditotal, skala pengurangan emisi tahun ini, menurut Le Quéré, bisa setara dengan pengurangan emisi tahunan yang diperlukan untuk memenuhi tujuan dari perjanjian iklim Paris 2015, yang berupaya membatasi pemanasan global 1,5-2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO—Pada hari kedua Lebaran, Senin (25/4/2020), Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, tampak lengang. Pergerakan masyakat pada liburan Lebaran kali ini berkurang karena banyak taman kota dan obyek wisata di kawasan Jabodetabek yang tutup akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penyebaran virus korona.
Masalahnya, apakah masyarakat akan berubah seterusnya dan apakah pemerintah akan menjadikan agenda pembangunan rendah karbon saat berusaha untuk merangsang ekonomi pascapandemi? Ini yang menjadi pertanyaan dari penelitian Ziu Liu dan tim, yang draf hasil kajian pracetak mereka dapat diakses di laman Arxiv.org.
Liu dan tim membangun sistem pemantauan prototipe yang beroperasi pada rentang waktu dari hari ke minggu. Mereka menganalisis data energi lebih dari 400 kota dan 130 negara serta data cuaca di seluruh dunia untuk menghasilkan perkiraan emisi karbon harian untuk 2019 dan 2020.
Menurut perkiraan awal mereka, emisi global mulai menyimpang secara signifikan dari tahun lalu pada bulan Maret, ketika negara-negara di seluruh dunia mulai menutup bisnis dan menegakkan langkah-langkah pembatasan sosial. Disebutkan, China memimpin laju penurunan emisi.
Emisi negara produsen gas rumah kaca terbesar di dunia mulai turun tajam pada bulan Januari, bertepatan dengan pengurangan konsumsi energi pada awal tahun baru China. Ketika kegiatan ekonomi di China mulai meningkat seiring dengan pelonggaran karantina, negara-negara lain mulai menerapkan lockdown sehingga menekan emisi global sepanjang April.
Arah ke depan
Berdasarkan studi Le Quéré, kita bisa melihat bahwa pembenahan sektor transportasi permukaan bisa berkotribusi besar bagi perubahan iklim ataupun bagi upaya mengatasi pandemi. Selain menyumbang hampir setengah dari penurunan emisi selama karantina, berjalan kaki dan bersepeda ternyata relatif paling aman dari infeksi Covid-19 dibandingkan memakai kendaraan umum.
Hal ini kemudian mendorong sejumlah kota, seperti Bogota, New York, Paris, dan Berlin, mendedikasikan kembali ruang untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda sehingga memungkinkan mobilitas individu yang aman dengan beberapa perubahan yang cenderung permanen.
Sekalipun ada angin baik, penurunan laju emisi global ini diyakini hanya bersifat sementara. Belajar dari resesi ekonomi tahun 2008, kondisi itu justru diikuti dengan lonjakan laju emisi karena tiap negara menggenjot ekonomi yang masih berbasis business as usual.
Khusus untuk Indonesia, kekhawatiran menjadi lebih besar karena Dewan Perwakilan Rakyat justru mengesahkan Undang-Undang Mineral dan Batubara pada pertengahan Mei 2020 ini, yang dikhawatirkan bakal memicu ekstraksi lebih besar industri kotor di negeri ini. Selama belum ada perubahan struktural dalam sistem ekonomi, transportasi, atau energi, peningkatan emisi bakal kembali melaju. Itu berarti dampak perubahan iklim bakal makin cepat dan kuat.
Pandemi Covid-19 telah memberi kita pelajaran tentang pentingnya mendengarkan ilmuwan dibandingkan para politisi. Perspektif yang sama seharusnya bisa diterapkan dalam upaya mengatasi laju perubahan iklim….
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Mei 2020