Buruknya kondisi kesehatan menyebabkan usia harapan hidup Orang Rimba amat rendah. Situasi kian sulit bagi Orang Rimba yang keluar dari hutan dan tinggal di kampung atau perkebunan sawit karena mereka lebih rentan terkena penyakit. Umumnya mereka mempertahankan kebiasaan minum air mentah, padahal air di lingkungan di luar hutan banyak yang tercemar.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bekerja sama dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mulai memetakan genetika dan memeriksa kesehatan Orang Rimba di Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pemetaan genetika dilakukan untuk membantu penanganan penyakit infeksi, khususnya malaria dan hepatitis, agar lebih komprehensif.
Pemeriksaan dimulai pada kelompok Orang Rimba “Air Panas” di sekitar Desa Bukit Suban dan Desa Pematang Kabah, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun. Ada 174 individu diambil sampel darah, Senin (7/12). Pada Selasa (8/12), pemeriksaan dilakukan terhadap 141 Orang Rimba dari kelompok “Makekal Hulu” dan “Kedundung Muda”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti malaria Eijkman, Puji Budi Setia, menyatakan, hasil tes malaria dan hepatitis akan diketahui sepekan ke depan. Dari survei genangan air, menurut ahli malaria Eijkman, Syafruddin, ditemukan banyak jentik nyamuk Anopheles sp yang menyebarkan malaria, dan banyak jentik nyamuk Aedes aegypti penyebar demam berdarah.
“Dari pemeriksaan ini, kami ingin tahu apa obat malaria saat ini sudah resisten atau belum. Jadi, perlu pemetaan. Survei bisa mengetahui semua penyakit di darah,” ucap Syafruddin.
Sepekan ini, tim gabungan Eijkman dari Laboratorium Genom, Laboratorium Hepatitis, dan Laboratorium Malaria akan memeriksa kesehatan komunitas Orang Rimba dampingan Warsi di Bukit Duabelas.
Rentan sakit
Sebelumnya, Eijkman dan Warsi menandatangani kerja sama jangka panjang terkait kesehatan Orang Rimba, khususnya penanganan infeksi menular terkait genetika. “Karena perubahan lingkungan, Orang Rimba kini lebih rentan sakit, termasuk malaria. Pendampingnya juga. Tiap ada orang Warsi datang ke rumah sakit, pasti langsung divonis malaria. Ada beberapa teman kami meninggal karena malaria, tetapi penanganan tak pernah tuntas,” kata Yul Qari, Wakil Direktur Eksekutif Warsi.
Kristiawan, staf Warsi menambahkan, usia harapan hidup Orang Rimba cenderung pendek, rata-rata 55 tahun. Sementara angka kelahiran bayi amat tinggi, satu ibu rata-rata punya anak di atas lima. Namun, kematian bayi dan gizi buruk tinggi, tetapi tak ada pendataan akurat. “Selama ini kesehatan Orang Rimba tak terpantau baik,” ujarnya.
Tumenggung Tarib, pemimpin Orang Rimba di “Air Panas”, mengatakan, kini hidup di hutan kian sulit. Selain luasannya menyempit, ketersediaan bahan pangan dan dedaunan bagi bahan atap berkurang. Namun, Orang Rimba yang keluar dari hutan pun tak mudah, termasuk dari aspek kesehatan.
“Kalau dari makan atau minum tetap lebih baik yang di dalam, yang keluar malah sering sakit. Di sini, airnya kotor, tapi karena kebiasaan hidup di hutan tak direbus, saat di luar langsung minum saja,” kata Tarib. (AIK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Orang Rimba yang Keluar Hutan Lebih Rentan Sakit”.