CATATAN IPTEK
Manusia telah menjelajah nyaris ke seluruh di penjuru Bumi dan berpikir telah menguasai semua hal-hal liar. Namun, ada musuh paling berbahaya yang tak bisa diatasi hingga kini, bahkan semakin kuat dan bervariasi. Musuh itu bukanlah yang terbesar dengan penampilan paling mengerikan, justru yang paling renik dan tak kasad mata, yaitu virus!
Belum tuntas kita mengatasi wabah virus korona penyebab sindrom pernafasan akut atau SARS-Cov (Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus), yang menewaskan 800 jiwa dan menginfeksi 8000 orang pada 2003 di Asia, varian baru virus ini mewabah di Timur Tengah pada 2012. Strain baru itu diberi nama Midlle East Respiratory Syndrome Coronavirus atau (MERS-Cov) dan menewaskan ratusan orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, muncul strain baru virus korona. Strain ke tujuh virus korona ini pertama kali dideteksi di pasar pangan laut di Kota Wuhan, China ini pada akhir Desember 2019. Dua minggu kemudian, virus ini telah menginfeksi ratusan orang di berbagai kota di China, dan 4 di antaranya meninggal.
Virus memicu masalah pneumonia ini juga telah melintasi perbatasan negara hingga Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Setelah awalnya diduga hanya menular dari binatang ke manusia, pada Senin (20/1/2020), virus ini dipastikan bisa menular dari manusia ke manusia.
Dengan menular dari orang ke orang, strain baru korona ini telah mengikuti pendahulunya sebagai virus zoonosis, artinya bisa menulari baik hewan maupun manusia. Investigasi sebelumnya menemukan bahwa SARS-CoV ditularkan dari musang ke manusia dan MERS-CoV dari onta dromedaris ke manusia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, secara global, sekitar satu miliar kasus penyakit dan jutaan kematian per tahun dipicu oleh zoonosis. Sekitar 60 persen dari penyakit menular yang muncul yang dilaporkan secara global adalah zoonosis.
Lebih dari 30 patogen manusia baru telah terdeteksi dalam tiga dekade terakhir, 75 persen darinya berasal dari hewan, termasuk di antaranya virus paling mematikan seperti ebola dan HIV.
Lompatan virus binatang ke manusia yang kian marak belakangan ini terjadi seiring dengan masifnya ekstraksi alam liar. Hutan-hutan yang dulu menjadi rumah bagi para predator terkuat yang dihindari leluhur kita, nyaris tak ada lagi yang perawan. Demikian juga lautan.
Kita memang berhasil menyingkirkan para predator yang dulu ditakuti, serta aneka binatang pesaing dalam rantai makanan. Sebagian fauna itu telah punah, lainnya dikumpulkan di kebun binatang dan menjadi tontotan anak-anak.
Namun, semakin dekat manusia dengan benteng alam liar terakhir, semakin dekat kita dengan predator terkuat, yaitu virus yang selama ini hidup di dalam dunia binatang.
Tidak ada yang tahu persis kapan virus muncul atau dari mana mereka datang, karena virus tidak meninggalkan jejak sejarah seperti fosil. Namun, virus kemungkinan telah ada sejak munculnya kehidupan awal di Bumi.
Virus tidak benar-benar hidup: struktur mereka non-seluler, dan mereka tidak dapat bertahan lama tanpa inang. Mereka bereproduksi dan berevolusi, tetapi mereka tidak bernafas, makan, atau mengeluarkan kotoran.
Doroty H. Crawford, profesor mikrobiologi dari Universias Edinburg, Inggris dalam bukunya The Invisible Enemy: A Natural History of Viruses (2002) menggambarkan, virus biologis serupa dengan virus komputer, yaitu sepotong kode, serangkaian huruf dan angka. Selama dia tidak ada di dalam sistem operasi komputer, kode itu tidak berbahaya dan abstrak. Namun, begitu berada di komputer, ia bisa mengakuisisinya, mereproduksi diri dan menyebar ke komputer lain.
Jadi, di luar sel hidup, virus biologis ini tidak lebih dari sepotong informasi, potongan asam nukleat dalam amplop protein.
Sepanjang keberadaannya, virus bertujuan untuk masuk ke dalam sel, menggunakan fasilitas sel untuk mereproduksi dirinya sendiri, dan kemudian menyebar ke inang berikutnya. Contohnya, virus rabies, begitu berada di dalam korban baru, dia akan memasuki ujung saraf lokal hingga perlahan menuju otak. Begitu mencapai sel-sel otak, dia menyebabkan ensefalitis, membuat hewan atau orang yang terinfeksi menjadi seperti gila, dan seringkali menggigit untuk menularkan virus rabies.
Selain kemampuannya untuk membajak inangnya, salah satu karakter berbahaya virus sebagai predator ulung adalah kemampuanya berevolusi. Berbeda dengan organisme lain, terutama manusia, kecepatan evolusi virus jauh lebih cepat karena dipicu tingginya tingkat mutasi.
Mutasi cepat ini merupakan salah satu siasat mereka menghindari sergapan sistem kekebalan tubuh inang ataupun obat-obatan. Dengan mutasi cepat ini, rasanya tidak mustahil, suatu ketika nanti bakal muncul virus dengan daya mematikan seperti ebola, namun dengan kecepatan penularan seperti influenza atau corona.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 22 Januari 2020