Peristiwa tumpahan minyak merupakan musibah yang sering terjadi di perairan Indonesia.
Salah satu kejadian tumpahan minyak sebelumnya yang cukup menghebohkan dan hingga kini belum terselesaikan adalah musibah tahun 2009, di Montara Well Head Platform dan Laut Timor yang masuk pada wilayah perairan ZEE Australia.
Walau lokasi tumpahan di luar ZEE kita dan sudah ditangani dengan baik dan cepat, tetapi dampaknya sampai ke wilayah perairan Indonesia, terutama di delapan kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa waktu lalu terjadi musibah serupa di wilayah kita sendiri, yakni tumpahan minyak mentah akibat kebocoran pipa di Perairan Teluk Balikpapan.
Sepintas penanganan penyebaran minyak gampang dilakukan karena setiap perusahaan punya oil boom, untuk melokalisasi dan mengumpulkan minyak yang tumpah tersebut dan mengambilnya kembali dengan oil skimmer yang memisahkan minyak berdasarkan berat jenisnya.
Efek jangka panjang
Namun, dalam praktiknya, untuk menyiapkannya saja memakan waktu lebih dari lima jam. Selain itu, sering mengalami kesulitan dalam menjaga agar boom tetap tegak karena dorongan dari arus dan gelombang akan membuat boom menjadi miring, yang menyebabkan minyak menyebar ke luar.
Selain hal tersebut, agar boom bekerja efektif, juga memerlukan persyaratan kondisi perairan yang tenang. Pada kecepatan arus yang lebih dari 0,75 knot, lapisan minyak akan pecah menjadi butiran-butiran. Oleh karena itu, pada musibah tumpahan minyak, sangat sulit menjaga tersebarnya bahan pencemar ke wilayah yang lebih luas.
Musibah tumpahan minyak yang terjadi di Teluk Balikpapan merupakan musibah besar yang terjadi di luar dugaan, mengingat minyak mentah yang relatif sulit terbakar malah memicu musibah kebakaran. Bukan hanya menimbulkan kerugian ekonomi dalam jumlah sangat besar, juga menelan korban jiwa: ada lima nelayan meninggal pada peristiwa tersebut.
Musibah beruntun ini membuat keadaan jadi kian sulit karena oil boom yang dimiliki perusahaan umumnya tidak tahan panas, sehingga pencegahan terjadinya pencemaran minyak mentah yang lebih luas makin banyak menghadapi kendala.
Musibah tumpahan minyak mentah telah menimbulkan efek langsung berupa kematian pada kepiting. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan penulis, kematian umumnya terjadi karena tertutupnya insang oleh lapisan minyak, sehingga tidak ada asupan oksigen.
Walaupun organ lain selain otak mampu melakukan metabolisme secara anaerobik yang mengakibatkan terbentuknya asam laktat di dalam tubuh (pada manusia mengakibatkan badan pegal-pegal, masuk angin kata masyarakat), tetapi pada otak yang tak mampu melakukan metabolisme secara anaerobik akan berdampak pada kerusakan otak yang bersifat permanen (sel-sel otak tidak mampu melakukan regenerasi).
Kondisi ini berakibat pada terjadinya kematian. Pada manusia biasanya akan terasa mual dan pusing akibat menghirup bahan-bahan kimia volatil hasil foto reaksi dan reaksi kimia dari minyak mentah yang tumpah tersebut dalam jumlah yang banyak.
Tumpahan minyak juga akan muncul efek jangka panjang yang justru lebih membahayakan. Sebab, dalam minyak bumi banyak terdapat senyawa aromatik hidrokarbon yang umumnya bersifat persisten, sehingga banyak yang tergolong pada Persistent Organic Polutants (POP’s). Salah satu POP’s pada minyak mentah yang berpotensi mencemari perairan laut dan berpotensi mengontaminasi berbagai makhluk hidup yang ada di dalam ekosistem tersebut adalah Polyaromatic/Polycyclic Hydrocarbon (PAH). PAH pada konsentrasi letal akan langsung mematikan organisme dan menghancurkan ekosistem.
Berpotensi picu aneka penyakit
Senyawa PAH yang terdapat pada minyak mentah di antaranya adalah benzene, toluene, naphtalen, benzopyrene dan berbagai senyawa organik: mulai dari sulit urai hingga sangat sulit urai, yang umumnya bersifat toksik. Sifat sangat toksik tersebut membuat USEPA (United State Environmental Protection Agency) menggunakan 16 senyawa PAH dalam studi investigasi forensik lingkungan karena keberadaannya di lingkungan sangat membahayakan.
Dalam hal ini senyawa PAH’s, dapat bersifat karsinogenik (mencetuskan kanker), teratogenik (mengakibatkan cacat bawaan pada embrio), mutagenik (mengakibatkan mutasi DNA), genotoksik (mengakibatkan kerusakan DNA), mampu merusak bahkan mematikan sel (sitotoksik) pada berbagai organ vital serta imunosupresif (menekan sistem kekebalan tubuh).
Contoh senyawa tersebut, di antaranya adalah 7,12-dimetilbenz[a]antrasena (DMBA) dan benzo(a)pyrene (BaP). Pada musibah pencemaran dan kebakaran minyak bumi, kedua senyawa ini berpotensi untuk mencemari wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, pencemaran senyawa PAH’s di perairan laut dan pesisir menjadi sangat merisaukan.
PAH yang mencemari wilayah pesisir akan mengalami berbagai hal, seperti fotooksidasi, bereaksi dengan bahan organik atau bahan anorganik, mengendap, terakumulasi pada makhluk hidup dan ada pula yang terserap pada benda yang terdapat dalam perairan sehingga konsentrasinya dalam air menjadi sangat kecil.
Namun hal tersebut tidak berarti menjadi aman. Sebagai contoh, apabila BaP mengalami fotooksidasi, BaP akan berubah menjadi produk yang sangat reaktif, lebih toksik serta lebih mudah larut dalam air, sehingga lebih mudah mengontaminasi biota air.
Di lain pihak apabila biota yang mengandung BaP ini dimakan, tubuh yang memiliki homeostasis dan seharusnya mengubah menjadi kurang berbahaya atau menjadi sama sekali tidak berbahaya, ternyata tidak mampu melakukan hal tersebut. Sebab, maksud hati memgubah BaP menjadi tidak berbahaya, akan tetapi yang terjadi justru sifat mutageniknya jadi lebih tinggi, sehingga lebih berbahaya lagi.
Oleh karena itu, musibah ini bukan hanya merusak ekosistem dan menimbulkan kerugian ekonomi semata, tetapi juga akan menyebarkan dan akan memperbesar potensi terjadinya penyakit kanker, potensi kecacatan pada bayi yang dilahirkan, dan berbagai penyakit lain yang cukup mengerikan.
ETTY RIANI, DEPARTEMEN MANAJEMEN SU,BER DAYA PERAIRAN, FPIK-IPB
Sumber: Kompas, 18 April 2018