Penyebaran penyakit sistosomiasis atau demam keong terus terjadi. Jika hal ini tak diatasi, akan mengganggu program kesehatan lainnya, sehingga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terancam tidak tercapai.
Pemerintah menargetkan eradikasi atau pembasmian total penyakit sistosomiasis tahun 2025. Eradikasi sistosomiasis dilakukan dengan kolaborasi dan sinergi lintas sektor. Semua pihak yang terlibat diharapkan berkomitmen kuat mencapai target itu.
Untuk itu, Peta Jalan Eradikasi Sistosomiasis 2018-2025 diluncurkan pada Rabu (17/1) di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Jakarta. Peta jalan itu melibatkan sejumlah kementerian, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Kabupaten Sigi, dan Pemkab Poso.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, sudah berpuluh tahun semua pihak berupaya mengatasi sistosomiasis. Namun, hingga kini, penyakit tropis terabaikan itu masih saja ada. Sejak dulu banyak riset sistosomiasis telah dilakukan di lokasi endemis, tetapi penyakit itu tidak kunjung teratasi.
Tahun 2017, angka kejadian sistosomiasis pada manusia berkisar 0,65 persen sampai dengan 0,97 persen. Sementara angka kejadian pada hewan 5,5 persen hingga 40 persen.
”Kejadian pada manusia memang sudah rendah beberapa tahun ini dibandingkan dulu. Namun, pada hewan ternak masih tinggi. Meski demikian, hampir tidak pernah ada pengobatan untuk hewan. Kita harus memutus rantai penularannya,” kata Nila.
Sistosomiasis atau demam keong adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum. Cacing ini hidup di pembuluh darah, terutama di kapiler darah dan vena kecil dekat selaput usus. Penyakit ini umumnya banyak terdapat di negara tropis dan subtropis, terutama pada wilayah dengan akses air bersih dan sanitasi yang buruk.
Kelainan pertumbuhan
Infeksi sering terjadi pada anak usia sekolah, petani, penangkap ikan, pekerja irigasi, serta orang yang menggunakan sumber air yang mengandung sistosoma. Anak-anak yang menderita penyakit itu bisa mengalami kelainan pertumbuhan dan kelemahan kognitif.
Penyakit sistosomiasis ditularkan oleh keong Oncomelania hupensis lindoensis. Penularan sistosomiasis terjadi melalui kontak langsung dengan air di mana keong penularnya yang membawa larva infektif cacing sistosoma (serkaria) hidup.
Manusia berisiko terinfeksi ketika mencuci, mandi, dan melewati air yang mengandung larva infektif serkaria. Larva tersebut dapat menembus kulit manusia dan menjadi dewasa di dalam tubuh manusia.
Meski begitu, sistosomiasis sebenarnya bisa dicegah dan dikendalikan. Hal itu dilakukan melalui penemuan kasus penyakit tersebut, pengobatan massal, penggunaan jamban sehat, dan sumber air bersih.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sistosomiasis telah dilaporkan oleh 78 negara di dunia. Diperkirakan terdapat sedikitnya 206,5 juta penduduk yang memerlukan pengobatan pencegahan dari penyakit tersebut.
Di Indonesia, sistosomiasis hanya ditemukan di Provinsi Sulteng, yaitu di dataran tinggi Lindu, Napu, dan Bada, yang meliputi dua wilayah administratif, yakni Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso. Di dua kabupaten itu, daerah endemis sistosomiasis berada di 28 desa di enam kecamatan.
Dalam Peta Jalan Eradikasi Sistosomiasis tahun 2018-2025, pemerintah menargetkan nol kasus pada tahun 2019. Tahap berikutnya, yakni pada tahun 2020-2024, merupakan tahapan evaluasi dan tahun 2025 status eradikasi dicapai.
Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, kalau sistosomiasis bersama dengan penyakit tropis terabaikan lainnya, seperti filariasis atau kaki gajah, frambusia, dan malaria, tidak diatasi, hal itu akan mengganggu program kesehatan lainnya. Upaya menurunkan angka stunting atau tubuh pendek, misalnya, akan terganggu.
Upaya eradikasi sistosomiasis ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tujuan tersebut antara lain mengakhiri AIDS, tuberkulosis, malaria, penyakit tropis terabaikan, mengurangi hepatitis, dan penyakit bersumber air.
Upaya menuju eradikasi tersebut memerlukan sinergi lintas sektor secara serentak di lokasi endemis. ”Sistosomiasis bukan hanya urusan kesehatan. Intervensi sektor lain juga diperlukan,” ujarnya. (ADH)
Sumber: Kompas, 18 Januari 2018