Progam Pendidikan Pascasarjana (1)
PENGHAPUSAN program Master of Business Administration (MBA) pada awal 1990-an ternyata tidak mengurangi gairah perburuan gelar magister di Indonesia. Gelar Magister Manajemen (MM) dalam banyak hal lebih bergengsi dibandingkan gelar MBA karena gelar ini diakui resmi oleh pemerintah. Apalagi dibandingkan gelar doktorandus yang sudah tidak memberikan prestise kepada penyandangnya. Program MM pun ditawarkan dengan harga Rp 1,5 juta, atau separo harga masuk sebuah TK favorit di Jakarta.
“Saya tertarik juga untuk ikut program ini karena hanya diminta membayar Rp 1,5 juta. Dengan gelar itu saya bisa mengajar ekonomi. Bahkan saya sudah ditawari lembaga itu untuk bekerja sama membuat program MM setelah lulus nanti,” tutur seorang lulusan program magister teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB).Aturan-aturan yang disyaratkan pemerintah untuk penyelenggaraan program MM dalam prakteknya bisa dimain-mainkan. Keharusan memiliki tanah dan gedung bisa ditawar dengan gedung kontrakan, asalkan bukan ruko. Keharusan sebuah program memiliki minimal empat orang doktor tidak sulit dipenuhi karena cukup banyak pensiunan guru besar atau doktor yang bisa dipekerjakan paruh waktu. Untuk program MM, doktornya pun bisa dicomot dari bidang manajemen. Pengajar yang lain bisa diambil dari penyandang MM karena sah-sah saja seorang penyandang gelar MM mengajar mahasiswa MM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tujuan mengeruk keuntungan dari sekelompok masyarakat yang haus akan gelar itulah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam jumlah mahasiswa program studi magister di Tanah Air. Dari sekitar 19.000 mahasiswa program magister, sekitar 10.000 di antaranya mengambil program MM. Dari 50 perguruan tinggi yang diberi izin menyelenggarakan program magister, 30 di antaranya adalah perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan program MM.
* * *
SEBUAH program MM di Jakarta, tidak perlu disebut namanya di sini, memiliki jumlah mahasiswa sekitar 4.000 orang. Jumlah pengajarnya di bawah 40 orang. Padahal persyaratan rasio dosen dengan mahasiswa yang ditetapkan pemerintah adalah 1:20 untuk jurusan eksakta dan 1:25 untuk jurusan noneksakta. Alumninya diberi kesempatan membuka cabang-cabang di daerah dengan merk dagang yang sama.
Jadilah program pengembangbiakan (breeding) magister secara besar-besaran.Ironinya semakin “bisa diatur”, semakin laris program bersangkutan. Mahasiswanya tidak hanya birokrat-birokrat rendahan yang dengan bekal gelar itu mengharapkan kenaikan pangkat tetapi juga pejabat-pejabat sipil dan militer tertinggi di suatu daerah. Program ini bahkan menjadi pilihan bagi dosen atau peneliti yang sudah kehilangan harapan untuk mendapatkan gelar master sesuai bidang ilmunya.”Memang birokrat-birokrat itulah yang merusak citra Magister Manajemen,” kata Prof Dr Thoby Mutis, Ketua Forum Komunikasi Program Pendidikan Pascasarjana di Kopertis IV Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam posisi serba salah menghadapi lembaga swasta yang menyelenggarakan program MM secara serampangan. Baik UU No 2/1989 tentang Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) No 30/1990 tidak mengatur secara tegas mengenai bentuk sanksi sebuah institusi yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan tinggi tanpa izin. Karena itu yang bisa dilakukan Depdikbud sebatas mencabut izin yang telah diberikan. “Kalau sudah dicabut izinnya dan tetap beroperasi, itu sudah berada di luar wewenang kita,” kata Dirjen Pendidikan Tinggi Prof Dr Bambang Soehendro. Baru-baru ini sebuah konsultan hukum di Mataram meminta kepada Kapolda dan Kejaksaan Agung untuk mengambil tindakan kepada Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI) yang menyelenggarakan program MM di daerah tersebut yang beroperasi tanpa izin. Namun, menurut Ketua Yayasan IPWI Soemitro, apa yang dilakukan di Mataram tidak menyimpang dari ketentuan yang ada karena lembaga itu tidak menyelenggarakan program pendidikan Magister Manajemen namun hanya progam pelatihan manajer. Ironinya sebagian peserta pendidikan lembaga itu adalah petinggi sipil dan militer di daerah tersebut.
Masih adanya swasta yang program MM-nya dikelola secara serampangan, kata Soenjono, merusak citra program ini di mata masyarakat. “Mereka merusak citra gelar MM akibatnya masyarakat meremehkan pendidikan MM. Padahal banyak MM yang benar-benar ditangani secara serius,” ujarnya.
* * *
TIDAK semua swasta penyelenggara program magister bekerja secara serampangan. Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, misalnya, memiliki sepuluh orang pengajar yang menyandang gelar doktor dan profesor untuk program magister linguistik terapan. “Pengajar program ini minimal menyandang gelar doktor. Tidak lucu kalau magister mengajar mahasiswa magister,” kata Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo, Mantan Direktur Program Pascasarjana Unika Atmajaya.
Pembimbingan tesis untuk program magister diatur supaya ditangani oleh pakar dalam bidangnya. Meski seluruh pengajarnya merupakan ahli linguistik namun seorang mahasiswa yang mengambil tesis mengenai sosio-linguistik akan dibimbing pakar linguistik yang menaruh minat dalam bidang ini. Program itu pun tidak dengan gampang meluluskan mahasiswanya. Tiap tahun, menurut dia, jumlah lulusannya kurang 20 persen dari jumlah pendaftar. “Mereka umumnya kesulitan dalam menulis tesis. Bukannya penulisan tesis terlalu susah tetap karena tidak biasanya orang Indonesia menulis dan melakukan penelitian,” kata Soenjono.
Hal serupa dikemukakan oleh Direktur Pascasarjana Universitas Trisakti Prof Dr Thoby Mutis. “Mungkin kami adalah satu-satunya program MM di Indonesia yang seluruh staf pengajarnya bergelar doktor,” kata Thoby Mutis. Jumlah lulusan yang dihasilkan juga tidak lebih dari 20 persen karena umumnya mahasiswa kesulitan menulis tesis.
MM Universitas Trisakti juga mengeluarkan jurnal ilmiah secara berkala yang terbit secara rutin. “Dalam waktu dekat kami akan meluncurkan satu jurnal ilmiah lainnya,” kata Thoby Mutis. Universitas Indonesia saat ini telah memiliki 42 program studi magister. “Pengajarnya rata-rata doktor. Kalau sangat terpaksa dan dibutuhkan baru kami ambil dosen yang bertitel magister,” kata Direktur Program Pascasarjana UI Prof DR Farid A Moeloek.
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menurut Rektor Prof H Zaini Dahlan MA, sejak 1992 UII mengembangkan program magister manajemen ekonomi dan menghasilkan sekitar 90 orang. Tiap tahun dihasilkan 20-25 lulusan. Sedangkan ilmu hukum memasuki tahun ketiga dan pada bulan Mei 1997 akan menghasilkan sekitar lima orang. Untuk tenaga dosen, UII bekerja sama dengan UGM Yogyakarta, Unpad Bandung, UI Jakarta, dan Unair Surabaya.
Untuk meningkatkan kualitas dosen, sejak 1992 UII menyekolahkan stafnya ke luar negeri dan dalam negeri, mengikuti program magister maupun doktor. Dari 360 dosen tetap UII kini, sekitar 270 orang bergelar master. Yang sedang melanjutkan studi di dalam dan luar negeri 76 orang, 19 orang di Australia, Amerika Serikat, Kanada, Yordania, Filipina, Malaysia dan Inggris, sedang dalam negeri (UGM, UI, Unpad, Unair dan USU) 57 orang. Tahun ini, 10 orang akan menyelesaikan program magister dan doktor, di dalam dan luar negeri. Dijelaskan, UII juga mencanangkan paling lambat tahun 2000 akan membuka program doktor bidang manajemen ekonomi dan ilmu hukum. (jj/hh/pp/nal/wis)
Sumber: Kompas, Senin, 17 Maret 1997