Ketika anak menggunakan internet, orangtua bertanggung jawab untuk mendampingi dan memantaunya. Bahkan, orangtua memiliki kewenangan terkait kepemilikan akun media sosial putra-putrinya.
Sejumlah media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, dan Whatsapp, memberikan batasan umur pengguna minimal 13 tahun.
”Saya cukup sering menemukan anak-anak yang memiliki media sosial itu dibuatkan oleh orangtuanya, lebih parah lagi dibuat oleh tukang jaga warung internet atau warnet,” ujar Deputi Direktur ICT Watch Widuri dalam seminar berjudul ”UI Safer Internet Day: Better Internet for Kids” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada beberapa tahap usia yang pantas bagi seorang anak untuk ”berinteraksi” dengan internet. Widuri menuturkan, orangtua tidak boleh membiarkan anak di bawah usia 3 tahun memegang gawai sama sekali. Pada rentang usia ini, penting bagi orangtua untuk membangun hubungan dengan anak melalui interaksi langsung.
Orangtua tidak boleh membiarkan anak di bawah usia 3 tahun memegang gawai sama sekali.
Pada usia 3-6 tahun, orangtua boleh mengenalkan gawai kepada anak, tetapi dalam pengawasan penuh dan waktu yang terbatas, misalnya satu jam per hari.
Pada usia 7-12 tahun, orangtua dapat mengenalkan manfaat-manfaat internet, seperti untuk mencari wawasan baru. ”Tetapi, orangtua tetap dianjurkan tidak membuatkan akun media sosial untuk anak,” lanjut Widuri.
M PASCHALIA JUDITH J UNTUK KOMPAS–Dosen Teknik Komputer Fakultas Teknik Universitas Indonesia Muhammad Salman (kiri), Kepala Subdirektorat Penyidikan dan Penindakan Direktorat Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Teguh Arifiyadi (kedua dari kiri), Deputi Direktur ICT Watch Widuri (tengah), dan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bina Nusantara Amia Luthfia (kedua dari kanan) dalam seminar berjudul ”UI Safer Internet Day: Better Internet for Kids” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabu (23/12).
Berdasarkan pengalamannya, Widuri mengizinkan anaknya bermain permainan mendirikan bangunan di ponsel saat usianya beranjak 6 tahun. ”Dia memang terlihat menyukai aktivitas bangun-membangun. Selama dia menyukainya dan mengasah kemampuan membangunnya, saya izinkan,” katanya.
Akan tetapi, anaknya tidak dia izinkan memainkan aplikasi ponsel itu secara daring (online). Widuri menceritakan, pernah suatu kali anaknya bermain secara daring dan muncul pesan teks atau chat pada aplikasi itu yang berisi kata-kata tidak senonoh.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bina Nusantara, Amia Luthfia, menambahkan, sulit untuk melarang anak menggunakan internet di era digital seperti saat ini. Apalagi, rasa penasaran anak-anak cukup tinggi. Karena itu, pendampingan dan diskusi antara orangtua dan anak cukup penting dalam berinternet.
Sulit untuk melarang anak menggunakan internet di era digital seperti saat ini. Apalagi, rasa penasaran anak-anak cukup tinggi.
Bentuk diskusinya dapat berupa obrolan santai yang diselipkan pertanyaan-pertanyaan seperti hal-hal yang dilakukan di internet, wawasan yang didapatkan dari internet, dan konten-konten yang sedang viral.
”Untuk pendampingannya, bisa duduk bersama anak. Kalau anak merasa tidak nyaman, orangtua dapat berada di dekatnya, dengan jarak yang cukup untuk memantau aktivitas anak di internet,” ujarnya.
Pendampingan orangtua juga dibutuhkan untuk mencegah anaknya berinteraksi dengan orang tak dikenal. Dosen Teknik Komputer Fakultas Teknik UI, Muhammad Salman, menyebutkan, era digital menimbulkan adanya anonimitas.
Orang-orang yang memiliki niat buruk pada anak dapat menyamar dengan prinsip anonim tersebut. Karena itu, orangtua perlu memantau dan memastikan orang-orang yang berinteraksi dengan anaknya adalah orang-orang yang telah dikenal.
Kepala Subdirektorat Penyidikan dan Penindakan Direktorat Keamanan Informasi Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Teguh Arifiyadi memaparkan, pihaknya tengah memantau sejumlah akun media sosial yang membuat anak-anak menjadi korban.
Internet Sehat di Sekolah Diperkuat
”Ada satu akun kelompok paedofil di suatu media sosial yang beranggotakan 5.000 orang. Ada ribuan foto anak kecil yang beredar di grup ini,” ucapnya.
Selain itu, Teguh juga menemukan beberapa aplikasi pada gawai yang memuat video siaran langsung berkonten pornoaksi. Aplikasi tersebut sering diakses anak-anak pada pukul 01.00 sampai 03.00.
Ada satu akun kelompok paedofil di suatu media sosial yang beranggotakan 5.000 orang. Ada ribuan foto anak kecil yang beredar di grup ini.
Bahkan, ada juga akun penyebar ujaran kebencian yang dioperasikan seorang pelajar sekolah dasar. ”Kami juga menemukan pembajak atau hacker situs-situs penting negara yang merupakan anak-anak dari Indonesia,” lanjut Teguh.
Cara batasi akses internet
Dari sisi teknologi, ada beberapa cara untuk membatasi akses internet anak. Teguh mencontohkan, aktifkan mode ”Safe Search” pada mesin pencari Google yang digunakan, aktifkan ”Parental Control” pada Google Playstore agar aplikasi yang diunduh cocok untuk anak-anak, serta aktifkan ”Restricted Mode” pada akun Youtube yang digunakan. Untuk fitur Safe Search pada Google dan Restricted Mode pada Google Playstore dapat diatur sandinya oleh orangtua.
Pada kesempatan yang sama, Teguh mengadakan survei kecil-kecilan kepada peserta seminar. Dia menanyakan apakah peserta sudah mengaktifkan tiga fitur yang disebutkan tersebut. Dari sekitar 50 orang yang hadir, yang telah menggunakan ketiga fitur itu tidak sampai 10 orang.
Tidak hanya mengaktifkan ketiga fitur itu, Teguh juga mengingatkan para orangtua untuk mengetahui akun dan sandi yang digunakan pada ponsel anak-anaknya. Tujuannya, untuk melacak lokasinya serta mengecek riwayat pencariannya di internet.
Literasi digital
Menurut Salman, literasi digital pada anak masih rendah. Dia mengingatkan bahwa peringkat literasi Indonesia menduduki posisi ke-60 dari 61 negara berdasarkan survei berjudul ”Most Literated Nation in The World”. Padahal, perkembangan internet begitu pesat.
Teguh berpendapat, ketahanan terbaik terhadap dampak negatif internet berasal dari diri anak sendiri. Berdasarkan pengalamannya saat ke Singapura, dia memperhatikan anak-anak di negara itu memang tidak berminat pada situs-situs berkonten pornoaksi atau judi online. ”Di sana, literasi digitalnya sudah kuat,” ucapnya.
Akses Internet di Sekolah Ditingkatkan
Oleh sebab itu, menurut Widuri, literasi digital perlu dimasukkan ke dalam kurikulum, terutama mengingat saat ini mayoritas tugas sekolah memanfaatkan internet.
Literasi digital perlu dimasukkan ke dalam kurikulum, terutama mengingat saat ini mayoritas tugas sekolah memanfaatkan internet.
Widuri juga mengkritik pelajaran teknologi informasi dan komputer di sekolah yang cenderung tidak relevan dengan kebutuhan anak di era digital.
”Kurikulumnya hanya sebatas pengenalan Microsoft Word untuk mengetik dan Microsoft Excel untuk mengolah tabel. Harusnya, ada pelajaran yang membahas etika berinternet, bagaimana memanfaatkan internet, dan pengenalan terhadap risiko-risiko berinternet,” tuturnya. (DD09)
Sumber: Kompas, 24 Desember 2017