Orangutan ternyata berkerabat dekat dengan kera terbesar di planet ini, Gigantopithecus blacki, yang pernah hidup di Asia bagian selatan dan punah sejak 300.000 tahun lalu. Kerabat orangutan ini memiliki tinggi hingga tiga meter dan berat 600 kilogram.
Bukti kekerabatan ini ditemukan dengan analisis pengurutan atau sequensing protein dari fosil purba kera raksasa Gigantopithecus blacki berumur 1,9 juta tahun lalu. Hasil studi Frido Welker dari Evolutionary Genomics Section, Globe Institute, University of Copenhagen, Denmark dan tim yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature pada 13 November 2019 ini merupakan terobosan penting dalam bidang biologi evolusi.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Aktivitas Orangutan di salah satu pulau kompleks Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari yang dikelola oleh Yayasan Borneo Orangutan Survival di Kelurahan Margo Mulyo, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (30/8/2019). Orangutan merupakan kerabat dekat kera raksasa Gigantopithecus blacki, yang telah punah sekitar 300.000 tahun lalu. Kompas/Riza Fathoni
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk pertama kali analisis DNA bisa dilakukan terhadap fosil primata berusia jutaan tahun yang ditemukan di area hangat dan lembab. Sebelumnya, para peneliti selalu kesulitan mengurai data genetik dari fosil yang telah berumur jutaan tahun. Lebih sulit lagi jika fosil itu ditemukan di area subtropis yang hangat, apalagi daerah tropis seperti di Indonesia, karena umumnya dalam keadaan telah rusak.
Beberapa tahun lalu, misalnya, para peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan koleganya belum berhasil mengurutkan DNA fosil manusia kerdil purba Homo floresiensis yang ditemukan di Liangbua, Flores. Pengurutan DNA manusia purba baru berhasil dilakukan terhadap fosil Neandertal dan Denisovan berusia ratusan ribu tahun lalu yang ditemukan di gua-gua beku di Eropa dan Siberia.
“Jika bicara tentang evolusi, primata relatif dekat dengan manusia. Dengan riset ini, kami menunjukkan dapat memakai pengurutan protein untuk mengambil informasi genetik purba dari primata yang tinggal di daerah subtropis bahkan ketika fosil berusia dua juta tahun,” kata Welker.
Dengan riset ini, kami menunjukkan dapat memakai pengurutan protein untuk mengambil informasi genetik purba dari primata yang tinggal di daerah subtropis bahkan saat fosil berusia dua juta tahun.
Hingga saat ini informasi genetik yang berhasil diekstraksi dari fosil-fosil yang ditemukan di daerah hangat dan lembab hanya yang usianya puluhan ribu tahun. Padahal, fosil-fosil purba leluhur purba spesies kita yang ditemukan di daerah subtropis ada juga yang jutaan tahun. “Ini artinya kita berpotensi mengambil informasi serupa pada garis evolusi yang mengarah ke manusia,” kata Frido Welker.
Metode terbaru menunjukkan kemungkinan untuk memperpanjang rekonstruksi genetik dari hubungan evolusi antara spesies kita dengan kerabatnya yang punah lebih jauh ke masa lalu, setidaknya hingga dua juta tahun, yang kemungkinan mencakup bagian yang jauh lebih besar dari seluruh evolusi manusia.
KOMPAS/SUCIPTO–Aktivitas orangutan di pusat rehabilitasi orangutan Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (30/8/2019).
Protein enamel gigi
Keberhasilan pengurutan DNA dari fosil purba ini dilakukan dengan menganalisis proteomik atau materi protein pada enamel atau lapisan terluar gigi. Dalam studi sebelumnya, yang juga diterbitkan di Nature, Enrico Cappellini dari Globe Institute, penulis senior pada studi ini, awalnya menunjukkan potensi besar pengurutan protein purba.
“Dengan mengurutkan protein yang diambil dari lapisan gigi yang berumur sekitar dua juta tahun, kita bisa menemukan informasi DNA dari spesies hewan yang telah punah jutaan tahun lalu untuk merekonstruksi hubungan evolusi dengn spesies lain. Dalam studi ini, kita bahkan dapat menyimpulkan bahwa garis keturunan orangutan (Pongo) dan Gigantopithecus berpisah sekitar 12 juta tahun yang lalu,” kata Enrico Cappellini.
Pengurutan protein berumur dua juta tahun dimungkinkan dengan menggunakan teknologi spektrometri massa. Spektrometer massa canggih dan keahlian palaeoproteomik ini didapatkan dari kolaborator mereka, Jesper Velgaard Olsen, Profesor di Novo Nordisk Foundation Center for Protein Research.
Mereka awalnya memproses enamel dan sampel gigi menggunakan sprektometri yang mampu membaca protein kuno yang sudah sangat terdegradasi. Pengayaan kembali mineral enamel dilakukan menggunakan dua asam, yaitu trifluoroacetic acid (TFA) dan hydrochloric acid (HCl). Materi DNA ini kemudian diperoleh dari protein yang ada di sampel enamel gigi.
–Pohon kekerabatan orangutan (Pongo) dengan kera raksasa Gigantopithecus blacki, yang pernah hidup di Asia bagian selatan dan punah sejak 300.000 tahun lalu. Kerabat orangutan ini memiliki tinggi hingga tiga meter dan berat 600 kilogram. Angka dalam grafis menunjukkan juta tahun lalu. Sumber: Nature, 2019
Misteri Gigantopithecus
G blacki merupakan spesies hominid raksasa yang terbesar yang pernah hidup di planet ini. Keberadaan primata ini pertama kali diidentifikasi setelah von Koenigswald menemukan gigi-gigi raksasa di toko obat di Hobg Kong pada tahun 1935. Berikutnya, ribuan gigi dan empat potongan rahang bawah ditemukan di daratan subtropis Asia Tenggara, meliputi China bagian selatan, yang membentang dari Gua Longgupo, tepat di sebelah selatan Sungai Yangtze, ke Gua Xinchong di Pulau Hainan dan utara Vietnam dan Thailand.
Seluruh fosil G blacki yang ditemukan ini berasal dari periode Pleisosen awal atau sekitar 2 juta tahun yang lalu dan Pleistosen Tengah atau sekitar 300.000 tahun lalu.
DOK BORNEO ORANGUTAN SURVIVAL FOUNDATION–Jubaedah (20) dan Jubaedi (2), orangutan Kalimantan korban konflik dengan manusia, beberapa saat sebelum dilepasliarkan, Kamis (7/11/2019) di pusat rehabilitasi Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Tiadanya temuan tengkorak lengkap dan tulang lain dari sisa kerangka, menyebabkan banyak spekulasi tentang penampilan fisik hewan misterius ini. Upaya-upaya sebelumnya untuk memahami primata ini hanya dapat dilakukan melalui membandingkan bentuk fosil dengan referensi kerangka dari kera besar lain yang hidup.
Analisis DNA kuno awalnya bukan menjadi suatu pilihan, karena Gigantopithecus telah punah sekitar 300.000 tahun yang lalu. “Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mengurutkan protein enamel gigi untuk merekonstruksi hubungan evolusionernya dengan kera besar yang hidup, dan kami menemukan bahwa orangutan adalah kerabat terdekat Gigantopithecus,” kata Enrico Cappellini.
Dari aspek konservasi, temuan ini mengukuhkan pentingnya keberadaan orangutan sebagai satu-satunya kerabat dekat kera raksasa terbesar yang masih hidup. Bisa dikatakan bahwa orangutan merupakan fosil hidup yang berhasil bertahan ketika kerabat-kerabatnya, bahkan dengan ukuran raksasa seperti Giganopithecus, telah punah.
Selain itu, dari segi metodologi penelitian, temuan ini menjadi babak baru bagi penyelidikan tentang evolusi manusia menggunakan palaeoproteomics. Dengan metode ini, barangkali suatu saat kita akan mengetahui hubungan kekerabatan yang lebih jelas antara manusia modern dengan berbagai manusia purba yang telah punah, termasuk dengan Homo erectus yang pernah hidup jutaan tahun lalu dan fosilnya banyak ditemukan di Jawa.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 19 November 2019